5

Malam itu, Fadil dan Papa baru saja tiba di restoran hotel mewah tempat mereka akan makan malam dengan klien penting. Ruangannya remang-remang, dengan alunan musik jazz pelan dan aroma steak mahal memenuhi udara.

Mereka berjalan dibimbing pramusaji menuju meja reservasi. Baru beberapa langkah masuk, langkah Fadil terhenti. Matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal—Sheila.

Ia duduk di sudut ruangan, mengenakan dress hitam pas badan dengan belahan tinggi, tampak sangat glamor. Tapi yang paling menusuk mata Fadil adalah tangan Sheila yang bertaut manja di lengan seorang pria—berumur, berkemeja batik sutra, perut buncit, cincin emas mencolok di jari manis.

Mereka tampak akrab. Terlalu akrab.

Fadil menahan napas. Matanya bersirobok dengan Sheila yang seketika pucat. Sheila cepat-cepat menarik tangannya dari lengan si pria, tapi sudah terlambat. Farhat ikut menoleh, melihat arah pandangan Fadil.

"Hm," gumam Farhat tenang tapi tajam, "Jadi ini... Sheila artis sinetron itu?"

Fadil hanya mengangguk kecil, rahangnya mengeras. Ia kembali melangkah, kali ini lebih cepat.

Sheila menunduk, pura-pura menyesap wine. Tapi wajahnya memerah—bukan karena minuman, tapi karena rasa malu yang tak bisa disembunyikan.

Farhat tak berkata apa-apa lagi. Tatapannya saja sudah cukup membuat siapa pun mengerti bahwa malam itu, semua keputusan Fadil sebelumnya menjadi final.

Sesampainya di meja, Fadil berusaha menetralisir suasana. Ia menarik napas dalam dan menampilkan senyum profesional saat menyambut dua orang klien dari perusahaan alat berat yang sedang menjajaki kerja sama distribusi.

“Selamat malam, Pak Andra, Pak Joko,” sapa Fadil sambil menjabat tangan mereka satu per satu. “Terima kasih sudah menyempatkan waktu.”

Farhat menyusul, duduk dengan tenang, lalu menyapa hangat. “Kita memang sudah lama menantikan obrolan seperti ini. Makan malam santai, tapi semoga membawa hasil serius.”

Obrolan berlanjut lancar. Fadil menjaga fokus meski sesekali pikirannya masih terganggu bayangan Sheila dan pria itu di sudut ruangan. Ia beberapa kali mencuri pandang, memastikan mereka masih di sana. Sheila terlihat kikuk, tapi pria di sebelahnya tampak tak peduli—terlalu sibuk menggenggam tangan Sheila dan memesan wine termahal.

Sementara itu, di meja Fadil, pembicaraan mulai menyentuh inti: sistem distribusi, potensi pasar luar Jawa, hingga kemungkinan membentuk unit joint venture baru.

“Anak saya, Fadil, yang akan jadi kepala operasional untuk proyek ini,” ujar Farhat santai, tapi penuh makna. “Dia punya gaya kerja yang tidak terlalu suka sensasi. Fokus di hasil.”

Fadil mengangguk. “Kami bukan tipe yang menjual janji. Lebih baik sedikit bicara, tapi eksekusi cepat.”

Pak Andra dan Pak Joko tersenyum, saling melirik kagum. “Itu yang kami cari. Sekarang banyak anak muda terlalu sibuk di dunia maya, lupa realita.”

Ucapan itu membuat Fadil hampir tersenyum sinis, tapi ia tahan. Ia hanya menjawab, “Untung saya bukan influencer.”

Tawa hangat mengisi meja makan. Sementara di sudut ruangan, Sheila kini hanya menatap kosong ke arah piringnya, tak lagi tampak mesra seperti sebelumnya.

Besok paginya, suasana kantor tampak seperti biasa—tenang dan teratur. Tapi Fadil sudah tiba dengan rasa waspada yang tak biasa. Sejak kejadian di restoran malam itu, pikirannya lebih tajam, langkahnya lebih cepat.

Baru saja ia hendak duduk, pintu lift terbuka dan Nunik melangkah keluar sambil membawa satu amplop cokelat. Kali ini, ia tidak menuju meja resepsionis atau ruangan arsip.

Fadil langsung berdiri. “Nik, itu dari siapa?”

“Dari Pak Iman lagi, Pak,” jawab Nunik cepat. “Dari Solok. Kurir barusan datang, katanya ini pelengkap dokumen yang kemarin.”

“Sudah dicek isinya?”

“Belum, Pak. Katanya untuk langsung ke meja Pak Farhat, dokumen pribadi.”

Fadil mengangguk perlahan. Ia tidak mencegah Nunik seperti waktu itu. Ia hanya mengamati saat Nunik mengetuk dan masuk ke ruangan papa, lalu keluar beberapa saat kemudian tanpa berkata apa-apa.

Beberapa menit kemudian, telepon meja Fadil berbunyi.

“Ke ruangan papa,” suara Farhat singkat.

Fadil masuk dan melihat amplop itu sudah terbuka di atas meja. Farhat mendorongnya pelan ke arah Fadil.

“Pelengkap dokumen nikah. Ada fotokopi KTP ibu kandung, surat izin wali, dan...,” Farhat menarik napas. “Sertifikat kesehatan dari puskesmas.”

Fadil hanya menatap lembar-lembar itu, semuanya resmi, lengkap, tanpa cela.

“Jadi,” kata Farhat pelan tapi tegas, “tak ada lagi alasan untuk menunda.”

Sekitar sejam kemudian, seorang pria berpenampilan rapi dengan map kulit hitam tiba di lobi kantor. Ia tidak bertanya apa-apa ke resepsionis, hanya menunjukkan ID yang menyebutkan bahwa ia adalah staf hukum dari kantor notaris langganan keluarga Farhat.

Tanpa banyak bicara, ia langsung naik ke lantai atas, menuju ruangan Farhat. Nunik, yang sudah diberi tahu sebelumnya, hanya mengangguk saat pria itu lewat di depannya.

Pintu ruangan Farhat terbuka sebentar. Pria itu masuk, lalu keluar sekitar lima menit kemudian dengan satu map dan amplop cokelat di tangan. Tidak ada percakapan berarti. Tidak ada sapaan basa-basi. Hanya tatapan profesional dan anggukan formal.

Ia berjalan kembali ke lift, membawa semua dokumen pelengkap untuk pendaftaran pernikahan yang sudah dipersiapkan sejak lama. Tidak satu pun karyawan lain di kantor tahu isi amplop itu. Bagi mereka, itu hanya urusan legal biasa.

Fadil, yang mengintip dari balik kacanya, hanya bisa duduk diam. Segalanya bergerak. Resmi. Terencana. Dan tidak bisa dihentikan lagi.

Seruni duduk di pinggir ranjangnya, masih menggenggam ponsel yang kini gelap. Pikirannya berputar cepat.

Hotel Attila? Bukankah itu hotel mahal? Bahkan untuk sekadar makan di restorannya saja, ia harus menunggu momen gajian. Ayahnya—Iman Ashari—bukan tipe yang suka kemewahan, apalagi menginap di tempat seperti itu. Biasanya kalau ke Jakarta, beliau menumpang di rumah teman lama, atau menginap di losmen sederhana di daerah Kalideres.

Ada apa sebenarnya?

Dan kenapa mendadak? Tak ada kabar apa-apa sebelumnya. Terakhir mereka bicara seminggu lalu, hanya obrolan ringan tentang pekerjaan Seruni dan kondisi rumah.

Seruni menggigit bibir bawahnya. “Bawa baju dua hari,” gumamnya pelan. Apakah ini akan jadi perjalanan keluarga? Tapi hanya dia yang dipanggil. Adik-adiknya tak disebut. Ibunya juga tidak.

Hatinya semakin gelisah. Ayahnya terdengar terlalu serius tadi. Ini pasti bukan sekadar kunjungan biasa.

Ia membuka koper kecil dari kolong lemari, mulai memasukkan beberapa helai pakaian—tanpa tahu persis sedang bersiap untuk apa.

Sementara itu, di sudut apartemennya yang tenang, Fadil duduk di depan laptop, jari-jarinya menggeser touchpad pelan sambil membuka satu per satu laman media sosial Seruni. Ia menemukan akun LinkedIn, Instagram, dan bahkan akun Pinterest yang tampaknya milik gadis itu. Semua terlihat bersih. Profesional. Rapi.

Tak ada satu pun foto yang berkesan 'menjual diri' seperti mantan kekasihnya dulu. Seruni tak berhijab, tapi juga tak pernah tampil dengan pakaian terbuka. Di beberapa foto, ia tampak mengenakan blouse lengan panjang, celana kain, atau jeans yang dipadukan dengan atasan sopan. Kadang ada potret saat ia nongkrong bersama teman-teman kampusnya—tertawa, duduk di coffee shop, atau menyantap makanan rumahan di warung pinggir jalan.

Fadil mengamati lebih teliti. Dari cara berpakaian dan gesturnya, ia bisa memperkirakan bentuk tubuh Seruni. Tidak gemuk, proporsional. Parasnya tidak terlalu mencolok, tapi ada aura tenang yang entah kenapa membuat Fadil berhenti lama di salah satu fotonya—yang diambil candid, saat Seruni tertawa sambil menunduk, rambut sedikit terurai.

Bukan tipe wanita yang biasa ia kejar. Tapi juga bukan yang mudah dilupakan begitu saja.

Fadil bersandar, menarik napas panjang.

“Minimal,” gumamnya pelan, “dia bukan tipe yang menjual privasi untuk validasi.”