Tawa yang Tak Selalu Bahagia

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Bayu. Rasyid tak lagi sering terlihat duduk sendiri menatap hujan. Kini ia lebih sering di tengah kerumunan, bercanda, melontarkan komentar sarkas yang membuat teman-temannya tertawa. Ia kembali jadi magnet di forum-forum diskusi, tapi ada yang berbeda—ia lebih ringan, seolah-olah beban di dadanya perlahan ditata, meski belum sepenuhnya reda.

“Bro, kenapa lo sekarang sering nyengir sendiri? Lagi dapet ilham?” celetuk Rizky, salah satu rekan aktivisnya, saat mereka sedang menyusun rencana pelatihan kepemimpinan.

Rasyid nyengir:

“Nyengir itu bagian dari pertahanan. Kalau gue nggak nyengir, ntar dikira gue baper lagi.”

Semua tertawa. Tapi hanya Rasyid yang tahu, nyengir itu kadang cara termudah menutupi luka yang belum sempat sembuh.

Di sisi lain, Rasyid mulai aktif membangun koneksi dengan ketua-ketua BEM kampus lain di wilayah Jawa Barat. Ia hadir di beberapa pertemuan, baik resmi maupun informal. Di warung kopi pinggiran, di ruang BEM kampus lain, bahkan di acara pelatihan bersama yang ia gagas bersama Fahmi dan beberapa sahabat aktivis lainnya.

Rapat-rapat itu intens.

Diskusi tentang pemangkasan anggaran pendidikan, tentang peran mahasiswa pasca Pemilu, hingga strategi perlawanan terhadap keputusan otoriter yang dirasa menyudutkan rakyat kecil. Rasyid tampak hidup kembali, seperti menemukan dirinya yang dulu—namun lebih berhati-hati dalam menaruh kepercayaan pada orang.

Salah satu ketua BEM dari Cirebon, Dimas, sempat berkomentar saat mereka ngopi di malam hari:

Dimas:

“Gue denger lo aktivis paling keras sikapnya, Ras. Tapi kok sekarang santai banget?”

Rasyid tersenyum samar:

“Dulu gue pikir keras itu kekuatan. Sekarang gue tahu, yang paling kuat itu yang bisa tetap lembut meski habis-habisan dihantam.”

Dimas:

“Wah, berat. Lagi jatuh cinta lo ya?”

Rasyid menoleh, lalu tertawa:

“Jatuh sih iya. Cintanya yang nggak tahu mau ditaruh di mana.”

Di sirkel internalnya, Rasyid mulai jadi sosok yang menyenangkan. Ia sering jadi moderator diskusi, tapi juga pencair suasana. Ia bisa serius saat bicara soal kebijakan negara, tapi langsung berubah jadi konyol saat menceritakan drama warung pecel yang digerebek Satpol PP karena tenda melanggar garis trotoar.

Namun meski ia tampak ringan, teman-teman dekatnya tahu ada hal yang belum pulih. Ia tak pernah menyebut nama Nadira lagi. Bahkan ketika nama itu muncul di obrolan ringan, Rasyid hanya tersenyum kaku atau pura-pura sibuk mengecek handphone.

Fahmi suatu malam sempat menegur pelan:

“Lo tau kan, jadi kuat bukan berarti harus pura-pura nggak kenapa-kenapa.”

Rasyid:

“Gue nggak pura-pura. Gue cuma belajar hidup dengan luka.”

Fahmi menatap sahabatnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. Ia tahu, Rasyid sedang berjuang dengan caranya sendiri.

Suatu sore di halaman parkir kampus, Rasyid duduk di atas motor tuanya bersama Fahmi dan beberapa kawan dari BEM kampus lain. Mereka baru saja selesai rapat konsolidasi antar kampus membahas rencana aksi gabungan terkait aksi penolakan BBM di DPRD Indramayu..

Fahmi:

“Lo perhatiin nggak, Ras? Si Nadira udah jarang kelihatan…”

Rasyid: (menyalakan rokok)

“Gue udah berhenti nyari. Orang yang benar-benar mau tinggal, nggak akan nunggu dicari.”

Fahmi mengangguk, pelan. Tak ingin menyeret perasaan sahabatnya ke ruang luka lagi.

Rizky nyelutuk, mencoba mencairkan suasana:

“Eh, lo tuh kebanyakan main politik kampus. Makanya jomblo terus! Nih, Dimas aja udah nembak anak sastra!”

Dimas, dari kampus lain, tertawa:

“Gue nggak sekaku Rasyid. Dia kalau ngajak ngobrol cewek, kayak ngajak rapat!”

Mereka semua tertawa keras, termasuk Rasyid. Tapi seperti biasa, tawa itu hanya lapisan. Di dalam, ada denting rasa yang tak pernah benar-benar hening.

Sementara itu, di balik tawa dan rapat-rapat yang padat, Rasyid masih sesekali membuka folder puisi yang ia tulis diam-diam di laptop. Puisi tentang kehilangan, tentang gadis bermata tenang, tentang janji yang menguap sebelum sempat menjadi nyata. Tapi ia tak pernah lagi menulis nama Nadira. Cukup dengan huruf "N", ia tahu ingatannya tak perlu lengkap untuk terasa utuh.

Malam itu, saat hujan turun lagi, Rasyid sendirian di sekretariat. Ia menyalakan lagu jazz instrumental, menyalakan lampu temaram, dan membuka catatan yang sudah lama tak disentuh. Tangannya ragu, tapi akhirnya menulis:

“Dan jika rindu ini harus berjalan sendiri,

biarlah ia memakai mantel perjuangan.

Karena tak semua rasa bisa dimenangkan,

tapi semua luka bisa ditumbuhkan.”

Keesokan harinya, saat forum kampus sedang ramai membicarakan rencana aksi ke dinas pendidikan, Rasyid menerima pesan dari nomor tak dikenal.

“Masih menghindar, Rasyid?”

Rasyid diam. Tak membalas. Ia tahu siapa pengirimnya—dan ia memilih untuk tetap di tempatnya sekarang: bukan dalam pelarian, tapi dalam perjalanan.

Namun sesuatu dalam dirinya bergetar. Bukan karena takut, tapi karena sadar: beberapa luka memang tak butuh penjelasan. Hanya perlu diterima sebagai bagian dari tumbuh.