"Kita Ini Siapa Saat Tak Ada yang Melihat?"

Langit sore itu berwarna jingga. Rasyid berjalan menyusuri lorong fakultas yang mulai sepi. Di tangannya, ada selembar pamflet aksi yang sudah lecek. Sepanjang siang, ia membagikannya ke beberapa mahasiswa, tapi responsnya dingin. Dunia kampus seperti kehilangan getaran perjuangan yang dulu menggelegar. Semua sibuk dengan diri masing-masing.

Langkahnya terhenti di taman kecil dekat perpustakaan. Ia melihat Nadira duduk sendiri di bangku batu, menatap langit. Krudungnya di hempas angin sore, wajahnya tenang seperti biasa. Tanpa pikir panjang, Rasyid duduk di sampingnya. Nadira menoleh, tersenyum kecil.

Nadira:

“Kamu kayak hantu kampus. Tiba-tiba nongol, tapi jarang kelihatan di kelas.”

Rasyid:

(tersenyum tipis)

“Aku bukan hantu. Aku cuma... kebanyakan mikir.”

Nadira:

“Mikir tentang negara? Dunia? Atau aku?”

Rasyid menoleh, kaget, lalu tertawa pelan.

Rasyid:

“Kamu tahu? Itu pertama kalinya ada yang nanya begitu.”

Nadira:

“Terus terang aja. Kamu terlihat lelah. Tapi masih maksain berdiri.”

Rasyid:

“Karena kalau aku duduk, takutnya aku nggak bakal berdiri lagi. Aku terlalu sering kehilangan hal-hal yang aku perjuangkan.”

Nadira menatapnya dalam, lalu perlahan berkata:

Nadira:

“Kamu boleh berhenti sebentar, Rasyid. Nggak semua perjuangan harus ditanggung sendiri.”

Diam. Hening. Rasyid memejamkan mata sejenak. Dalam kepala, wajah masa lalunya datang—perempuan yang dulu ia cintai, yang berpura-pura peduli, lalu menikah diam-diam. Luka itu belum sembuh.

Rasyid:

“Dulu, aku percaya semua orang yang datang itu karena ingin tinggal. Tapi ternyata, ada yang datang cuma untuk tahu rasanya ditunggu, lalu pergi.”

Nadira:

“Dan sekarang, kamu takut aku juga gitu?”

Rasyid:

(terdiam sebentar)

“Bukan takut. Tapi kalau kamu pergi, aku nggak tahu... apa yang masih tersisa dari aku.”

Nadira menghela napas pelan.

Nadira:

“Aku bukan orang yang bisa janji apa-apa, Rasyid. Tapi kalau kamu izinkan, aku mau ada. Bukan buat jadi penonton perjuanganmu, tapi teman di tengah ributnya dunia.”

Suara adzan maghrib menggema dari masjid kampus. Rasyid menunduk. Ada getar halus dalam dadanya. Ia tahu, tidak semua orang seperti yang dulu. Tapi bayangan luka seringkali lebih besar dari kenyataan.

Malam harinya, Rasyid kembali ke sekretariat organisasi. Di meja penuh kertas dan spanduk, Fahmi menatapnya dengan heran.

Fahmi:

“Lo habis dari mana? Wajah lo kayak habis perang batin.”

Rasyid:

“Tadi ngobrol sama Nadira. Rasanya... gue pengen berhenti sejenak. Nggak berhenti berjuang, tapi berhenti menyakiti diri sendiri.”

Fahmi:

“Lo sadar kan, Ris... nggak semua orang ngerti cara lo mencintai. Kadang, lo terlalu dalam. Lo ngasih semua, sampe lupa ninggalin buat diri lo sendiri.”

Fahmi:

“Lo sadar kan, Ris... nggak semua orang ngerti cara lo mencintai. Kadang, lo terlalu dalam. Lo ngasih semua, sampe lupa ninggalin buat diri lo sendiri.”

Rasyid tersenyum, lelah tapi jujur.

Rasyid:

“Mungkin sekarang saatnya belajar mencintai dengan waras.”

Fahmi:

“Cinta yang waras itu bukan yang nggak sakit, Ris. Tapi yang tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berjuang.”

Rasyid mengangguk pelan, tatapannya menatap kosong ke arah dinding yang penuh coretan rencana aksi. Kertas-kertas tuntutan, spanduk dengan cat semprot, dan foto-foto dokumentasi perjuangan masih setia di sana. Tapi pikirannya tidak di sana.

Rasyid:

“Gue capek, Mi. Tapi anehnya, waktu tadi Nadira bilang dia mau ada… rasanya kayak semua beban itu nggak seberat biasanya.”

Fahmi:

“Nah itu. Tanda lo manusia biasa. Lo bukan peluru yang bisa terus nembus semua tanpa pecah.”

Rasyid:

“Masalahnya, gue takut. Kalau gue buka pintu buat dia, dan ternyata dia cuma numpang lewat. Kayak yang dulu. Lo tahu kan, yang waktu itu—”

Fahmi: (memotong, menghela napas)

“ Yang main korban padahal lo yang ditinggal? Iya, gue tahu. Dan gue tahu juga, lo belum benar-benar sembuh.”

Fahmi:

“Makanya, jangan lo bandingin Nadira sama dia. Manusia beda, luka beda. Tapi kalau lo tahan terus begini, lo bukan lagi mempertahankan idealisme, lo cuma ngurung diri lo dalam trauma.”

Rasyid tertawa pelan, getir.

Rasyid:

“Kadang gue mikir, gue ini aktivis yang nyuruh orang buat berani bersuara, tapi gue sendiri takut denger suara hati gue sendiri.”

Fahmi:

“Itu artinya lo belum mati rasa, Ris. Dan kalau lo tanya gue, itu kabar baik.”

Rasyid: (menghela napas panjang)

“Besok gue ajak Nadira ngobrol lagi. Bukan sebagai mahasiswa baru, bukan sebagai cewek yang bikin gue resah. Tapi sebagai seseorang yang mungkin... bisa gue percaya.”

Fahmi:

“Gitu dong. Lo bukan cuma aktivis, Ris. Lo juga manusia. Jangan lupa punya hak untuk bahagia.”

Setelah percakapan itu, Rasyid memandangi layar laptopnya. Ia membuka folder lama berisi puisi-puisi yang tak pernah dikirim. Jemarinya mulai menari di atas keyboard. Kata-kata muncul pelan-pelan, bukan lagi seruan aksi, tapi suara hatinya yang selama ini tertahan.

“Aku terlalu sering menginginkan negara ini berubah,

sampai lupa bahwa hatiku juga butuh diperjuangkan…”