1

Fadil baru saja menyesap kopi ketika matanya menangkap sosok Nunik, sekretaris ayahnya, melangkah cepat menyusuri lorong menuju ruang kerja utama. Di tangannya tergenggam sebuah amplop cokelat besar—terlihat sedikit lusuh di tepinya, seperti sudah menempuh perjalanan panjang.

“Nik, tunggu!” seru Fadil sambil meletakkan cangkir dan berdiri dari kursi bar di sudut lounge kantor. “Amplop itu belum saya cek, kan?”

Nunik berhenti sejenak, menoleh dengan ragu. Tatapannya seperti menimbang, lalu menjawab hati-hati, “Betul, Pak. Tapi tadi Pak Farhat bilang, amplop dari Solok itu isinya dokumen pribadi. Jadi saya disuruh langsung letakkan di meja beliau, tanpa lewat siapa pun.”

Fadil menyipitkan mata. “Solok?” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Nama itu terdengar asing dalam konteks perusahaan mereka. Solok bukan wilayah bisnis. Tidak ada cabang, tidak ada relasi, bahkan sekadar acara sosial pun tak pernah diselenggarakan di sana. Kota kecil di Sumatera Barat itu seperti tak punya kaitan apa pun dengan dunia Farhat Group yang serba metropolitan.

“Siapa pengirimnya?” tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski ada dorongan ingin tahu yang mulai mengusik.

Nunik membuka ponselnya, membuka aplikasi pelacakan pengiriman. Ia membaca sekilas, lalu mengangkat wajah. “Cuma tertulis, ‘Dari: Iman – Solok’. Tidak ada nomor. Tidak ada instansi pengirim.”

Fadil menahan napas sejenak. Nama itu—Iman—tidak membunyikan lonceng apa pun di kepalanya. Tapi ada sesuatu tentang kombinasi nama dan kota itu yang membuat dadanya terasa sesak. Seperti kabut yang mulai menebal tanpa alasan logis.

“Boleh saya lihat amplopnya dulu?” tanyanya cepat.

Namun Nunik sudah melangkah mundur, gelisah. “Maaf, Pak. Saya sudah janji ke Pak Farhat untuk langsung menyerahkannya ke mejanya. Beliau tadi cukup tegas.”

Tanpa menunggu balasan, Nunik melanjutkan langkah, mengetuk pelan pintu kayu berukir di ujung lorong, lalu masuk ke ruang kerja Farhat begitu pintu dibuka dari dalam oleh asisten pribadi sang bos.

Fadil tetap berdiri di tempat. Amplop itu sudah lepas dari pengawasannya, dan ia tidak suka itu. Biasanya, setiap surat atau dokumen yang masuk ke lantai eksekutif akan melewati meja validasi terlebih dahulu—meja miliknya. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, sebuah nama asing dari kota yang nyaris tak pernah disebutkan berhasil menyelinap langsung ke pusat kendali kekuasaan ayahnya.

Ia kembali ke kursinya perlahan, tapi tidak duduk. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyusun kemungkinan. Siapa itu Iman dari Solok? Kenapa suratnya begitu penting sampai ayahnya tak ingin siapa pun membacanya lebih dulu?

Dan yang paling mengganggu: kenapa nama itu terdengar seperti sesuatu yang seharusnya ia ingat—tapi tak bisa?

Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah tegas di koridor. Farhat masuk ke ruang kerjanya tanpa banyak bicara, seperti biasa. Beberapa menit kemudian, telepon di meja Fadil berbunyi.

“Tolong ke sini!” suara ayahnya terdengar singkat dari gagang.

Fadil segera melangkah menuju ruang kerja utama. Pintu sudah terbuka setengah, dan Farhat berdiri di balik meja kerjanya, memegang amplop yang tadi dibawa Nunik.

“Coba kamu cari info tentang orang ini,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat itu ke tangan Fadil.

Fadil membukanya tanpa banyak tanya. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen:

— Fotokopi KTP atas nama Seruni Damayanti

— Fotokopi Kartu Keluarga, dengan Iman Ashari sebagai kepala keluarga dan Seruni tercatat sebagai anak

— Ijazah Sarjana Teknik Industri dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat, tidak terkenal, akreditasinya B, dilengkapi transkrip nilai. IPK-nya 3,58

Fadil menelusuri dokumen itu dengan cepat. Tidak ada yang tampak mencurigakan secara kasat mata. Tapi justru itu yang membuatnya makin penasaran.

“Ini urusan pribadi,” kata Farhat, nadanya pelan tapi tegas. “Jangan suruh orang kantor cari tahu. Kamu kan ngerti internet, cari info sendiri, lalu lapor ke papa langsung.”

Fadil menatap ayahnya, mencoba membaca wajahnya. Tak ada ekspresi, tak ada petunjuk.

“Memangnya orang ini kenapa, Pa?” tanyanya akhirnya.

“Nanti papa jawab kalau sudah dapat info dari kamu,” ujar Farhat sambil duduk di kursinya, lalu menatap layar monitor seolah percakapan itu sudah selesai. “Hari ini, ya.”

Fadil duduk kembali di kursinya, meletakkan amplop di meja lalu membuka laptop. Ia mengetik nama "Seruni Damayanti" di kolom pencarian. Beberapa hasil muncul, tapi yang paling atas adalah tautan ke profil LinkedIn.

Ia mengkliknya.

Halaman terbuka menampilkan profil dengan foto profesional—Seruni mengenakan blazer abu-abu muda, latar belakang netral, senyumnya tipis tapi percaya diri. Biodatanya tersusun rapi. Fadil menelusuri bagian pengalaman kerja dan pendidikan, lalu matanya menangkap tautan kecil di bawah kolom CV: link to updated resume (Google Drive).

Fadil mengeklik dan membuka file PDF yang terus diperbarui.

CV-nya ringkas dan bersih. Riwayat pekerjaan dimulai dari part-time di sebuah perusahaan distribusi pupuk di Cengkareng. Lalu, kontrak tiga bulan sebagai staf di perusahaan elektronik di Cikarang. Terlihat rapi, tak banyak polesan. Di catatan terakhir tertulis bahwa kontrak setahun sedang berjalan—kemungkinan belum selesai karena belum ada entri baru.

Ia menggulir ke bawah. Ada daftar pelatihan daring, kebanyakan bersertifikat dari platform gratisan. Tapi isinya bukan sembarang pelatihan: beberapa tentang manajemen operasional, data analitik dasar, dan efisiensi produksi. Sertifikatnya dari platform kredibel, tanggalnya pun baru-baru ini.

Penasaran, Fadil membuka akun media sosialnya. Tidak banyak yang bisa dikorek, tapi satu hal jelas—Seruni tidak alay. Akunnya penuh dengan foto-foto sederhana: nongkrong bersama teman kuliah, kopi-kopi lokal, dan satu pola yang menarik—rekomendasi nasi padang enak dan murah di berbagai sudut Jakarta.

Fadil menyandarkan punggung, menatap layar. Semua terlihat... normal. Tidak glamor, tidak dibuat-buat. 

Ia menghela napas pelan dan mulai menyusun catatan kecil untuk dilaporkan. Tapi sebelum itu, pikirannya melayang—kenapa seorang seperti ini tiba-tiba muncul lewat jalur pribadi ke ruang kerja ayahnya?

Tak sampai satu jam sejak menerima amplop itu, Fadil berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya dan mengetuk dua kali.

“Masuk,” suara Farhat terdengar dari dalam.

Fadil melangkah masuk dengan tenang, membawa laptop dan catatan kecil. Farhat masih di kursinya, menutup dokumen terakhir yang sedang ia baca, lalu menatap anaknya.

“Sudah?” tanyanya singkat.

Fadil mengangguk. “Sudah, Pa. Saya pelajari semua informasi yang bisa diakses publik. Nama lengkapnya Seruni Damayanti. Lulusan S1 Teknik Industri dari PTS di Jakarta Barat. IPK-nya bagus. Dia punya pengalaman part-time di distributor pupuk di Cengkareng, lalu sempat kontrak tiga bulan di perusahaan elektronik di Cikarang, sekarang sedang lanjut kontrak satu tahun—kemungkinan masih berjalan.”

Farhat mendengarkan sambil mengamati ekspresi anaknya.

“CV-nya rapi, terus diperbarui. Saya temukan tautan ke Google Drive berisi dokumen-dokumen relevan. Dia juga aktif ikut pelatihan online gratisan, beberapa cukup berkualitas.”

Fadil jeda sejenak. “Media sosialnya bersih. Bukan tipe pencitraan. Aktivitasnya biasa saja—nongkrong bareng teman kuliah, review kopi, dan banyak rekomendasi warung nasi padang. Intinya, nggak ada yang mencurigakan.”

Farhat hanya mengangguk pelan.

“Kalau orang ini mengirim lamaran lewat jalur reguler,” lanjut Fadil, “menurut saya dia layak masuk tahap interview. Bukan kandidat luar biasa, tapi jelas punya potensi dan kemauan belajar.”

Sunyi sebentar. Farhat menatap meja sesaat, lalu kembali ke Fadil.

“Oke,” katanya. “Simpan catatanmu.”

Fadil hanya mengangguk, tapi pikirannya belum tenang. Ini bukan sekadar calon pelamar. Dan ia tahu, ayahnya tidak akan melibatkan dirinya untuk hal sepele.