3

Setelah perbincangan itu, Sheila duduk di sudut sofa dengan ponsel di tangan. Matanya kosong, bibirnya mengecil menahan perasaan yang campur aduk. Tanpa berkata apa-apa lagi kepada Fadil, dia membuka aplikasi media sosial dan mulai membuat story.

Teks singkat itu muncul di layar, penuh makna yang tersirat:

“Ada kalanya kita ingin dicintai, tapi harus tersembunyi. Kadang, cinta yang paling nyata malah paling sulit diperlihatkan.”

Dia mengunggah story itu, berharap Fadil membaca dan mengerti tanpa harus berdebat lagi. Tapi di balik layar, ada rasa kecewa yang dalam—antara ingin diakui dan takut kehilangan apa yang selama ini ia punya.

Story galau Sheila langsung meledak di media sosial. Dalam hitungan jam, komentar berdatangan dari fans yang penasaran, sahabat yang ikut bersimpati, bahkan netizen yang ikut membela. Reaksi like dan love memenuhi layar ponselnya tanpa henti.

Engagement naik drastis, follower bertambah signifikan setiap menitnya. Tak lama setelah itu, tawaran endorse produk mulai berdatangan—brand-brand ternama ingin memanfaatkan momentum Sheila yang kini makin ‘mengena’ di hati publik.

Belum cukup, beberapa produser sinetron juga mulai menghubungi manajemennya, memberikan peluang peran baru yang lebih besar dari sebelumnya. Semua ini membuat Sheila semakin fokus menggapai popularitas, sementara Fadil mulai merasa mereka berjalan di jalur yang berbeda.

Fadil semakin merasa jarak di antara mereka melebar. Sheila yang dulu bisa ia ajak santai dan mengerti sekarang berubah menjadi sosok yang selalu sibuk dengan jadwal, tawaran, dan perhatian dari luar. Setiap kali Fadil coba mengajak bicara soal hubungan mereka, Sheila selalu sibuk atau mengalihkan pembicaraan.

Di sisi lain, Fadil mulai merasa lelah menjadi “rahasia” yang harus dijaga, tapi juga tak cukup dihargai dalam dunia Sheila yang semakin terbuka dan penuh sorotan. Rasa cemburu dan kecurigaan perlahan menyusup, terutama ketika ia melihat Sheila semakin dekat dengan produser atau pengusaha yang sering mengisi komentar dan DM-nya.

Malam demi malam, pertemuan mereka yang dulu hangat berubah jadi obrolan singkat penuh ketegangan. Fadil mulai bertanya-tanya: apakah dia hanya bagian dari panggung Sheila? Apakah Sheila masih mencintainya, atau cuma butuh dia sebagai “modal” untuk naik kelas?

Hubungan mereka terombang-ambing di antara keinginan dan kenyataan yang tak sejalan, menunggu titik di mana semuanya harus diputuskan.

Sheila makin sulit meluangkan waktu untuk Fadil. Jadwal syuting yang padat, meeting dengan sponsor, dan berbagai acara promosi membuatnya hampir tak pernah benar-benar santai. Bahkan akhir pekan yang dulu jadi momen mereka berdua, sekarang sering kali harus dibatalkan karena Sheila harus menghadiri undangan atau persiapan proyek baru.

Setiap kali Fadil mengajak bertemu, Sheila sering kali menunda dengan alasan pekerjaan. Kadang cuma bisa menjawab lewat chat singkat atau telepon sebentar di tengah kesibukannya. Rasa kecewa mulai mengendap di hati Fadil, tapi dia mencoba tetap mengerti—meski sulit.

Perasaan itu makin berat ketika Sheila mulai terlihat lebih leluasa menghabiskan waktu dengan orang-orang baru di lingkungan kerjanya, sementara Fadil merasa makin tersisih dari kehidupan yang dulu mereka bangun bersama.

Sheila mulai berubah makin jelas di depan mata Fadil. Foto-foto di media sosialnya kini tak lagi sekadar gaya artis sinetron biasa. Ia mulai mengunggah gambar-gambar yang lebih terbuka, penuh gaya glamor, bahkan beberapa memperlihatkan keintiman dengan pria-pria baru yang bukan Fadil.

Fadil mendengus, hatinya bergejolak antara marah dan kecewa. Ia tahu, ini bukan sekadar pencitraan. Sheila sedang membidik ‘sponsor’ baru—laki-laki yang mungkin bisa membawanya ke level yang lebih tinggi dalam karier dan kehidupan sosial.

Rasa cemburu menyala, tapi sekaligus perasaan itu bikin Fadil merasa tersisih dan dipermainkan. Ia mulai merasakan, selama ini ia hanya jadi bagian kecil dari strategi Sheila, bukan prioritas yang sebenarnya.

Malam itu, Fadil datang ke apartemen dengan wajah penuh tekanan. Ia melemparkan kunci mobil ke meja dengan suara nyaring, lalu duduk berhadapan dengan Sheila yang sedang asyik menggulir layar ponselnya.

“Aku gak suka kamu posting foto-foto terbuka kayak begitu,” ucap Fadil akhirnya, nadanya dingin tapi dalam. “Semua orang bisa menikmati keindahan tubuhmu, Sheil. Kamu pikir aku nyaman lihat itu?”

Sheila langsung menoleh. Tatapannya tajam, alisnya terangkat tinggi. “Serius, Fadil? Itu yang kamu permasalahkan?”

“Dan foto kamu nempel-nempel sama cowok, yang satu produser, yang lain pebisnis tua yang suka godain kamu—kamu mau bikin aku cemburu, ya?”

Sheila meletakkan ponsel pelan, ekspresinya berubah. “Fadil, aku ini artis. Itu dunia aku. Kamu tahu dari awal.”

“Artis itu jual akting. Bakat. Bukan jual foto tubuh atau sok akrab sama om-om supaya dapet peran.”

Suasana mendadak panas. Sheila berdiri dari duduknya, matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih—tapi karena marah. “Kamu nggak pernah benar-benar terima aku sepenuhnya, kan?”

Fadil bangkit juga, nadanya meninggi. “Aku terima kamu, Sheil! Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli ketika kamu eksploitasi dirimu sendiri demi followers dan tawaran sinetron murahan!”

Sheila mencibir. “Lucu ya, kamu gak mau dimunculkan di sosmedku. Kamu gak mau publik tahu aku pacaran sama kamu. Dan sekarang kamu marah karena mereka anggap aku single?”

“Ya, karena kamu ngasih mereka alasan buat mikir kayak gitu!” balas Fadil keras.

Keduanya terdiam beberapa detik, saling menatap dengan napas memburu.

Sheila akhirnya membuka mulut lagi, pelan tapi menusuk, “Mungkin kamu memang bukan buat aku, Fadil. Kamu gak tahan sama dunia aku… dan aku juga gak mau terus sembunyi kayak simpanan.”

Kata-kata itu menggantung di udara, seperti tamparan yang terlalu keras untuk ditanggapi. Fadil menatapnya sekali lagi, lalu memalingkan wajah.

Tak ada lagi yang bisa diselamatkan malam itu.

"Aku mau break!" teriak Sheila, matanya berkilat dan napasnya tersengal. "Aku capek kerja, capek syuting dari pagi sampai malam, capek harus ngejaga image, dan pas akhirnya ada waktu buat ketemu kamu—yang aku dapat malah komplain!"

Fadil terdiam, rahangnya mengeras.

"Aku mau post foto kita, kamu gak mau!" lanjut Sheila, suaranya bergetar. "Aku berekspresi sebagai artis, kamu cemburu. Aku capek dijadikan rahasia, capek merasa kayak kesalahan yang harus disembunyikan!”

“Sheil, kamu tahu bukan itu maksudku…” potong Fadil pelan, mencoba menurunkan ketegangan. Tapi Sheila tak peduli.

“Bukan maksudmu, tapi itulah kenyataannya!” serunya. “Kamu maunya aku tampil sempurna, tapi gak boleh jadi diriku sendiri. Kamu bilang sayang, tapi kamu gak pernah benar-benar terima dunia aku!”

Fadil menatapnya lama, tubuhnya tegak tapi terasa rapuh di dalam. “Break, ya?” gumamnya. “Oke.”

Sheila mengalihkan pandangan, menggigit bibir bawahnya. Dalam dadanya pun ada luka, tapi harga diri lebih keras daripada air mata.

Fadil mengambil jaketnya tanpa berkata apa-apa lagi, lalu melangkah keluar dari apartemen itu. Pintu tertutup dengan dentuman pelan, tapi cukup nyaring untuk menandai runtuhnya sesuatu yang dulu mereka kira cinta.