CHAPTER 6 - Langkah Pertama

Derit pintu tua menyambut Reinhanvert ketika ia mendorong daun pintu kantor serikat mercenary. Bangunan itu sederhana namun kuat, penuh ukiran lambang-lambang kebanggaan para petarung bayaran. Di dalamnya, suara tawa kasar, denting logam, dan aroma minuman keras bercampur menjadi satu, menciptakan atmosfer khas yang tak bersahabat—dan Reinhanvert menyukainya.

Ia melangkah pelan ke meja resepsionis. Seorang wanita muda dengan seragam lusuh namun senyum ramah menyambutnya.

"Selamat datang di Serikat Mercenary, kau ingin mendaftar?"

Reinhanvert mengangguk pelan. "Ya. Nama... Vert." Suaranya tegas, namun seolah mencoba menyembunyikan jejak masa lalunya yang kelam.

"Baiklah, Vert. Biaya pendaftaran seratus silver. Hanya butuh nama dan bayaran, tak ada tes kekuatan di sini. Kami biarkan tugas yang menilai siapa kau sebenarnya."

Ia menyerahkan koin tanpa ragu. Sisa-sisa kebaikan si kakek pedagang masih ada di sakunya—dan itu cukup untuk memulai.

Setelah menulis nama samaran pada lembaran perkamen, sang resepsionis menambahkan, "Oh, hampir lupa. Karena kamu masih rank F, pilihan quest-mu terbatas. Biasanya hanya tangkapan hewan liar kecil atau menemani karavan dagang kelas rendah."

Ia menatapnya sejenak, lalu melanjutkan, "Rank E akan membukakan akses ke dungeon tingkat Safety, juga karavan yang lebih besar. D naikkan levelnya ke dungeon Dangerous, C bisa mendekati urusan bangsawan—tapi sangat jarang."

"Rank B dan A? Itu pintu menuju Chaos Dungeon, karavan para bangsawan, dan bahkan kesempatan disewa oleh keluarga bangsawan kelas atas. Tapi kelas S... mereka bisa masuk ke dungeon Calamity, dan sudah menjadi incaran Count, Marquess... atau lebih tinggi."

Reinhanvert tak menjawab. Di dalam pikirannya hanya ada satu hal: bangsawan. Informasi. Pembalasan.

Rank B... Itulah tujuannya.

Tak perlu basa-basi. Ia sudah menentukan arah. Quest karavan akan dipinggirkan, terlalu lama. Ia akan berburu hewan buas. Cepat dan berdarah.

Namun langkahnya sempat terhenti ketika hendak menuju papan quest. Suara tawa dan denting gelas terdengar dari arah meja panjang di sudut bar.

"Hoi... siapa tuh? Cewek? Lihat rambutnya... lumayan cantik," kata salah satu mercenary yang sudah mabuk, tubuhnya besar namun langkahnya limbung.

Reinhanvert menoleh pelan. Tatapannya dingin. Tidak ada rasa takut, tidak ada emosi.

"Oi, aku nanya—"

Sebelum pria itu mendekat lebih jauh, pemilik bar yang berdiri di belakang meja langsung memukulkan tongkat kayu ke meja.

"Kalau mau cari masalah, keluar sana. Ini tempat kerja, bukan tempat pelecehan."

Para mercenary lain tertawa, sebagian mengolok temannya, sebagian pura-pura tak peduli. Reinhanvert hanya menarik napas. Ini baru awal. Tempat ini bukan rumah. Tapi akan menjadi batu loncatan.

Ia berjalan ke papan pengumuman dan meraih satu lembar kertas—perburuan hewan buas di luar kota. Pembayaran kecil, tapi cukup untuk mempercepat langkahnya menuju Rank B.

)

Reinhanvert menggenggam lembaran quest itu erat. Sebuah kontrak sederhana—tangkap atau bunuh sekawanan Hollow Fang, binatang buas kelas rendah yang biasa mengganggu jalur perdagangan luar kota. Hadiahnya hanya beberapa silver. Bagi kebanyakan orang, tak layak untuk dicoba. Tapi bagi Reinhanvert, ini adalah jalan pintas. Darah adalah mata uang, dan ia siap membayar.

Ia meninggalkan gedung serikat tanpa berkata apa-apa. Tak ada perpisahan, tak ada janji kembali. Ia hanya melangkah.

Langit sudah mulai menggelap ketika Reinhanvert tiba di tepi hutan tempat para Hollow Fang biasa terlihat. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara. Tak ada ketegangan di wajahnya, hanya kesenyapan... yang menakutkan.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengaktifkan tekniknya—Vein Breach Flow, teknik pembukaan saluran energi tubuh yang membuat alirannya menguat dan gerakan jadi lebih presisi. Ototnya tak membesar, tapi tubuhnya yang ramping dan terlatih kini seolah terukir dari baja halus.

Suara geraman terdengar dari balik semak. Satu, dua, tiga ekor Hollow Fang muncul dari balik gelap, mata merahnya menyala seperti bara api.

Mereka menerjang.

Tapi Reinhanvert sudah lebih dulu bergerak. Tanpa teriakan, tanpa ancang-ancang.

Slash of Moonlit Fall.

Satu tebasan, seperti bayangan bulan yang menyayat malam. Darah muncrat dari tenggorokan salah satu binatang, sedangkan dua lainnya terpental, melolong kesakitan.

Ia tak berhenti. Kaki kanannya menapak udara sebentar, lalu melesat turun dengan teknik Cloud Step yang sudah ia kuasai. Seolah menari, ia berputar di udara lalu menghujam satu lagi Hollow Fang ke tanah, menghancurkan tulangnya hingga binatang itu berhenti bergerak.

Sisa satu. Binatang itu mencoba kabur—tapi Reinhanvert melangkah dan mengayunkan tangan kirinya, melempar belati kecil ke tengkuk makhluk itu.

Hening.

Darah mengalir di tanah. Tiga ekor mati. Reinhanvert berdiri di tengahnya, mata ungunya menatap langit yang mulai gelap. Tidak ada rasa puas. Tidak ada senyum kemenangan.

Hanya... satu langkah lebih dekat ke Rank B.

---

Beberapa Jam Kemudian – Kantor Serikat Mercenary

"Wah, cepat juga kau balik," ujar si resepsionis ketika Reinhanvert menyerahkan bukti penyelesaian.

Ia hanya mengangguk.

"Serius ya... kamu bukan rank F biasa. Tapi tetap saja, kamu harus naik rank satu per satu. Tak ada loncatan di sini."

"Tak masalah," jawabnya datar.

"Ngomong-ngomong, tadi Tuan Varden—pemilik penginapan tempatmu menginap—datang kemari. Dia bilang kau kerja terlalu keras. Katanya... kau tak perlu terlalu terburu-buru."

Reinhanvert diam.

Terlalu terburu-buru?

Tidak. Dunia ini tak memberi ruang untuk bernafas. Kalau kau lambat, kau akan tertinggal. Dan Reinhanvert... dia sudah tertinggal terlalu lama.

Malam menggantung sunyi saat Reinhanvert membuka pintu kamarnya di penginapan. Udara dingin menyambutnya, tapi ia tak tinggal lama. Tangannya meraih selembar kertas lusuh dan pena tua dari laci, lalu duduk sebentar di tepi ranjang. Cahaya lilin temaram memantulkan bayangan wajahnya di kaca jendela.

Ia mulai menulis.

---

Kertas kecil di atas meja kamar:

> Jangan tunggu aku malam ini.

Dan mungkin, beberapa malam setelahnya.

Dunia di luar terlalu besar untuk ditinggalkan, dan dendam di dada ini terlalu dalam untuk didiamkan. Aku harus bergerak sebelum bayang-bayang masa lalu menelanku kembali.

Jangan khawatir. Aku bukan anak hilang yang lupa jalan pulang.

Aku hanya seseorang... yang tak lagi punya tempat untuk disebut rumah.

Terima kasih atas atap dan roti hangat yang tak pernah kuminta... tapi tetap kau berikan.

– Vert.

---

Beberapa menit setelah Reinhanvert menghilang dalam kegelapan kota, suara langkah kaki tergesa menaiki tangga penginapan.

"Vert!" seru seorang pemuda muda—cucu sang kakek. Napasnya berat, seolah baru saja kembali dari keliling kota.

Ia membuka pintu kamar perlahan.

Kosong.

Kecuali lembaran surat yang tertinggal di atas meja, tertindih dengan satu koin perak—upah kerja terakhir yang tidak ia sentuh.

Pemuda itu menggenggam surat itu lama, sebelum menunduk pelan. "Kakek... dia pergi lagi."

Di ruang makan bawah, si kakek tua menatap piring yang telah disiapkan tiga orang. Tersenyum samar.

“Biar saja,” gumamnya. “Burung yang terluka pun tahu ke mana harus kembali… saat sayapnya letih.”

---