Fahmi menatap Rasyid dengan sorot mata serius, tak seperti biasanya. Setelah jeda panjang, Rasyid kembali membuka suara, pelan, tapi dalam.
Rasyid:
“Dulu gue percaya semua orang yang datang itu tulus. Gue pikir cukup jadi baik, maka gue bakal dipertahankan. Tapi ternyata... nggak gitu caranya dunia main.”
Fahmi:
“Yang dulu ya udah. Tapi yang sekarang belum tentu sama, Syid.”
Rasyid:
“Masalahnya bukan cuma soal siapa yang datang, Mi. Tapi luka yang dibawa setiap kali pintu hati keburu dibuka. Lo ngerti kan rasanya ditinggal waktu kita lagi percaya-percayanya?”
Fahmi mengangguk pelan. Lalu ruangan sunyi kembali. Hujan di luar terdengar makin deras. Di antara suara rintik, hanya suara lembaran kertas yang dibalik dan detak jarum jam di dinding yang menemani percakapan mereka.
Setelah beberapa saat, Fahmi berdiri, merapikan beberapa map.
Fahmi:
“Gue ngerti. Tapi jangan sampai lo hidup di antara kenangan dan takut. Lo bisa kehilangan yang baru cuma karena trauma yang lama.”
Rasyid tak menjawab. Tapi ucapannya menancap. Ia pulang malam itu sambil menatap trotoar basah di bawah lampu jalan, seperti biasa.
Keesokan harinya
Langit Indramayu mendung lagi. Seolah alam tahu, ada hati yang belum benar-benar pulih.
Rasyid datang ke sekretariat lebih awal. Bukan untuk rapat, tapi karena pikirannya belum selesai. Di mejanya, berserakan draft proposal, beberapa buku pergerakan, dan satu buku puisi. Buku yang diberikan Alya, tiga tahun lalu.
(Flashback – 3 Tahun Lalu)
Alya datang saat Rasyid baru menjadi ketua BEM. Ia mendukung, ada di setiap aksi, ikut menyusun pernyataan sikap. Tapi perlahan-lahan, ia mulai menjauh. Awalnya karena sibuk skripsi, lalu magang, lalu... hilang.
Lalu tiba-tiba kabar pernikahan Alya muncul, mengejutkan semua, termasuk Rasyid. Bukan dengan Rasyid, tentu saja. Ia menikah dengan seseorang yang bahkan tak pernah dikenalkan ke lingkaran mereka. Rasyid mengetahuinya dari Instagram—undangan digital, senyum Alya yang menggenggam bunga di pelaminan, dan sebuah caption singkat: “Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.”
Seketika, tubuh Rasyid kaku. Ia duduk berjam-jam di bawah lampu sekretariat yang sudah kedap-kedip. Hatinya tak paham. Bahkan ketika teman-temannya berusaha menenangkan, dia tidak mendengar apa pun.
Dan yang lebih menyakitkan: beberapa minggu setelah pernikahan itu, Alya mengirim pesan panjang, penuh air mata virtual, seolah ingin dimengerti. Ia menyalahkan Rasyid karena terlalu sibuk dengan dunia idealismenya. “Kamu mencintai semua orang lewat perjuanganmu, tapi aku cuma ingin dicintai sebagai aku,” tulisnya.
Alya tak pernah benar-benar meminta berhenti. Ia hanya terus menunggu, sambil diam-diam mengemasi hatinya untuk orang lain.
Rasyid kembali ke masa kini.
Tangannya menggenggam buku puisi yang Alya berikan. Di dalamnya, ada satu halaman yang dilipat. Puisi terakhir yang ditulis Alya sendiri:
"Jika kau memilih jalan batu dan bendera,
jangan salahkan aku yang ingin pelukan dan rumah."
Rasyid menutup bukunya. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu berdiri.
Hari ini ia harus kembali ke kelas, tapi ada yang berbeda di langkahnya. Di koridor fakultas, ia melihat Nadira berjalan sendiri, membawa beberapa lembar selebaran. Tanpa sadar, langkahnya melambat.
Nadira:
“Mas Rasyid. Ikut bagi-bagi selebaran untuk acara diskusi minggu depan nggak?”
Rasyid: (ragu, tapi lalu tersenyum tipis)
“Boleh. Tapi aku gak jago senyum kayak kamu pas nawarin orang.”
Nadira: (tertawa pelan)
“Nggak apa-apa. Yang penting tulus.”
Rasyid:
“Masalahnya, aku juga gak jago berpura-pura.”
Nadira:
“Itu justru bagus, Mas. Dunia udah penuh orang yang jago basa-basi. Sekali-kali ketemu yang jujur, rasanya… lega.”
Mereka berjalan berdampingan di koridor kampus yang mulai ramai. Rasyid tahu ini bukan cinta, belum. Tapi ada sesuatu yang hangat dalam interaksi sederhana itu. Sesuatu yang tidak memaksa. Tidak melukai.
Rasyid: (melirik ke arahnya sekilas)
“Kamu yakin nyaman di kampus ini? Banyak orang pakai topeng, bahkan di balik bendera dan forum-forum.”
Nadira: (menatap ke depan, langkahnya tetap tenang)
“Aku bukan cari tempat yang sempurna. Aku cuma pengen jadi bagian dari sesuatu yang hidup. Dan aku pikir, selama ada orang kayak Mas Rasyid, kampus ini belum sepenuhnya mati.”
Rasyid: (terdiam, matanya menunduk sejenak)
“Kamu belum tahu aku sepenuhnya. Jangan terlalu cepat percaya.”
Nadira: (tersenyum kecil)
“Aku nggak percaya pada siapa pun sepenuhnya, Mas. Tapi aku percaya perasaan pertama yang bikin aku mau mendengarkan lebih lama.”
Rasyid terdiam. Hatinya bergetar, tapi ia terlalu terbiasa menyembunyikan reaksi. Ia menunduk, pura-pura melihat selebaran, padahal benaknya dipenuhi suara yang tak pernah ia izinkan muncul—suara tenang yang bukan teriakan, tapi bisa menembus diamnya.
Nadira:
“Mas Rasyid… orang bilang, cinta itu butuh pengorbanan. Tapi aku rasa, kadang yang lebih berat itu percaya lagi.”
Rasyid: (lirih)
“Aku bukan luka yang bisa sembuh hanya karena seseorang datang dengan senyum.”
Nadira: (pelan, menatapnya lembut)
“Dan aku bukan obat. Aku cuma seseorang yang bersedia duduk di samping, tanpa bertanya kapan lukanya sembuh.”
Kalimat itu jatuh seperti titik di akhir paragraf panjang dalam hati Rasyid. Sunyi menyelinap di antara mereka, tapi bukan canggung—melainkan semacam kehangatan yang baru.
Di ujung koridor, matahari sore mulai jatuh ke sela jendela-jendela gedung tua. Rasyid menghela napas, lalu membuka suara lagi.
Rasyid:
“Kalau nanti kamu kecewa, jangan diam-diam pergi. Setidaknya beri tahu… biar aku nggak bertanya-tanya sepanjang waktu.”
Nadira: (tersenyum, matanya menyiratkan rasa percaya yang belum tumbuh penuh)
“Aku gak datang untuk pergi, Mas. Aku datang untuk melihat, mendengar… mungkin bertahan, kalau kamu izinkan.”
Rasyid tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa… mungkin kali ini, ia tak harus menyiapkan perisai duluan.
Dan di antara ribuan kata yang pernah ia teriakkan di forum-forum mahasiswa, sore itu Rasyid menyadari: ada kalimat yang tak perlu diteriakkan untuk mengubah segalanya.