Bab 1 : Awal yang Terlalu Indah

Langit Indramayu awal semester itu mendung. Di tengah keramaian mahasiswa baru yang sibuk mencari kelas, Rasyid berdiri sendiri di bawah pohon Mangga, memandangi gedung fakultas dengan wajah serius. Ia bukan mahasiswa baru—ia aktivis yang sudah dua tahun menjadi nyawa dalam setiap diskusi dan demonstrasi. Suaranya sering memenuhi ruang-ruang forum kampus, menyuarakan keadilan, merangkai tuntutan, dan merobek diam yang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan.

Rasyid percaya perubahan harus diperjuangkan, bukan hanya dituliskan di kertas ujian. Ia sering dianggap keras kepala, terlalu idealis, terlalu berani. Tapi di balik semua itu, ada sisi yang tak banyak orang tahu—hatinya rapuh, sangat rapuh, terutama sejak dia bertemu dengan Nadira.

Nadira bukan aktivis. Ia datang sebagai mahasiswa baru, polos dan sederhana. Tapi ada ketenangan dalam sorot matanya yang membuat Rasyid berhenti sejenak dari gemuruh dunia yang biasa ia teriakkan. Pertemuan pertama mereka bukan dalam diskusi politik, tapi di depan forum ospek, ketika Nadira menjadi Maba dan Rasyid sebagai pemateri keorganisasian tanpa sadar sering mencuri pandang pada Nadira.

Dari situ, segalanya perlahan berubah. Rasyid yang biasanya lantang, jadi pelan ketika berbicara dengannya. Ia mulai merelakan sebagian malamnya untuk hal lain selain menyusun strategi aksi: menulis puisi, menulis doa, menulis rasa yang tumbuh diam-diam.

Tapi seperti perjuangan yang tak selalu berhasil, cinta pun tak selalu berbalas sebagaimana doa yang dipanjatkan.

Dan dari sinilah semuanya dimulai…