6

Jumat malam, Seruni melangkah keluar dari stasiun kereta dengan langkah ringan tapi hati penuh campur aduk. Malam itu udara Tangerang agak sejuk, lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di trotoar.

Ia memesan ojek online lewat ponselnya, menunggu tak lama sebelum motor hitam menyusul di depan. Duduk di belakang, ia mengintip peta perjalanan di layar, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

Sesampainya di Hotel Attila, Seruni segera menuju lobi mewah dengan karpet merah dan dekorasi modern yang mengesankan. Petugas resepsionis menyambutnya ramah setelah ia menyebutkan nama dan nomor kamar ayahnya.

Lantai 17, kamar 1707. Pintu dibuka dengan kartu kamar elektronik, aroma kayu mahal dan wangi parfum yang lembut menyambutnya. Kamar tidak terlalu besar, tapi terasa mewah: jendela besar dengan tirai tebal, lampu gantung elegan, dan sofa empuk di sudut ruang.

Di tengah ruangan, Iman sudah menunggu—berdiri dekat meja kerja, wajahnya serius namun ada sedikit kelegaan saat melihat Seruni masuk.

Seruni menunduk hormat, “Assalamualaikum, Yah.”

“Waalaikumsalam, Nak. Duduklah,” kata Iman sambil menunjuk kursi di depan mejanya.

Suasana sunyi sesaat, kemudian Iman mulai berbicara, nada suaranya dalam dan penuh arti. 

“Kamu ingat Ayah pernah cerita punya utang besar pada pengusaha asal Padang?” tanya Ayah, suaranya serak.

Seruni mengangguk pelan. Ia ingat betul. Kata-kata itu sempat membuatnya gelisah bertahun-tahun. Itulah sebabnya sejak pertama kali menerima gaji di Jakarta, ia selalu kirim uang ke kampung. Meski tak tahu pasti berapa jumlah utangnya, ia merasa bertanggung jawab.

“Ayah pakai buat nutupin biaya panen, beli pupuk, dan bayar pekerja. Awalnya lancar. Tapi makin lama, bunga makin besar. Sekarang...” Ayah menggigit bibir, suaranya hampir hilang, “...hampir satu miliar, Runi. Ayah tak sanggup lagi.”

Angka itu menghantam seperti petir di siang bolong. Seruni terdiam. Tangan di pangkuannya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Dalam pikirannya, masa depan keluarganya seperti seutas tali yang rapuh, tinggal menunggu putus.

“Farhat sudah kirim orang,” lanjut Ayah. “Katanya ini peringatan terakhir.”

Ayah tidak langsung menatap Seruni ketika ia mengucapkannya. Tangannya mengepal di atas meja, matanya tertunduk seperti seorang lelaki yang kalah perang.

“Farhat tidak ingin kehilangan uangnya,” katanya perlahan. “Awalnya... dia minta kamu jadi istri mudanya.”

Seruni tersentak. Napasnya tercekat di tenggorokan. Tapi sebelum sempat bicara, ayah melanjutkan.

“Tapi kemudian kesepakatan berubah. Katanya... dia ingin kamu dinikahkan dengan anaknya.” Suaranya serak. “Besok.”

Hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Dunia Seruni seakan berhenti berputar.

“Besok?” suaranya nyaris tak terdengar. “Ayah setuju?”

Ayah akhirnya menatapnya. Ada luka dalam di matanya, tapi juga rasa bersalah yang menyesakkan. “Ayah nggak punya pilihan, Runi. Kalau kita tolak... dia bilang akan ambil kebun, rumah, bahkan... nyawa.”

Pikiran Seruni melayang jauh ke kampung halamannya yang sederhana. Ingatan tentang ibu yang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal ketika dia masih kecil, terus menghantui hatinya. Berkali-kali ibu harus dirawat di rumah sakit, berjuang melawan penyakit yang tak kunjung sembuh.

Setelah ibu tiada, ayah menikah lagi. Kehidupan bertambah ramai dengan kehadiran Zahra dan Nizar, adik-adik tirinya yang polos dan penuh harapan. Hidup mereka bergantung pada hasil kebun kecil di kaki bukit, yang hasilnya naik turun seperti ombak. Kadang hasil panen melimpah dan membawa harapan, kadang gagal total hingga habis modal.

Seruni bertekad merubah nasib. Dengan beasiswa penuh, dia memilih kuliah di Jakarta, sebuah kampus swasta yang tak terkenal tapi memberinya kesempatan. Meski begitu, biaya hidup di ibu kota jauh lebih tinggi dari yang dia perkirakan. Setiap rupiah harus diperhitungkan dengan ketat. 

Kini, duduk di kamar hotel mewah yang jauh dari rumahnya, ia sadar bahwa semua perjuangan itu membawanya pada pilihan yang berat: menjadi tumbal dari hutang ayah demi melindungi keluarganya. Dia harus ikhlas menjalani takdir ini, meski hatinya terluka dalam-dalam.

Seruni menatap ayahnya dengan mata penuh kebingungan dan sedikit takut. Suaranya lirih, nyaris berbisik, "Nikah siri?"

Iman menggeleng pelan, wajahnya serius. "Nikah resmi, Seruni. Semua sudah tercatat di KUA. Pendaftaran nikah sudah ayah urus sejak sebulan yang lalu."

Kata-kata itu menghantam Seruni seperti petir di siang bolong. Segala sesuatunya sudah disiapkan rapi, tanpa ada ruang baginya untuk menolak atau menunda. Hatinya bergetar, dan ia terdiam, merasa terjebak dalam keputusan yang sudah diambil tanpa persetujuannya.

Seruni ingin marah. Ingin menangis. Ingin berteriak sekuat-kuatnya. Tapi semua itu hanya bergetar dalam dadanya, tak bisa keluar. Seperti beban berat yang menumpuk di kepala dan dada, menunggu waktu untuk runtuh sepenuhnya.

Semua yang terjadi belakangan terasa seperti badai yang menghantam tanpa henti. Utang ayahnya. Pernikahan paksa. Dan Deson...

Baru beberapa bulan terakhir Seruni dekat dengannya. Karyawan EMKL di Pelabuhan Tanjung Priok, pria ramah yang selalu tahu cara membuatnya tertawa. Perhatian, manis, tampak dewasa. Seruni sempat berpikir... mungkin inilah orangnya. Yang bisa ia percaya. Yang bisa diajak membangun masa depan.

Namun belum sempat niat itu terucap, dunia kembali memukulnya. Deson ternyata punya istri dan dua anak. Semua terbongkar lewat satu pesan singkat dari perempuan asing yang mengaku sebagai istrinya.

Kepalanya nyeri. Hatinya lebih parah. Terasa seperti luka yang dibuka lagi, ditaburi garam, lalu dijahit paksa dengan tangan kosong.

Seruni memejamkan mata di bawah guyuran hujan. 

Hampir dua tahun lalu, bulan-bulan terakhir Seruni bekerja freelance di perusahaan distribusi pupuk, ia pertama kali mengenal Deson. Saat itu, ia menangani pengiriman ke Kalimantan lewat EMKL Aruna Mile. Deson adalah PIC-nya—pria berkemeja rapi dan selalu tampak tenang di tengah kekacauan dokumen dan jadwal kapal.

Baik, ramah, dan sangat membantu. Bahkan kadang terlalu perhatian. Seruni sempat mengira itu hanya bagian dari profesionalisme.

Tapi komunikasi mereka terus berlanjut, bahkan setelah Seruni diterima sebagai staf produksi di pabrik. Perlahan, akhir pekan Seruni hampir selalu terisi bersama Deson—ngopi, nonton film, jalan-jalan tanpa arah jelas. Ada kenyamanan, ada tawa, dan sesekali, desahan lirih ketika Deson menatap Seruni seolah ia satu-satunya.

Seruni sempat berharap. Mungkin ini awal dari sesuatu yang nyata.

Tapi harapan itu hancur cepat. Semua berubah begitu satu pesan masuk—dari perempuan bernama Lita. “Saya istri Deson. Kami punya dua anak. Tolong jangan ganggu rumah tangga kami lagi.”

Seruni mengingat bagaimana dadanya terasa seperti diremukkan dari dalam. Betapa ia ingin berteriak, tapi hanya bisa tersenyum pahit di depan layar ponsel.

Sekarang, saat hidupnya kembali terjepit oleh keadaan, bayangan Deson datang lagi. Bukan sebagai harapan, tapi pengingat pahit: bahwa cinta pun bisa jadi tipu daya.

Deson tidak menyangkal.

Ketika Seruni akhirnya mengirim pesan—bukan marah, hanya satu kalimat singkat: "Kamu sudah menikah?"—Deson membalas setelah dua jam.

"Iya, Runi. Maaf. Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu. Tapi aku juga nggak bisa jujur dari awal."

Dan hanya itu.

Tak ada pembelaan. Tak ada penjelasan panjang. Tidak ada upaya memperbaiki. Seolah semua yang pernah mereka lewati bisa dikubur dengan satu kata: maaf.

Setelah itu, mereka tidak pernah kontak lagi. Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.

Seruni sempat menunggu, berharap ada penjelasan lebih dari sekadar pengakuan. Tapi minggu berlalu, dan ia sadar: Deson memang tidak pernah benar-benar hadir sepenuhnya. Ia hanya bayangan yang datang saat senja dan menghilang sebelum pagi tiba.

Kini, dengan ancaman pernikahan paksa di depan mata, Seruni merasa dua kali ditinggalkan. Oleh cinta dan oleh orang tuanya sendiri.

Tapi kali ini, ia tidak akan menunggu atau berharap. Ia harus mengambil kendali.

Pagi itu, setelah mandi, Seruni turun ke bawah untuk sarapan bersama ayah. Suasana meja makan begitu sunyi, seperti ruang tunggu sebelum eksekusi. Nasi goreng di piringnya hanya disentuh seperlunya. Setiap suapan terasa hambar. Ayah tak berkata apa-apa sejak duduk. Matanya sembab, tapi ia tidak menatap anak perempuannya—mungkin karena tak sanggup.

Setelah makan, mereka naik lagi ke kamar. 

Tepat pukul tujuh pagi, bel terdengar. MUA yang dipesan oleh keluarga Farhat datang, membawa koper make-up dan alat styling rambut. Wanita itu tersenyum ramah, tidak tahu bahwa wajah yang akan ia rias bukanlah wajah bahagia seorang pengantin, melainkan wajah gadis yang kehilangan kendali atas hidupnya.

“Siap ya, Mbak Seruni?” suara MUA itu lembut.

Seruni duduk di depan cermin. Hanya mampu mengangguk.

Dalam hati ia berbisik: Hari ini... atau aku akan hilang sepenuhnya.