Malam mulai turun di langit Indramayu, dan kampus perlahan sepi. Lampu-lampu taman menyala redup, membentuk bayangan panjang di jalan setapak menuju fakultas. Di bangku dekat perpustakaan, Rasyid duduk sendiri, menatap layar ponselnya yang kosong, menunggu pesan yang tak kunjung datang.
Pesan dari Nadira.
Percakapan mereka kemarin masih terulang di kepalanya. Nadira, dengan suara tenangnya, seperti biasa tidak memberi kepastian, tapi cukup untuk membuat Rasyid berpikir dua kali sebelum melepaskan semuanya.
Di sisi lain, Rasyid tahu dirinya sedang berada di persimpangan. Bukan hanya soal cinta, tapi juga perjuangan. Beberapa minggu terakhir, rapat-rapat organisasi mulai terasa hambar. Isu-isu yang dulu membuatnya menyala, kini hanya terdengar seperti slogan kosong yang terus diulang tanpa makna.
Hari ini, Fahmi kembali menghubunginya, kali ini dengan nada suara yang sedikit berbeda.
Fahmi (melalui telepon):
"Lo bakal ke forum aksi minggu depan?"
Rasyid:
"Belum tahu, Mi. Gue masih mikirin beberapa hal..."
Fahmi:
"Lo tahu nggak, beberapa anak mulai bilang lo udah nggak idealis lagi sejak kenal Nadira."
Rasyid (diam sejenak):
"Biarkan mereka bicara. Mereka nggak tahu apa-apa soal luka yang gue simpan."
Rasyid mematikan telepon. Bukan karena marah pada Fahmi, tapi karena lelah menjelaskan. Ia merasa sedang kehilangan pijakan. Di satu sisi, ia masih ingin menjadi suara bagi yang tak terdengar. Tapi di sisi lain, hatinya mulai melemah.
Malam itu, dia kembali menulis. Bukan makalah aksi, bukan rancangan tuntutan, tapi puisi. Tentang Nadira. Tentang dirinya sendiri. Tentang kehilangan yang seperti sudah dipastikan, hanya belum diumumkan secara resmi.
“Kau hadir seperti kabut pagi—
Mendekat, lalu menghilang sebelum kupegang.
Haruskah aku menunggu terang,
Atau tetap diam dalam bayang?”
Ia meletakkan buku catatannya, menutup mata, dan menarik napas panjang.
Besok, ia akan menemui Nadira lagi. Tapi kali ini bukan untuk bertanya apakah perasaannya dibalas. Ia hanya ingin tahu satu hal:
Apakah pertemuan ini bernilai, atau hanya jeda sebelum perpisahan?
Keesokan Harinya
Langit kampus masih kelabu ketika Rasyid melangkah ke taman belakang perpustakaan. Tempat yang sama saat ia dan Nadira secara tak sengaja duduk berdampingan dua bulan lalu, berbicara soal buku, tentang hidup, tentang hal-hal yang tak terucap dalam forum organisasi.
Kini, Rasyid yang lebih dulu tiba. Tangannya menggenggam satu lembar kertas kecil—bukan catatan aksi, melainkan bait puisi yang ia tulis semalam. Ia tak tahu apakah akan memberikannya atau tidak. Tapi ada sesuatu yang mengganjal jika ia tak mengungkapkan apa pun.
Langkah ringan menghampiri. Nadira datang. Jilbab abu-abu dan perpaduan gamis hitam yang cocok, dengan ransel abu-abu yang selalu sama. Tidak ada senyum berlebihan, hanya lirih sapa.
Nadira:
"Lagi-lagi kita di sini, ya?"
Rasyid (tersenyum tipis):
"Mungkin tempat ini memang suka mempertemukan orang-orang yang sedang kehilangan arah."
Nadira (duduk di sampingnya):
"Atau orang-orang yang terlalu banyak bertanya pada semesta."
Hening. Hanya suara angin yang menyapu daun-daun jatuh. Rasyid akhirnya menoleh, menatap Nadira dalam-dalam.
Rasyid:
"Gue nggak mau muter-muter lagi, Dir. Ada hal yang harus gue tanya, karena selama ini, perasaan gue cuma nebak-nebak arah. Lo tahu ‘kan, gue bukan penafsir yang baik kalau soal hati."
Nadira (menunduk, menarik napas):
"Aku nggak tahu, Rasyid... Sejujurnya. Kadang aku mikir, mungkin aku nyaman sama kamu. Tapi di sisi lain, aku takut. Takut jadi beban, takut cuma jadi jeda."
Rasyid:
"Jeda buat apa?"
Nadira (lirih):
"Jeda sebelum seseorang datang yang benar-benar aku tunggu. Atau sebelum kamu kembali ke jalanmu yang penuh idealisme itu dan merasa aku cuma gangguan."
Kata-kata itu mengiris perlahan. Tapi Rasyid mengangguk. Ia mengerti. Dan justru karena itu, ia membuka genggamannya, menunjukkan kertas puisi yang ia bawa.
Rasyid:
"Kalau gitu, ini buat lo. Bukan untuk minta jawaban. Tapi biar lo tahu, kalau rasa ini bukan main-main. Gue mungkin idealis, Dir, tapi gue bukan batu. Gue bisa lembut, bisa rapuh juga."
Nadira menerima kertas itu. Membacanya tanpa berkata. Lalu hanya berujar:
Nadira:
"Aku butuh waktu. Tapi terima kasih karena kamu jujur."
Rasyid berdiri perlahan.
Rasyid:
"Waktu boleh jalan terus. Tapi kalau hati lo nggak ikut jalan, jangan terlalu lama ninggalin yang nungguin."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Nadira yang masih diam, memandangi puisi dalam genggaman.
Malam itu, Rasyid tidak menulis puisi. Ia kembali membuka buku teori sosial, menyusun draft untuk diskusi berikutnya. Tapi di pojok meja, secarik kertas kosong masih menunggu. Mungkin nanti, ia akan menulis lagi—jika hatinya belum lelah.