Titik Tertinggal

Hari-hari terasa lebih lambat sejak obrolan malam itu. Rasyid mencoba menjalani rutinitas seperti biasa—diskusi, rapat, menyusun aksi, dan membaca tumpukan jurnal yang tak pernah selesai. Tapi Nadira masih berputar dalam benaknya. Bukan hanya tentang rasa, tapi tentang pertanyaan yang belum tuntas: apa yang sebenarnya dicari mereka berdua?

Suatu sore, setelah kelas filsafat politik yang membuat kepala penat, Rasyid memutuskan untuk duduk sendiri di tangga depan perpustakaan. Tak lama, langkah pelan Nadira terdengar dari arah kanan. Ia mengenakan blouse putih dan celana kain, sederhana seperti biasa, namun tetap menyita perhatian.

"Aku pikir kamu bakal pulang cepat," sapa Nadira, duduk di sebelah Rasyid tanpa menunggu izin.

Rasyid tersenyum samar. "Kadang perpustakaan lebih sepi daripada kosan."

Nadira tertawa kecil, lalu menatap jauh ke taman kampus yang mulai sepi. “Kamu capek?”

“Selalu,” jawab Rasyid. “Tapi kalau ditanya capek karena apa, aku juga nggak tahu harus mulai dari mana.”

Ada jeda.

Nadira menarik napas pelan. “Aku denger kamu sempat dekat sama seseorang sebelum aku datang.”

Rasyid menoleh cepat. “Dari siapa?”

“Obrolan di himpunan. Nggak penting siapa. Tapi penting buat aku tahu, siapa kamu sebenarnya.”

Rasyid menunduk. Kilas balik itu datang cepat—tentang seseorang yang dulu pernah duduk di tempat yang sama, berkata janji-janji, lalu menikah dengan orang lain seminggu setelah pamit ‘mau fokus skripsi’.

Rasyid menunduk. Kilas balik itu datang cepat—tentang seseorang yang dulu pernah duduk di tempat yang sama, berkata janji-janji, lalu menikah dengan orang lain seminggu setelah pamit ‘mau fokus skripsi’.

“Ada,” jawab Rasyid pelan. “Tapi dia bukan kamu.”

“Kenapa kalian nggak lanjut?”

Rasyid menatap Nadira. “Karena dia ingin diselamatkan, dan aku sedang berusaha menyelamatkan orang banyak. Aku kira bisa jalan beriringan, tapi ternyata aku cuma tangga darurat buat dia kabur dari keluarganya. Bukan pelabuhan, cuma kapal penyeberangan.”

Nadira mematung. “Sakit ya?”

“Bukan soal sakit,” kata Rasyid lirih. “Tapi soal percaya. Dan setelah itu, aku belajar membangun tembok.”

Nadira menarik lututnya dan memeluknya ringan. “Apa aku juga akan kamu temboki?”

“Belum tahu,” Rasyid menatap lurus. “Karena aku belum tahu, kamu ingin tinggal... atau cuma mampir.”

Keheningan menyelimuti mereka. Angin sore berhembus membawa daun-daun gugur ke halaman fakultas. Sinar matahari menguning tipis, memantulkan bayang dua orang yang sama-sama tak ingin mengaku sedang takut.

“Tapi,” Nadira mulai, suaranya pelan, “kalau aku nggak punya rencana pergi, kamu akan tetap jaga jarak?”

Rasyid menoleh. “Mungkin aku akan tetap berjaga. Tapi kali ini... aku akan buka sedikit jendelanya.”

Mereka saling menatap. Tidak ada pelukan. Tidak ada janji. Hanya ruang yang mulai terbuka—dan keberanian yang mulai tumbuh perlahan.

Tiga hari setelah perbincangan di tangga perpustakaan, Rasyid bersama beberapa teman organisasi tengah sibuk membuka posko donasi di pinggir jalan protokol kota. Kegiatan ini diadakan untuk menolong masyarakat Cianjur yang terdampak gempa.

Rasyid, dengan megaphone di tangan dan rompi cokelat bertuliskan "Aksi Kemanusiaan Mahasiswa", berdiri di tepi trotoar. Suaranya lantang, namun penuh empati. “Bapak, Ibu, saudara semua—mari sisihkan sedikit rezeki untuk saudara kita yang terkena musibah. Hari ini kita bantu, besok mungkin kita yang butuh!”

Beberapa kendaraan berhenti. Warga menyumbang uang, makanan instan, bahkan pakaian layak pakai. Di tengah kepadatan aktivitas itu, ponsel Rasyid bergetar. Ia sempat mengabaikannya—nomor tak dikenal. Tapi getaran itu terus berulang, lima kali berturut-turut.

Akhirnya ia meminta izin sebentar, menepi ke samping posko, dan mengangkat telepon.

“Halo?”

Suara laki-laki di seberang terdengar datar tapi tajam.

“Lo Rasyid?”

“Iya, ini siapa?”

“Anehnya lo bisa sok kenal banget ya sama Nadira.”

Jantung Rasyid seolah berhenti sejenak. “Maksud lo?”

“Gue pacarnya. Dan gue tahu lo deketin dia. Gue cuma mau bilang, jangan ganggu dia lagi.”

Seketika kepala Rasyid berisik. Angin jalanan mendadak seperti bisikan tajam. “Lo ngomong gitu karena Nadira suruh atau karena lo insecure?”

Laki-laki itu tertawa dingin. “Gue ngomong gini karena dia terlalu baik buat bilang sendiri. Dia nggak enakan. Tapi dia udah nggak nyaman sama lo.”

Klik.

Telepon terputus.

Rasyid berdiri terpaku. Pandangannya kabur. Suara bising kota, klakson, dan panggilan megaphone dari kejauhan terasa seperti gema yang jauh. Tangannya gemetar, bukan karena marah—tapi karena kecewa yang belum tahu arah.

Ia menatap langit sore yang mulai abu-abu. Angin membawa debu dan rasa yang berserakan.

Beberapa saat kemudian, Fahmi menghampiri sambil menepuk bahunya. “Bro, lo kenapa?”

Rasyid hanya menggeleng.

“Baru kali ini lo nggak teriak waktu open donasi.”

Rasyid menarik napas panjang, menatap kotak donasi yang mulai penuh. “Mi... Ternyata cinta juga bisa datang dengan surat pengusiran, bahkan sebelum sempat masuk.”

Fahmi memicingkan mata, bingung.

“Gue cuma ngerasa... mungkin gue terlalu percaya, lagi.”

Sore menjelang malam, posko donasi mulai ditutup. Mahasiswa satu per satu membongkar spanduk dan merapikan kardus sumbangan. Tapi Rasyid tak banyak bicara—ia lebih banyak diam, matanya sesekali menatap layar ponsel. Nomor asing itu masih tersimpan di daftar panggilan masuk, tapi namanya tidak ada.

Rasa sesak makin menguat, dan Rasyid tak bisa menahannya lagi. Di halte bus kecil di seberang jalan, ia mengetik pesan:

“Bisa ketemu sebentar? Ada yang mau gue tanyain. Penting.”

Dikirim. Centang dua. Belum dibaca.

Baru sekitar lima belas menit kemudian, Nadira membalas:

“Aku masih di kampus. Di taman belakang perpustakaan.”

Rasyid segera melangkah. Di antara langkah cepatnya, dadanya terus bergemuruh—bercampur antara marah, bingung, dan takut mendengar jawaban.

Sesampainya di taman, ia menemukan Nadira duduk sendiri, mengenakan hoodie hitam dan celana jeans. Ia tampak lelah, tapi tersenyum kecil saat melihat Rasyid.

“Kamu nyari aku?” tanyanya.

Rasyid langsung duduk, tanpa basa-basi, dan mengangkat ponsel.

“Ada yang nelepon gue tadi. Ngaku pacar kamu. Dia bilang gue ganggu kamu. Dan... lo nggak nyaman.”

Nadira terdiam. Senyum tipisnya hilang. Matanya terbelalak sejenak, lalu perlahan menunduk.

“Aku... aku bisa jelasin,” ujarnya pelan.

Rasyid menatapnya tajam. “Tolong jelasin sekarang. Gue udah cukup ngira-ngira dan nahan banyak hal, Dir.”

Nadira menggigit bibir bawahnya. Lama. Lalu menghela napas.

“Dulu... sebelum aku ke sini, aku dekat sama seseorang. Tapi udah selesai. Tapi dia... belum bisa nerima. Dia posesif. Aku nggak pernah bilang dia pacar aku—karena dari awal aku nggak pernah iya-in dia. Tapi dia selalu ngaku-ngaku.”

Rasyid menyipitkan mata. “Jadi maksud lo... lo nggak ada hubungan sama dia?”

“Enggak,” jawab Nadira cepat. “Dan aku minta maaf kalau dia ganggu kamu.”

Rasyid diam. Hatinya ingin percaya, tapi pikirannya masih gelisah. “Tapi kenapa dia bisa tahu gue deket sama lo?”

Nadira tertunduk makin dalam. “Mungkin... dari media sosial? Atau... entah. Dia masih suka pantau.”

Rasyid mendesah panjang. Tangannya menutup wajahnya sebentar, lalu ia berkata pelan, “Gue bukan takut sama dia. Gue cuma nggak mau lagi-lagi jadi tempat pelarian. Atau orang yang ditarik masuk ke drama yang bukan milik gue.”

Nadira mengangkat wajahnya. Matanya mulai basah.

“Aku nggak niat narik kamu ke mana-mana, Rasyid. Tapi aku juga nggak bisa milih siapa yang datang mengusik. Aku cuma... pengin jujur. Sama kamu.”

Rasyid menatap matanya—dan untuk pertama kalinya, ia melihat Nadira bukan hanya sebagai sosok yang menenangkan, tapi juga manusia yang terluka.

“Mungkin kita sama-sama belum sembuh ya, Dir?”

Nadira mengangguk pelan.

“Kalau begitu,” Rasyid melanjutkan, “biar kita saling ngerti, bukan saling isi kekosongan.”

Nadira tak menjawab. Tapi air matanya jatuh—tanpa suara, hanya disaksikan langit malam yang semakin gelap.