4

Setelah keluar dari apartemen malam itu, Fadil tak hanya meninggalkan Sheila secara fisik—ia juga mulai menarik diri sepenuhnya dari hubungan itu.

Keesokan paginya, ia membuka aplikasi mobile banking. Tanpa ragu, ia membatalkan semua transfer bulanan ke rekening Sheila. Beberapa detik kemudian, notifikasi pembayaran otomatis untuk sewa apartemen ikut ia hentikan.

Selama ini, semua ia kelola sendiri. Tanpa manajer, tanpa asisten, semua uang Sheila—sewa, belanja, dan gaya hidup—mengalir lewat satu tangan: tangannya. Dan kini, tangannya berhenti memberi.

Tak ada pesan. Tak ada peringatan. Hanya keheningan digital dan perlahan, jejaknya dalam hidup Sheila menghilang. Fadil kembali ke rumah, duduk di ruang kerjanya, membuka laptop. Hari itu, dia bekerja seperti biasa, tapi kali ini... tanpa gangguan dari seorang artis yang ingin diakui dunia, tapi tak mampu menjaga apa yang nyata.

Tak butuh waktu lama, Fadil juga membatalkan kartu kredit tambahan atas nama Sheila. Ia masuk ke akun banknya, membuka daftar kartu aktif, lalu memilih opsi "blokir permanen" untuk kartu sekunder yang selama ini Sheila gunakan dengan leluasa.

Kartu itu dulunya ia berikan sebagai tanda kepercayaan—dan juga cinta. Tapi kepercayaan itu sudah retak, dan cinta itu mulai kehilangan arah.

Begitu proses selesai, ia menarik napas panjang. Tak ada rasa puas. Hanya lega yang datar, dingin, seperti menutup buku yang terlalu lama dibiarkan terbuka. Sheila boleh sibuk dengan dunia glamornya, tapi mulai hari itu, tak lagi dengan dukungan diam-diam dari Fadil. 

Senin pagi di kantor, suasana masih tenang saat seorang petugas dari dealer mobil datang, mengenakan seragam rapi dan senyum profesional. Di belakangnya, terparkir sebuah mobil merah metalik yang memikat mata—unit baru, masih berkilau, aromanya pasti masih wangi pabrik.

“Mobil atas nama Bapak Fadil,” katanya pada resepsionis. “Bukan atas nama perusahaan, ya, Bu.”

Tak lama kemudian, Fadil turun ke lobi, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia menatap mobil itu sejenak, ekspresinya sulit ditebak—ada kenangan yang belum sempat terjadi.

“Ini STNK sementara, Pak,” ujar petugas dealer sambil menyerahkan map. “BPKB-nya paling lambat tiga bulan, nanti saya antar ke sini.”

Fadil mengangguk pelan. Mobil itu dibeli dari uang pribadi—bukan bonus, bukan aset perusahaan. Tadinya, mobil ini ia niatkan sebagai hadiah ulang tahun untuk Sheila. Tapi kini, mobil itu hanya benda, tanpa makna khusus. Cantik, mewah, tapi kosong.

Ia menandatangani berkas, lalu berkata tenang, “Taruh saja di parkiran bawah. Saya belum tahu mau diapakan.”

Dari balik kaca besar ruang kerjanya di lantai atas, Papa berdiri sambil memandangi mobil merah menyala yang baru saja diparkir di area VIP. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. Ia mengenali modelnya—mobil mahal, sporty, jelas bukan sekadar kendaraan fungsional.

Waktu Fadil keluar sebentar untuk berbicara dengan petugas dealer, Papa tak butuh waktu lama untuk menebak.

Mobil itu pasti untuk si artis, batinnya dingin. Warna mencolok, gaya mencolok, niatnya pun pasti mencolok—cinta buta yang dibayar tunai.

Ia menyipitkan mata. Mobil pribadi, dikirim ke kantor, bukan atas nama perusahaan. Itu saja sudah cukup membuatnya tahu Fadil benar-benar serius pada perempuan itu. Terlalu serius.

Papa bergumam pelan, hampir tak terdengar, "Sudah waktunya dia dipaksa berpikir pakai kepala, bukan nafsu."

Papa duduk tenang di kursinya yang besar, jari-jarinya saling bertaut di atas meja. Tatapannya tak lepas dari Fadil yang baru masuk ke ruangan.

"Papa sudah beri waktu sebulan," katanya tanpa basa-basi. Suaranya tenang, tapi tegas, mengandung tekanan yang tak bisa diabaikan. "Sekarang, waktunya kamu jawab."

Fadil berdiri tegak, menatap ayahnya dengan raut sulit ditebak.

"Jadi," lanjut Papa, kini nadanya lebih lambat dan dingin, "siapa yang akan menikahi Seruni? Papa... atau kamu?"

Hening sejenak. Kalimat itu menggantung di udara, seperti pedang yang menunggu jatuh. Fadil tak langsung menjawab. Tapi sorot matanya mulai berubah. Sesuatu dalam dirinya jelas terguncang.

“Oke, Pa. Aku aja,” jawab Fadil dengan suara yang pelan tapi tegas, menundukkan kepala sejenak sebagai tanda menerima beban itu.

Papa mengangguk, kemudian mengeluarkan amplop berisi dokumen dari laci mejanya. “Ini dokumen-dokumen untuk pendaftaran nikah. Nanti Papa suruh orang untuk urus semuanya. Kamu tinggal siapkan diri.”

Fadil menerima amplop itu, merasakan beratnya bukan hanya dari kertas-kertas di dalamnya, tapi juga dari konsekuensi yang harus ia jalani. Di balik kata ‘oke’ itu, ada dunia yang berubah seketika.

Sore itu di parkiran kantor, Hendra sudah berdiri siap sambil memegang gagang pintu mobil Fadil yang biasa. Namun, Fadil menghentikan langkahnya.

"Mobil ini kamu taruh di rumah," katanya sambil menunjuk mobil hitam yang selama ini dipakai. "Aku bawa yang merah."

Hendra mengangguk mengerti, membuka pintu mobil merah itu untuk Fadil dengan sigap. Udara sore terasa berat, seolah mobil baru itu bukan sekadar kendaraan, tapi pertanda babak baru dalam hidup Fadil.

Fadil tak langsung menuju rumah setelah meninggalkan parkiran. Ia menyempatkan diri mampir ke kantor pengembang perumahan, mengurus stiker pass untuk akses masuk ke cluster tempat tinggalnya. Dengan stiker baru di tangan, ia melaju menuju gerbang cluster.

Di sana, Hendra sudah menunggu lebih dulu. Tanpa banyak bicara, Fadil membuka pintu garasi, mengemudikan mobil merah yang baru ke dalamnya dengan hati-hati. Sementara itu, Hendra memarkir mobil hitam biasa milik Fadil di carport depan rumah, kemudian mengambil motornya dan pamit pulang.

Suasana di rumah terasa sunyi, seolah menandai babak baru yang tengah dimulai.

Hendra menghela napas pelan sambil menatap mobil merah yang baru saja diparkir di garasi. Dalam hati, ia bergumam, "Dasar orang kaya... tinggal di rumah sendirian, mobilnya harus dua segala."

Ia tersenyum tipis, lalu menyalakan motornya, memacu kendaraan menuju jalan keluar cluster, meninggalkan rumah yang megah dan mobil-mobil mewah itu dalam keheningan senja.

Besok paginya, saat mobil melaju di jalan menuju kantor, ponsel Fadil bergetar. Ia mengangkat telepon dengan nada kesal.

“Kita sudah putus!” suaranya meledak dari kursi penumpang, suara penuh kemarahan dan kecewa. “Gak mungkin papaku terima kamu dengan imej seronok seperti itu!”

Ternyata Sheila baru sadar bahwa aliran dana yang biasa mengalir sudah berhenti.

Di depan, Hendra yang mengemudi tanpa sengaja mendengar jelas teriakan Fadil dari balik kursi penumpang. Dalam hati, ia berpikir, “Oh, gosip punya pacar artis itu memang benar. Sekarang mereka putus karena Pak Farhat gak setuju, ya?”

Sambil menahan senyum tipis, Hendra tetap fokus mengemudi, membiarkan drama itu mengalir di belakangnya.

Begitu telepon ditutup dengan nada penuh ledakan emosi, Fadil menatap layar ponselnya sejenak—wajahnya dingin, rahangnya mengeras. Lalu tanpa ragu, ia masuk ke menu kontak, menemukan nama Sheila, dan menekan opsi blokir.

Selesai.

Tak ada pesan, tak ada panggilan, tak ada peluang minta penjelasan. Bagi Fadil, itu penegasan—garis akhir yang tak bisa diseret lagi ke belakang.