Yin Yue keluar dari kamarnya dan duduk di sofa ruang tamu apartemennya, memeluk lutut, tatapannya kosong menembus gelap malam di luar jendela. Tablet dan jam pintar di meja masih menyala pelan, menampilkan berita-berita normal, dunia yang masih belum sadar pada kehancuran yang mengintai.
Pikirannya berputar liar.
Dia harus memberi tahu Ming Xiu.
Tapi….
Bagaimana dia bisa memberitahu Ming Xiu?
Akankah dia percaya?
Atau malah menganggapnya gila?
Suara interkom apartemen berbunyi.
“Yueyue, ini aku. Bukain pintunya.”
Ming Xiu.
Ming Xiu tinggal di seberang apartemennya. walau mereka sepasang kekasih, namun mereka masih tinggal terpisah. Ming Xiu selalu menghormatinya, dan menjaganya.
Ia terdiam sejenak. Tangannya gemetar saat menekan tombol buka pintu.
Tak lama, pria itu masuk, membawa kotak berisi kue tart kecil bertuliskan “Happy 22nd Birthday”.
Ia mengenakan hoodie abu-abu dan jeans hitam, matanya lembut saat memandangnya.
“Aku pikir kamu pasti belum tidur. Aku mau ngasih ini sebelum pergantian hari,” katanya sambil mengangkat kue.
Yueyue menggigit bibirnya.
Ia tidak bisa menunda. Ia tidak mau menyesal lagi.
“Xiu,” suaranya serak,
“Aku harus ngomong sesuatu. Penting.”
Ming Xiu mengernyit. Ia meletakkan kantong di meja, lalu duduk di hadapan Yueyue, memandangnya serius.
“Apa?”
Yueyue menarik napas dalam-dalam.
“Aku… aku tahu ini terdengar gila. Tapi… aku baru saja mengalami kematian.”
Ming Xiu menegang, tapi ia tidak memotong kata-katanya.
“Aku… mati tiga tahun dari sekarang. Karena dunia akan runtuh. Meteor akan jatuh ke bumi.
Virus akan menyebar. Manusia… berubah menjadi monster.”
Suasana mendadak berat.
Pix, yang menyadari ketegangan itu, muncul sebagai hologram bulat kecil di atas meja, diam-diam memperhatikan.
Ming Xiu akhirnya bertanya pelan,
“Maksudmu… kamu melihat masa depan?”
Yueyue menggeleng.
“Bukan melihat. Aku mengalaminya. Aku hidup tiga tahun dalam dunia yang hancur. Aku membangun sistem komunikasi, bertahan hidup, bertempur… lalu aku dikhianati dan terbunuh.”
Ia meremas liontin giok di lehernya.
“Dan... saat darahku mengenai kalung ini... tiba-tiba aku... aku kembali ke hari ini., hari di mana kamu menghadiahkan kalung ini kepadaku.”
Ming Xiu menghela napas perlahan. Lama. Ia menatap mata Yueyue dalam-dalam, seolah mencari kebohongan, dan tidak menemukannya.
“Kalau kamu gila… maka aku juga mau ikut gila bersamamu,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi mantap.
“Apa yang harus kita lakukan?”
Yueyue mengerjap.
Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya.
Dia percaya.
Dia percaya padanya.
“Pertama… kita harus mulai mempersiapkan semuanya. masih tiga bulan lagi. Stok makanan, obat-obatan, kendaraan, generator listrik…. Xiu, kurasa kita harus membangun pangkalan kita sendiri, aku dulu dikhianati di pangkalan besar bernama Sentinel… A-Aku.. Kita.. tidak boleh mengalaminya lagi.” Akhirnya air matanya pecah, dan dia menangis tersedu-sedu.
Ming Xiu bergegas memeluknya dan mengangguk cepat.
“Baiklah.. mari kita lakukan bersama-sama. Aku punya beberapa properti kosong. Gudang, lahan, bahkan bunker tua bekas proyek bawah tanah.”
“Bagus.” Yueyue mengangguk dalam pelukan Ming Xiu.
“Dan aku butuh akses ke laboratorium juga. Untuk proyek sinyal baru. Kita harus punya jaringan komunikasi sendiri saat semua runtuh.”
Mereka berpandangan.
Ming Xiu menghapus air mata Yueyue dengan lembut, mengecup keningnya.
“Kamu ngga sendirian, ada aku.. aku selalu mendukungmu,” Ming Xiu berucap lembut.
“Dan Aku!! Aku!! Aku juga pendukung setiamu!!, Pix tidak mau kalah melompat-lompat di sekitar Yueyue.
Dan malam itu, sebuah ikatan baru lahir, lebih kuat dari sekadar janji. Ini adalah janji untuk bertahan hidup bersama.
Yueyue merasakan liontin di lehernya bergetar pelan.
Ia menggenggamnya.
“Hmmmm….,” gumamnya.
“Aku rasa… kalung ini menyimpan sesuatu.”
Ming Xiu memandangnya heran.
“Menyimpan apa?”
Sebelum ia bisa menjawab, dunia di sekitarnya berdenyut.
Seketika, pemandangan di ruang tamu itu berubah.
Mereka berdua berdiri di tengah padang rumput luas, dengan danau jernih di kejauhan, udara harum dengan aroma tanah basah, dan sebuah rumah kayu besar berdiri megah tak jauh dari tempat mereka berpijak.
Pix jatuh terjerembab dari udara hologramnya, matanya melebar.
“A-apa-apaan ini?! Kita teleport?!”
Yueyue mendongak, matanya membulat.
“Ini… ini dunia di dalam liontin...” bisiknya.
Ming Xiu melepaskan pelukannya, tubuhnya berputar perlahan, matanya menatap tak percaya pada dunia baru itu.
“Tempat ini… bersih. Aman. Terisolasi.”
Yueyue tersenyum kecil untuk pertama kalinya malam itu.
“Kita tidak hanya punya senjata untuk melawan kiamat. Kita punya dunia kecil sendiri.”