Langit masih mendung, dan Rasyid tetap seperti biasa—sendiri di tengah keramaian. Sejak awal kuliah, ia tak pernah benar-benar mencari kenyamanan dari manusia. Ia percaya bahwa jalan perjuangan adalah jalan sunyi, yang tak semua orang kuat menjalaninya. Ia percaya, bahwa menjadi aktivis bukan soal panggung, tapi luka. Dan setiap luka punya suara.
Sejak pagi itu, Rasyid kembali larut dalam urusan organisasi mahasiswa. Agenda-agenda yang menumpuk di notulen rapat, jadwal audiensi dengan rektorat, hingga rencana konsolidasi akbar antar fakultas. Dunia tempatnya berpijak bukan di kafe kampus atau ruang-ruang romansa, tapi di lapangan tempat suara-suara ditindas, dan ia berdiri menolak diam.
Rasyid bukan tanpa masa lalu. Tapi ia tidak membiarkannya mengambil alih hari-harinya. Ia hanya sesekali terdiam saat menyusuri lorong fakultas, teringat bagaimana kepercayaan bisa menjadi barang langka dalam dunia pergerakan. Bukan karena cinta yang gagal, tapi karena pengkhianatan dari mereka yang pernah disebut "kawan seperjuangan".
Ia pernah ditikam dari belakang. Pernah dijatuhkan bukan oleh musuh, tapi oleh orang yang mengaku berdiri di barisan yang sama. Dan luka itu lebih menyakitkan dari patah hati.
Kini, ia lebih hati-hati. Ia tidak mudah percaya. Ia memperketat ruang masuk ke dalam dirinya. Bukan karena dia membenci kedekatan, tapi karena ia terlalu sering melihat kehangatan berubah jadi manipulasi.
"Ruang sunyi itu memang tak ramah, tapi setidaknya aku tahu siapa diriku ketika tidak ada yang menonton," tulis Rasyid dalam catatan harian yang hanya bisa dibuka oleh password berlapis.
Ia mulai menghindari interaksi personal yang tidak perlu. Ia lebih nyaman berdiskusi strategi dibanding diskusi tentang perasaan. Ia lebih percaya pada hasil kajian ketimbang janji-janji manis tentang perhatian dan cinta.
Di ruang sekretariat malam itu, hanya ada cahaya remang dan suara kipas angin tua. Rasyid duduk bersila dengan tumpukan kertas di sekelilingnya—draft tuntutan, data-data anggaran, dan peta kekuatan gerakan mahasiswa Jawa Barat.
Seorang rekan datang, memberikan update kabar bahwa beberapa anggota baru merasa Rasyid terlalu kaku, terlalu dingin.
Rasyid hanya mengangguk. Ia tak perlu dicintai oleh semua orang. Cukup dengan dihormati karena kerja keras dan integritasnya.
Karena bagi Rasyid, lebih baik dicap keras kepala daripada kehilangan arah dalam arus yang penuh kompromi.
Tak lama, pintu diketuk pelan. Seorang rekan satu organisasi, Fahmi, masuk sambil membawa dua gelas kopi sachet dari kantin bawah.
Fahmi:
“Lo nggak capek, Syid? Seharian ngerjain draft aksi sendirian?”
Rasyid (menyambut kopi tanpa menoleh):
“Capek. Tapi lebih capek kalau suara kita nggak kedengeran cuma karena kita berhenti.”
Fahmi duduk di sampingnya, melempar tubuh ke sofa tua.
Fahmi:
“Ada yang bilang lo terlalu keras. Nggak terbuka. Bahkan ke anggota baru.”
Rasyid:
“Gue bukan dosen pembimbing. Kalau mereka mau manja, salah tempat.”
Fahmi tertawa pelan, tapi tak benar-benar lega.
Fahmi:
“Kadang... yang mereka butuh bukan sekadar materi gerakan, Syid. Tapi pemimpin yang bisa ditanya soal hidup. Yang bisa ketawa bareng.”
Rasyid:
“Dulu gue pernah ketawa bareng. Tapi yang ketawa sama gue, sekarang malah playing victim ke mana-mana. Lo tahu cerita itu.”
Fahmi (terdiam, lalu mengangguk pelan):
“Iya, yang nikah diam-diam itu, ya?”
Rasyid (lirih):
“Dia yang ngajak gue diskusi malam-malam soal bangsa, tapi diam-diam nyari pelarian buat hidupnya sendiri. Dan gue ditinggal tanpa pamit.”
Fahmi menatap wajah Rasyid yang untuk sesaat terlihat benar-benar lelah.
Fahmi:
“Dan lo jadi segini kaku karena itu?”
Rasyid:
“Gue jadi ngerti, Mi. Kadang orang datang bukan karena ingin jalan bareng, tapi karena butuh tumpangan sementara. Dan gue bukan halte.”
Keduanya diam. Hanya bunyi kertas dibalik yang jadi latar.
Rasyid:
“Ada yang bisa dipercaya, ada yang cuma bisa diamati dari jauh. Gue nggak keras. Gue cuma nggak mau jatuh di lubang yang sama dua kali.”
Fahmi:
(menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit)
“Gue paham. Tapi, Sid... lo juga harus sadar, nggak semua orang itu penumpang. Kadang ada yang datang, niatnya emang mau jalan bareng. Tapi lo tutup pintunya rapat-rapat. Gimana mereka mau masuk?”
Rasyid:
(mengusap wajahnya lelah, lalu tertawa kecil)
“Gue tahu. Tapi pintu yang kebuka terus juga bikin rumah kemalingan, Mi. Dan gue udah pernah kemalingan waktu gue pikir gue lagi bangun masa depan bareng seseorang.”
Fahmi:
(mengangguk pelan, lalu mencondongkan tubuh ke depan)
“Gue ngerti luka lo dalem, Sid. Tapi bukan berarti lo harus jadi benteng terus-terusan. Kita ini hidup, bukan perang. Sekali-kali buka jendela, biar cahaya masuk.”
Rasyid:
(menatap Fahmi dalam, lalu mengangguk pelan)
“Mungkin... Gue belum nemu alasan yang cukup kuat buat buka jendela itu lagi. Tapi kalaupun nanti gue buka, harus karena gue siap. Bukan karena didesak orang, bukan karena kesepian.”
Fahmi:
“Dan Nadira? Dia jadi alasan itu?”
Rasyid:
(diam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan)
“Dia kayak pagi yang adem setelah malam panjang. Tapi gue masih takut kalau itu cuma ilusi, Mi. Gue nggak mau jatuh cinta kalau akhirnya harus jatuh sendirian.”
Fahmi:
(tersenyum tipis)
“Kalau lo terus takut jatuh, lo nggak akan pernah tahu rasanya berdiri bareng seseorang. Cinta itu bukan soal jaminan bahagia, Sid. Tapi soal keberanian ngelangkah walau belum tahu hasilnya.”
Rasyid:
(menatap kertas tuntutan di mejanya, lalu berkata lirih)
“Lucu ya. Kita bisa berani ngelawan sistem, ngelawan ketidakadilan, tapi takut sama yang namanya perasaan.”
Fahmi:
(tertawa)
“Karena demo itu rame-rame. Tapi mencintai... seringnya sendirian.”