Setelah meninggalkan Desa Kabut Senja, Ling Tianho memulai perjalanan sebagai kultivator pengembara. Angin pegunungan yang dingin menerpa wajahnya saat ia melangkah menuju dunia yang lebih luas dan tak terduga. Dengan tas kain sederhana berisi bekal seadanya dan kitab kultivasi tua, ia berjalan tanpa tujuan pasti. Namun, tekadnya kuat menjadi kuat tanpa bergantung pada sekte besar.
Di tengah perjalanan, Tianho menemukan sebuah kota kecil bernama Kota Bulan Perak. Kota itu ramai dengan para pedagang, kultivator, dan penduduk biasa. Tianho terpesona melihat hiruk-pikuk kehidupan yang jauh berbeda dari desanya yang sepi. Namun, ia sadar bahwa tanpa uang, ia tidak bisa bertahan lama di kota besar ini.
Setelah mencari pekerjaan, ia akhirnya bekerja sebagai pelayan di kedai kecil milik seorang wanita tua bernama Bibi Hua. Pekerjaannya sederhana mengantar makanan dan membersihkan meja. Meskipun pekerjaan itu tidak bergengsi, Tianho tetap melakukannya dengan tekun. Setiap malam setelah bekerja, ia berlatih kultivasi di halaman belakang kedai, mempraktikkan teknik dasar dari kitab peninggalan ayahnya.
Suatu malam, saat Tianho sedang berlatih, ia melihat sekumpulan pemuda berpakaian rapi memasuki kedai. Mereka mengenakan emblem Sekte Awan Langit, dan wajah Tianho sedikit berubah. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan rambut dikuncir rapi bernama Zhou Ming, menghina Tianho dengan nada meremehkan.
"Hei, bocah desa, apakah kau masih berpikir bisa menjadi kultivator hebat dengan bekerja sebagai pelayan?" ejek Zhou Ming sambil tertawa. Para pemuda lain ikut menertawakannya. Tianho hanya diam, menahan amarahnya. Namun, ketika salah satu dari mereka mendorongnya hingga jatuh, ia menatap mereka dengan mata dingin seperti elang.
Bibi Hua keluar dan segera menegur para pemuda itu, namun Zhou Ming hanya tertawa. "Hanya pelayan rendahan. Kau tidak layak berbicara denganku." Dengan kesal, mereka pergi meninggalkan kedai. Tianho mengepalkan tangannya, merasa tidak berdaya.
Di malam hari, ketika suasana sudah tenang, Tianho melanjutkan latihannya dengan lebih keras. Pikirannya penuh dengan tekad untuk menjadi kuat, melampaui mereka yang meremehkannya. Saat itu, jimat pemberian pria tua yang terluka sebelumnya mulai bersinar samar di saku bajunya. Tiba-tiba, energi hangat mengalir ke tubuhnya, menguatkan nadinya dan membersihkan meridian yang sebelumnya terhambat. Tianho terkejut, namun segera duduk bersila, menyerap energi itu dengan sepenuh hati.
Keesokan harinya, saat ia kembali bekerja, Tianho merasakan kekuatannya meningkat. Gerakannya lebih lincah dan tubuhnya terasa lebih ringan. Namun, tidak lama kemudian, masalah muncul kembali. Zhou Ming dan kawanannya kembali, kali ini membawa lebih banyak orang. Mereka memaksa Tianho keluar dari kedai dan menantangnya bertarung.
Zhou Ming, yang berada di tahap Awal Penguatan Qi, langsung menyerang dengan teknik Tinju Angin Mendesis. Pukulan cepat itu meluncur ke arah Tianho, namun kali ini Tianho tidak menghindar. Ia mengepalkan tangan dan menggunakan energi Qi yang baru terbangun dalam tubuhnya. Ketika tinju Zhou Ming mendekat, Tianho memutar tubuhnya dan menghindar dengan gerakan anggun, lalu melancarkan satu pukulan balasan ke perut Zhou Ming.
Zhou Ming terhuyung dan terjatuh. Para pengikutnya terkejut melihat pemuda desa yang sebelumnya lemah kini mampu melawan balik. Zhou Ming, yang merasa dipermalukan, segera menghunus pedangnya. "Beraninya kau melawan murid Sekte Awan Langit! Aku akan menghancurkanmu!"
Namun, sebelum pertempuran lebih lanjut terjadi, seorang pria paruh baya dengan jubah hijau muncul. Ia adalah Zhao Qi, seorang pengawal kota yang terkenal karena kekuatannya. Dengan satu hentakan kaki, ia menghentikan pertarungan. "Apa yang kalian lakukan di tempat umum? Mengganggu ketertiban?"
Zhou Ming yang sombong seketika berubah cemas. "Tuan Zhao, aku... hanya ingin memberi pelajaran pada bocah desa ini."
Zhao Qi menatap Tianho, melihat luka di wajahnya dan napas yang terengah. "Pertarungan tidak seharusnya dilakukan dengan alasan sepele. Jika kalian ingin bertarung, lakukan di luar kota."
Zhou Ming tidak berani membantah, dan dengan kesal, ia membawa pengikutnya pergi. Zhao Qi mendekati Tianho, melihat sekilas jimat yang menggantung di lehernya. Matanya menyipit seolah mengenali benda itu, namun ia tidak bertanya lebih lanjut.
"Pemuda, kau harus berhati-hati. Dunia luar lebih kejam daripada yang kau bayangkan," kata Zhao Qi sebelum pergi. Tianho mengangguk dengan hormat, masih merasa terkejut dengan kekuatan barunya.
Malam itu, Tianho merenungi pertempuran tadi. Ia tahu bahwa kekuatannya masih belum cukup. Dunia ini penuh dengan para kultivator kuat, dan untuk mencapai puncak, ia harus bekerja lebih keras. Mengingat kata-kata pria tua dan Zhao Qi, Tianho memutuskan untuk tetap melatih teknik dasar sambil mencari peluang lebih besar di luar kota.
Dengan semangat baru, Tianho memutuskan bahwa waktunya berada di Kota Bulan Perak sudah cukup. Keesokan harinya, setelah berpamitan dengan Bibi Hua, ia meninggalkan kota dan melanjutkan perjalanannya. Angin pagi membawa harapan baru, dan tekad di hatinya semakin membara. Meski masih lemah, Tianho tahu bahwa jalan menuju keabadian tidak akan pernah mudah.
Di kejauhan, siluet gunung menjulang tinggi, seolah mengisyaratkan tantangan baru yang akan datang. Tianho melangkah mantap, menyusuri jalan panjang penuh misteri yang menantinya.