Dinding Yang Kembali Di Bangun

Langit Indramayu masih mendung, seakan cuaca ikut menyimpan rahasia hati yang berantakan.

Rasyid kini kembali menjadi nama yang disegani, tapi juga kembali ditakuti. Ia berjalan cepat di koridor fakultas, menyapa seadanya, dan hanya berbicara jika memang diperlukan. Banyak yang mulai berbisik—tentang bagaimana Rasyid berubah hanya dalam beberapa hari.

Di sela-sela persiapan aksi solidaritas untuk isu agraria di Majalengka, sekretariat BEM kembali ramai. Fahmi duduk di atas meja sambil memainkan korek api, memandangi Rasyid yang sibuk menulis di whiteboard.

Fahmi:

“Ras, lo serius banget. Kayak nggak ada dunia lain selain pergerakan.”

Rasyid (tanpa menoleh):

“Emang dari awal juga gitu.”

Fahmi:

“Yakin? Lo kira gue nggak lihat perubahan lo pas Nadira datang?”

Rasyid diam. Spidol di tangannya berhenti bergerak. Ruangan yang tadi penuh obrolan jadi sunyi. Beberapa junior organisasi menoleh, tapi cepat kembali menunduk, enggan ikut campur.

Rasyid (pelan):

“Gue terlalu jauh buka celah, Mi. Sekarang gue tutup lagi. Itu aja.”

Fahmi menatap sahabatnya lama. Tapi tak berkata apa-apa lagi. Ia tahu, Rasyid hanya keras di luar—di dalamnya, badai belum pernah benar-benar reda.

Sementara itu, di taman belakang fakultas, Nadira duduk bersama Zahra, sahabat sekamarnya yang juga mahasiswa baru. Mereka berbagi roti dan cerita.

Zahra:

“Rasyid kenapa sih? Dingin banget sekarang. Lo berantem?”

Nadira (menggeleng pelan):

“Nggak pernah ada yang bisa disebut berantem, Zah. Dia cuma tiba-tiba menjauh. Nggak ngomong apa-apa.”

Zahra:

“Lo udah tanya?”

Nadira:

“Udah. Tapi jawabannya selalu sama—'maaf, ini yang paling aman'. Aku nggak ngerti, kenapa harus aman kalau dari awal dia ngajak aku percaya?”

Zahra menghela napas, lalu menggenggam tangan Nadira.

Zahra:

“Mungkin dia pernah trauma. Atau takut disakitin. Tapi Nad, lo juga berhak tahu dan didengar.”

Beberapa hari kemudian, dalam forum internal organisasi, Rasyid memimpin rapat evaluasi kegiatan donasi.

Mahasiswa berkumpul, mencatat laporan keuangan, dan menyiapkan strategi lanjutan. Tapi suasananya lebih tegang dari biasanya. Aura dingin Rasyid membuat ruang terasa penuh batas.

Dian (anggota perempuan):

“Kak, menurutku untuk kegiatan selanjutnya, kita bisa libatkan himpunan fakultas. Biar jangkauannya luas.”

Rasyid (datar):

“Oke. Tapi pastikan yang terlibat benar-benar komitmen. Jangan cuma buat foto-foto terus hilang.”

Beberapa orang saling pandang. Nada Rasyid tajam. Bahkan suara ketik keyboard pun terdengar seperti denting gelas.

Yusuf (anggota baru):

“Eeh, Kak... saya lihat kemarin ada donatur yang minta follow up laporan keuangan.”

Rasyid:

“Saya yang urus. Jangan ada yang ngirim laporan sebelum saya cek.”

Setelah rapat bubar, Fahmi menarik Rasyid keluar ruangan.

Fahmi:

“Lo sadar nggak, Ras? Orang mulai mikir lo terlalu keras. Bahkan sama yang cuma mau bantu.”

Rasyid (dingin):

“Biarin. Mending dianggap terlalu keras daripada terlalu lemah.”

Fahmi:

“Ini bukan soal keras atau lemah. Ini soal lo nutup semua pintu karena satu orang yang bikin lo kecewa.”

Rasyid tak menjawab. Ia menatap langit yang mulai redup.

Di sisi lain kampus, Nadira menatap pesan terakhir dari Rasyid yang belum ia hapus:

“Maaf, Nadira. Ini yang paling aman.”

Dan malam itu, ia memutuskan untuk berhenti menunggu pesan berikutnya.

Rasyid kembali membangun bentengnya. Tapi kali ini, ia sadar: yang ia jaga bukan hanya hatinya sendiri, tapi juga luka yang belum selesai ia terima. Dan mungkin, dalam perjuangan yang selama ini ia gaungkan, ada satu medan perang yang paling ia takuti—perang melawan dirinya sendiri.

Percakapan yang Tak Disangka

Hari itu kampus agak sepi. Hujan turun rintik-rintik, membasahi lorong-lorong yang biasanya dipenuhi langkah mahasiswa. Rasyid duduk sendiri di selasar fakultas, menatap gerimis seperti membaca huruf-huruf tak kasatmata di antara tetesnya.

Di sampingnya, seorang pria duduk tiba-tiba tanpa basa-basi. Rambutnya gondrong terikat, jaket kulitnya lusuh tapi ada emblem kecil di dadanya bertuliskan: “Alumni 2009 – Fakultas Hukum”.

Pria itu membuka suara:

“Masih suka ngelamun di bawah hujan juga, Mas Ketua?”

Rasyid mengerutkan kening. “Maaf, kenal saya?”

Pria itu tersenyum:

“Dulu saya juga pernah di posisinya kamu sekarang. Aktif di gerakan, merasa paling paham penderitaan rakyat, tapi lupa kalau diri sendiri juga bagian dari yang sedang menderita.”

Rasyid:

“Dan Mas siapa?”

Pria itu mengulurkan tangan.

“Bayu. Dulu Ketua BEM periode 2009. Sekarang balik ke sini, cuma mau mampir, lihat-lihat. Katanya fakultas ini sedang hidup lagi setelah lama sepi.”

Rasyid menyalami, tapi masih dengan waspada.

Bayu:

“Ada yang bilang kamu aktivis paling idealis di kampus sekarang. Tapi juga yang paling sunyi.”

Rasyid (pelan):

“Sunyi lebih aman daripada bising tapi kosong.”

Bayu tertawa kecil. “Kalau kamu mulai bicara seperti itu, berarti kamu lagi patah hati. Bener?”

Rasyid terdiam. Tak menyangkal, tapi juga tak membenarkan.

Bayu:

“Kamu tahu nggak, dulu saya pernah hampir batalin aksi besar karena ditinggal pergi cewek yang saya sayang. Dia nikah sama polisi. Ironis, ya. Waktu itu saya pikir dunia bakal berhenti muter.”

Rasyid:

“Dan sekarang Mas bisa ketawa?”

Bayu:

“Karena ternyata dunia tetap muter, Ras. Dan luka itu, kalau ditinggal sendiri, dia membatu. Tapi kalau diajak jalan, dia bisa berubah bentuk.”

Rasyid menunduk.

“Gue bukan takut patah hati, Mas. Gue takut kecewa sama diri sendiri. Karena biar gimana, gue selalu berharap.”

Bayu (menepuk bahunya):

“Kalau kamu nggak pernah berharap, kamu bukan manusia. Cuma jangan biarin harapan berubah jadi penjara.”

Hari-hari berikutnya, Bayu beberapa kali mampir ke kampus. Ia sesekali ikut diskusi, duduk di belakang, atau hanya menyapa mahasiswa yang lalu-lalang.

Para aktivis muda mulai mengenalnya sebagai “Bang Bayu”—sosok yang bijak tapi santai. Rasyid mulai membuka sedikit ruang untuk berdialog, meski tetap menjaga jarak emosional.

Suatu malam, di sekretariat, saat hanya tinggal mereka berdua...

Bayu:

“Lo tau, Ras, kadang cinta dan perjuangan itu kayak dua jalur rel. Nggak selalu ketemu di titik yang lo mau. Tapi kalau lo paksa milih salah satu, bisa-bisa lo kehilangan dua-duanya.”

Rasyid:

“Gue udah pilih jalurnya, Bang.”

Bayu:

“Yakin itu pilihan lo? Atau pelarian?”

Kata-kata itu menggantung di udara. Rasyid tak menjawab.

Sementara itu…

Nadira mulai menjaga jarak dari keramaian. Ia tetap kuliah, tetap aktif, tapi tak lagi banyak bicara. Di grup kampus, namanya sering muncul, tapi tak lagi terdengar di telinga Rasyid.

Zahra, yang melihat perubahan itu, hanya bisa memeluk Nadira suatu malam ketika Nadira tak sanggup menahan air mata.

Zahra:

“Kalau dia memang pernah tulus, suatu saat dia bakal nyari kamu. Tapi kalau tidak, kamu berhak utuh tanpa harus menunggu.”