2

Fadil masih berdiri di depan meja kerja ayahnya, menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar anggukan atau perintah singkat. Ia menatap ayahnya lurus-lurus, lalu bertanya pelan tapi tegas, “Jadi?”

Farhat menarik napas dalam, lalu bersandar di kursinya. “Sekitar lima belas tahun yang lalu, ada orang—Iman Ashari—berutang pribadi pada papa. Awalnya kecil. Tapi dia terus pinjam. Bayar sebagian, lalu utang lagi. Begitu terus sampai jumlahnya hampir satu miliar.”

Fadil menahan napas, mendengarkan tanpa menyela.

“Beberapa tahun terakhir dia bilang sudah tidak mampu lagi bayar. Papa sudah cukup sabar. Banyak waktu dan kesempatan papa beri. Tapi dia... menyerah.”

“Terus?” Fadil bertanya pelan, meski pikirannya sudah mulai menebak sesuatu yang tidak enak.

Farhat mengalihkan pandangan sejenak sebelum menatap Fadil lagi. “Akhirnya, dia punya itikad baik... dia bersedia ‘menyerahkan’ anaknya.”

Alis Fadil terangkat tinggi. “Untuk?”

“Bayar utang.”

Hening menggantung di antara mereka. Fadil tidak langsung bereaksi, hanya menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata keluar selama beberapa detik.

Farhat masih tenang, seolah yang baru saja diucapkan adalah hal biasa dalam transaksi bisnis.

“Papa mau nikahin anaknya...” lanjut Farhat, seolah menutup kalimat yang tak sempat diselesaikan.

“Apa?!” suara Fadil melengking, tak bisa menahan keterkejutannya. “Papa serius?”

“Serius.” Farhat menjawab tanpa ragu, tatapannya tajam.

Fadil menggeleng pelan, seperti mencoba mengusir absurditas yang barusan masuk ke kepalanya. Ini bukan sekadar utang. Ini sudah menyentuh batas yang bahkan sulit dipahami dengan logika modern.

“Papa nggak kapok poligami?!” seru Fadil, suaranya meninggi tanpa bisa dicegah. “Dulu Mama sakit-sakitan sampai meninggal karena Papa nikahin Tante Ami. Sekarang Papa mau nikahin gadis muda yang usianya bahkan lebih muda dari aku?”

Nada suaranya tajam, penuh emosi yang selama ini dikubur rapi. Ia bahkan tak peduli lagi kalau volume suaranya mungkin terdengar ke luar ruangan.

Farhat tetap duduk tenang, tapi rahangnya menegang.

“Setidaknya,” jawabnya dingin, “hubungan Papa dengan istri-istri Papa itu resmi. Direstui keluarga besar kita di Padang. Tidak ada yang disembunyikan.”

Fadil tertawa pendek, pahit. “Itu pembenaran, Pa. Bukan pembelaan. Restu keluarga bukan berarti tak ada luka.”

Farhat membalas dengan pandangan datar, tapi dalamnya seperti batu karang—keras dan tak tergoyahkan. “Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal tanggung jawab. Iman sudah menyerah. Seruni adalah bentuk terakhir dari itikad baiknya.”

Fadil menatap ayahnya lekat-lekat. “Itikad baik? Menyerahkan anak perempuan untuk bayar utang?”

Mata mereka saling mengunci. Di antara meja kayu dan lampu gantung mewah itu, benturan dua generasi sedang pecah dalam diam.

Fadil menjalin hubungan dengan Sheila, seorang aktris sinetron yang kariernya biasa-biasa saja, tapi ambisinya menjulang tinggi. Bagi Fadil, Sheila adalah pelarian dari hidup penuh aturan dan ekspektasi—cantik, genit, dan tahu persis bagaimana memanjakan laki-laki seperti dirinya.

Papa jelas tak pernah setuju. Di matanya, Sheila cuma perempuan matre yang menghitung semua dengan pamrih. Tapi Fadil tak peduli. Ia menganggap semua yang ia beri—tas bermerek, transfer diam-diam, bahkan mobil sewaan saat Sheila butuh gaya di lokasi syuting—adalah bentuk kasih sayang. Lagipula, Sheila pun tahu cara membalas. Servisnya, begitu Fadil menyebutnya, tak pernah gagal membuatnya melayang.

Tanpa sepengetahuan keluarga, Fadil bahkan menyewa satu unit apartemen studio mewah hanya untuk mereka berdua. Tempat itu jadi markas akhir pekan, di mana dunia luar serasa lenyap. Ia pikir, selagi ia bisa membiayai dan Sheila terlihat puas, tak ada yang perlu dipersoalkan.

Dan yang lebih penting, ia sungguh yakin—Papa tak akan pernah tahu soal apartemen itu.

Hampir tak ada yang tahu soal hubungan Fadil dan Sheila. Semuanya ia atur dengan rapi, penuh perhitungan. Bahkan Hendra, sopir pribadi yang setiap hari mengantar-jemputnya dari rumah ke kantor, tak pernah mencium apa-apa.

Khusus hari Jumat, Fadil punya skema tersendiri. Pagi-pagi ia sudah turun duluan, membawa mobil sendiri—alasan yang ia lempar ke rumah sederhana saja: “meeting pagi, langsung ke lokasi.” Hendra tak banyak tanya, sudah terbiasa dengan ritme Fadil yang tidak menentu.

Sore harinya, bukannya pulang, Fadil langsung meluncur ke apartemen studio di kawasan elit itu. Tempat itu seperti dunia alternatif yang ia ciptakan sendiri—jauh dari mata keluarga, jauh dari tanggung jawab, dan jauh dari penilaian siapa pun.

Di sana, Sheila biasanya sudah menunggu, lengkap dengan senyum dan aroma parfum yang sudah Fadil hafal. Sebuah kesepakatan diam-diam terjalin di antara mereka: Fadil menyediakan, Sheila melayani. Tak ada janji, tapi cukup untuk membuatnya terus kembali.

Papa mulai membuka strategi dengan nada tenang, seolah yang sedang dibahas bukan nasib seseorang, tapi angka-angka di laporan keuangan. “Papa tetap butuh ‘pembayaran utang’ itu. Mana mungkin duit segitu banyak dibiarkan hangus begitu saja.”

Fadil mendengus pelan, mencengkeram sandaran kursinya. “Jadi Papa tetap mau nikah lagi?”

Farhat menatapnya dalam, lalu berkata, “Kalau kamu putus dengan artis itu... kamu boleh nikahi Seruni.”

Fadil terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menampar wajahnya. Bukan karena ultimatum soal Sheila—hubungan itu pun sudah mulai terasa kosong akhir-akhir ini. Tapi karena nada Papa seolah sedang bicara tentang barang tukar, bukan manusia.

“Papa serius?” tanyanya akhirnya, nyaris berbisik.

Farhat hanya mengangguk sekali, mantap. “Itu bentuk penyelesaian yang... lebih baik. Untuk semuanya.”

“Kamu punya waktu satu bulan,” kata Farhat, nadanya tegas, tak membuka ruang tawar-menawar. “Kalau kamu nggak ambil keputusan sampai saat itu, Papa sendiri yang akan ke Solok. Langsung lamaran, langsung nikah.”

Fadil menatap ayahnya, mulutnya mengatup rapat. Ada begitu banyak hal yang ingin ia bantah, tapi tak satu pun terasa cukup kuat untuk menjatuhkan keputusan yang sudah dibuat matang.

Farhat bersandar sedikit, menatap anaknya tanpa emosi berlebih. “Papa kasih pilihan, bukan paksaan. Tapi waktu kamu nggak banyak.”

Fadil hanya bisa berdiri di sana, diam-diam merasa bahwa apa pun keputusannya, hidupnya tak akan sama lagi.

Sheila mulai menuntut lebih dari sekadar hubungan diam-diam mereka. Suatu malam, saat mereka duduk di sofa apartemen mewah itu, Sheila membuka ponselnya dan berkata, “Fadil, aku ingin kamu ikut di beberapa fotoku. Aku mau orang tahu siapa pacarku. Aku capek disembunyikan terus.”

Fadil menatap layar ponsel itu dengan kesal. “Kamu itu pacarku, bukan rahasia,” jawabnya tegas. “Tapi aku gak mau kehidupan kamu sebagai artis mengganggu jalanku. Aku cari makan pakai kerja biasa, bukan pakai popularitas. Jadi, aku gak mau kamu pamer-pamerin aku di media sosial.”

Wajah Sheila berubah, campuran kecewa dan marah. “Kalau aku gak bisa pamer, buat apa aku pacaran sama kamu?” ucapnya setengah menyindir.

Fadil menghela napas panjang. “Ini bukan soal pamer, Sheila. Aku cuma ingin hidupku nggak dijadikan bahan tontonan. Aku butuh privasi. Kalau kamu nggak bisa terima, ya kita harus bicara serius.”