Suasana kampus mulai berubah seiring bergulirnya waktu. Papan-papan mading dipenuhi pengumuman organisasi, dan panggung-panggung diskusi kembali hidup setelah sempat senyap pasca libur semester. Rasyid kembali menjadi poros di lingkaran aktivisme kampus. Namun, sejak pertemuan dengan Nadira, ada yang bergeser dari dalam dirinya—sesuatu yang lembut, yang membuatnya menulis nama Nadira lebih sering di buku catatannya daripada kata "revolusi".
Nadira masih menjadi mahasiswi baru yang pelan-pelan menyesuaikan diri. Ia bukan tipe yang aktif dalam organisasi, tapi ia suka diam-diam duduk di belakang saat ada diskusi. Kadang Rasyid melihatnya datang ke ruang forum, membawa catatan kecil dan wajah serius. Di sana, tanpa sadar, matanya sering berhenti di wajah itu, pada cara Nadira menyimak dengan tenang, pada caranya tersenyum tipis saat menemukan hal menarik.
Rasyid selalu percaya bahwa cinta bukan untuk ditaruh di depan barisan massa. Ia takut mempermalukan perasaannya sendiri. Ia mencintai Nadira dengan diam-diam yang nyaring di dalam dada, seperti gema orasi yang tak pernah selesai ia gaungkan.
Suatu sore, di kantin kampus yang mulai sepi, mereka akhirnya berbicara di luar forum.
“Kamu sering datang ke diskusi, tapi nggak pernah ikut bicara,” kata Rasyid sambil menyendok nasi padangnya.
Nadira tersenyum kecil. “Aku belum merasa cukup tahu untuk bicara.”
“Kamu tahu, diam juga kadang lebih kuat dari teriakan. Tapi suara kamu penting, Nadira.”
Nama itu terdengar lain di bibir Rasyid. Seolah ketika ia mengucapkannya, ada sesuatu dalam dirinya yang mencoba diredam—dan gagal.
Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka makin sering. Bukan karena disengaja, tapi seperti semesta tahu bahwa ada dua orang yang harus saling temukan, meski tak saling mencari. Kadang di taman kampus, kadang di perpustakaan, atau hanya sekadar lewat dan bertukar senyum di koridor.
Namun, semakin dalam perasaannya tumbuh, semakin keras Rasyid menahan diri. Ia tahu Nadira berbeda. Ia bukan seperti dunia yang biasa ia perjuangkan—yang gaduh, penuh tuntutan, dan sering membuatnya marah.
Nadira adalah jeda.
Di tengah pertemuan aktivis, Rasyid sering diam sejenak saat ingat senyum Nadira. Ia mulai menulis puisi yang tidak lagi bicara soal revolusi, tapi tentang hati yang tak tahu arah pulang.
“Kutulis namamu, Nadira… bukan di spanduk, bukan di pamflet, tapi di antara jeda doa yang kusebut paling sering…”
Namun, tak ada cinta tanpa ujian. Hari itu, Rasyid melihat Nadira berjalan bersama seorang laki-laki lain. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan ribuan gugur daun yang tak mampu ia ceritakan.
“Siapa dia?” tanya Arman, sahabat seperjuangannya, saat melihat Rasyid menatap ke arah mereka.
“Bukan siapa-siapa,” jawabnya pendek, sambil menghela napas panjang.
Tapi hatinya tak sependek jawaban itu.
Sejak hari itu, Rasyid mulai menjaga jarak. Bukan karena membenci, tapi karena takut berharap pada sesuatu yang tak pasti. Ia tetap mencintai, tapi memilih mendoakan dari jauh. Ia tetap peduli, tapi memilih menyembunyikannya dalam diam.
Dan malam-malamnya kembali menjadi gelap, hanya diterangi lampu meja dan secarik puisi yang tak pernah selesai:
“Tuhan… kalau memang bukan untukku, jangan biarkan aku terlalu dalam merindukannya…”
Malam di kamar kontrakannya selalu menjadi ruang pengakuan yang paling jujur. Di sana, tak ada poster demonstrasi, tak ada toa, tak ada tuntutan. Hanya ada dirinya, secangkir kopi dingin yang tak habis diminum, dan buku catatan penuh puisi yang belum sempat dibacakan.
Rasyid duduk di lantai, menyandarkan punggung pada dinding. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya kembali ke satu titik di masa lalu yang masih ia simpan rapat—seseorang bernama Alya.
Alya adalah perempuan pertama yang ia ajak bicara tentang masa depan. Dulu, mereka sama-sama aktif di organisasi kampus. Alya pintar, pandai bicara, dan tahu cara menenangkan idealisme Rasyid yang meledak-ledak. Tapi di balik semua kecocokan itu, ada satu hal yang tak pernah ia duga: Alya tak pernah benar-benar memilihnya.
Alya adalah perempuan pertama yang ia ajak bicara tentang masa depan. Dulu, mereka sama-sama aktif di organisasi kampus. Alya pintar, pandai bicara, dan tahu cara menenangkan idealisme Rasyid yang meledak-ledak. Tapi di balik semua kecocokan itu, ada satu hal yang tak pernah ia duga: Alya tak pernah benar-benar memilihnya.
Rasyid masih ingat hari ketika Alya meneleponnya, suaranya lirih, gugup.
"Aku minta maaf, Rasyid... Minggu depan aku akan menikah."
Itu seperti suara yang meledakkan jantungnya dari dalam. Waktu seolah berhenti.
“Kamu bercanda?”
“Enggak. Aku tahu aku salah. Tapi aku bingung harus gimana. Dia... orang tua yang pilih. Dan… dia sudah bantu keluarga aku dari dulu.”
Setelah itu, semuanya kabur. Rasyid tak pernah hadir di pernikahan Alya. Tapi ia mendengar dari teman-temannya bahwa Alya menyebut Rasyid sebagai sosok yang “terlalu keras kepala”, “terlalu sibuk dengan idealismenya sendiri”, “tidak punya waktu untuk cinta yang nyata”.
Padahal, Rasyid mencintai Alya lebih dari apapun. Tapi ia dikalahkan oleh tafsir yang dibuat-buat. Ia dikalahkan oleh narasi playing victim yang Alya bangun demi menenangkan rasa bersalahnya sendiri. Ia dijadikan alasan mengapa cinta mereka gagal, padahal Rasyid adalah satu-satunya yang bertahan saat semuanya goyah.
Sejak saat itu, Rasyid tak pernah benar-benar pulih. Ia belajar mencintai dalam diam. Tak lagi menuntut. Tak lagi berharap. Ia mencintai seperti berdoa—dalam hening, dalam takut, dalam ragu-ragu.
Dan kini, saat Nadira datang membawa harapan baru, bayangan Alya masih sesekali menyelinap. Rasa takut ditinggalkan, rasa takut disalahpahami, rasa takut mencintai tanpa dibalas dengan benar. Semua itu membuat Rasyid memilih mundur selangkah, walau hatinya sudah jauh melangkah lebih dulu.
Suatu malam, ia menulis sebuah puisi:
"Kutemui Nadira dalam doa yang tak bersuara.
Tapi hatiku masih membawa jejak Alya—
yang mengajarkanku bahwa cinta bisa mengkhianati
dengan wajah yang tetap tersenyum dan berkata:
'Aku tak punya pilihan.'”
Keesokan harinya, saat bertemu Nadira di kantin kampus, ia menatap mata gadis itu dengan lebih tenang, tapi juga lebih jauh. Ia tidak ingin Nadira menjadi luka yang sama. Tapi ia juga tahu, dirinya belum benar-benar sembuh.
Nadira menatapnya, seolah ingin bertanya sesuatu. Tapi ia tak mengucapkannya.
Dan begitulah mereka berdua: saling menyimpan, saling menahan.
Cinta itu hadir, tapi tak pernah punya ruang untuk tumbuh bebas.