Hampir dua jam berlalu, dan kini Seruni nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Cermin besar di kamar hotel memantulkan sosok perempuan muda dalam balutan baju kurung berwarna marun dengan bordir emas halus, lengkap dengan suntiang kecil di kepala—sederhana, namun tetap anggun. Wajahnya dirias lembut, menonjolkan matanya yang teduh dan bibirnya yang tenang tapi kaku.
Ia merasa seperti boneka hidup yang tengah dipajang untuk pertunjukan yang bukan miliknya.
Tak lama kemudian, dua perempuan dari tim hotel datang mengetuk pintu. Salah satunya membawa baki berisi bunga melati dan tas kecil. “Sudah siap, Mbak Seruni?” suara mereka lembut, penuh sopan santun profesional. Seruni hanya mengangguk.
Mereka membimbingnya keluar kamar, melewati lorong hotel yang sunyi, menuju lift yang akan membawanya ke lantai bawah—ke restoran tempat segala keputusan hidupnya akan disahkan dengan satu ijab kabul. Tangannya dingin, jantungnya berdetak keras. Tapi langkahnya tetap maju.
Ia tidak tahu siapa yang menunggunya di bawah. Tapi ia tahu: hidup lamanya tak lagi menunggu di sana.
Ruangan restoran itu telah disulap menjadi ruang akad yang hangat dan eksklusif. Tirai krem lembut menutup sebagian kaca, membuat suasana terasa lebih intim. Karpet putih membentang di bawah meja panjang tempat beberapa bunga segar tersusun rapi.
Ayah menggandengnya pelan, membawanya mendekat ke arah keluarga Farhat, Sang Pengusaha asal Padang. Senyum ayah dipaksakan, langkahnya sedikit ragu.
“Ini, Runi...” katanya lirih. “Ayah kenalkan... Pak Farhat.”
Farhat berdiri. Pria paruh baya, usianya kurang lebih sama dengan ayah. Kulitnya sawo matang, tubuhnya tinggi tegap meski mulai mengisi. Sorot matanya tajam, seperti orang yang biasa memegang kendali. Tangannya menjabat Seruni dengan sopan, tapi matanya menelisik.
“Cantik ya, Pak Iman. Alhamdulillah,” katanya, tersenyum lebar. Di sebelahnya, berdiri seorang perempuan berhijab, cantik dan anggun. “Ini istri saya, Ami.”
Bu Farhat mengangguk ramah. “Semoga kamu betah nanti di rumah ini, ya, Nak.”
Lalu muncullah Fadil—calon suaminya. Pria muda, rapi, bersih, wajahnya seperti versi lebih muda Farhat, tapi matanya tersenyum nakal.
“Ini Fadil. Calon suamimu,” Ayah berbisik di telinga Seruni, pelan sekali.
Seruni mengangguk pelan. Tangannya dingin.
Satu pria tua lain ikut dikenalkan. Tubuhnya ringkih tapi sikapnya penuh hormat pada Farhat. “Pak Daud ini sopir saya sejak muda. Sudah saya anggap keluarga,” kata Farhat. “Beliau akan jadi saksi nikah dari pihak perempuan.”
“Sedangkan dari pihak laki-laki, saya sendiri,” lanjutnya santai, seperti itu hal biasa.
Seruni menunduk. Detik-detik terasa makin berat.
“Ini buat kamu,” ujar Fadil, menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita tipis di atasnya.
Seruni menerimanya dengan bingung, lalu membuka perlahan. Begitu tutup kotak terangkat, matanya langsung membelalak.
Bukan perhiasan emas. Bukan parfum impor. Tapi... jam tangan outdoor yang sudah lama dia incar. Desainnya sporty, tahan air, dengan strap karet hitam dan layar digital minimalis—tepat seperti yang ia lihat berulang kali saat scrolling marketplace. Harganya tidak mahal, hanya dua jutaan, tapi sejak dulu Seruni menahan diri untuk tidak membelinya. Ia memilih berhemat, mengutamakan kiriman untuk kampung.
Tapi... bagaimana Fadil tahu?
Seruni menatap Fadil, bingung. Fadil hanya tersenyum kecil, menggaruk tengkuknya pelan, “Terimakasih.”
Tak lama kemudian petugas KUA datang, mempersilakan duduk, suasana mendadak hening. Doa pembuka dibacakan, dan ayah Seruni duduk di samping petugas, siap menjadi wali nikah.
Seruni duduk di sisi yang lebih dalam ruangan, diapit perempuan anggun tadi—istri Pak Farhat—dan seorang perempuan lain yang bertugas sebagai saksi keluarga. Di depannya, di atas nampan beludru putih, terletak mas kawin: sebuah cincin emas putih polos, tanpa permata, namun lekuk desainnya lembut dan anggun.
Hati Seruni berdegup pelan. Ia menatap cincin itu sejenak. Modelnya persis seperti yang kusuka... batinnya terkejut. Kok bisa ya?
Ia tak tahu bahwa Fadil—meskipun awalnya setengah terpaksa menerima pernikahan ini—telah memerhatikan semua detail dari foto-foto Seruni di media sosial. Ia tahu Seruni tak pernah mengenakan perhiasan mencolok. Ia tahu Seruni menyukai sesuatu yang sederhana, tapi berkelas. Dari pilihan anting kecil di telinga, dari kalung tipis yang hanya tampak sesekali.
Fadil—dalam diam—telah menyiapkan semuanya dengan teliti.
Ijab kabul pun dimulai.
Dan dengan satu tarikan napas, dunia Seruni berubah.
—
Setelah akad selesai dan para saksi menandatangani berkas pernikahan, suasana mencair. Fotografer mulai mengarahkan mereka, memotret Seruni dan Fadil berdua, lalu bersama keluarga kecil yang hadir. Seruni masih merasa seperti melayang—semua terasa terlalu cepat, terlalu rapi, terlalu mewah untuk sesuatu yang baru ia cerna setengahnya.
Mereka makan siang di meja panjang yang sudah ditata cantik dengan taplak putih, piring-piring porselen, dan bunga segar. Hidangannya berkelas: sup jamur truffle, salmon panggang, nasi kebuli dengan daging kambing empuk, serta deretan dessert manis dalam gelas kaca kecil.
Hanya sekitar sembilan orang di ruangan itu: Seruni, Fadil, ayahnya, Pak Farhat dan istri, petugas KUA, fotografer, MUA, dan seorang staf hotel. Tapi semua diatur dengan anggun, seperti jamuan kecil keluarga terpandang.
Seruni menunduk sesekali, menyuap makanan perlahan. Fadil duduk di sampingnya, tak banyak bicara, tapi sekali waktu menoleh, memastikan ia nyaman.
Tak ada musik keras. Tak ada tepuk tangan. Tapi justru kesunyian itulah yang membuat segalanya terasa nyata.
—
Kelar acara, MUA membimbingnya lagi ke kamar.
Ia duduk di depan cermin besar, sementara MUA dengan telaten melepas suntiang dari kepalanya—berat logam dan perhiasan yang menekan pelipisnya sejak pagi perlahan terangkat. Rambutnya yang dicepol rapi mulai longgar, helai-helainya jatuh ke leher.
Aksesoris leher dan anting terakhir dilepas. Seruni memandangi dirinya sendiri di cermin, wajahnya masih penuh riasan—matanya tajam tapi kelelahan, bibirnya merah anggun, pipinya terlihat seperti boneka porselen.
Ketika MUA mengambil tasnya, Seruni baru tersadar.
"Bajunya... ini?" tanyanya ragu sambil meraba kain kurung modern yang kini membungkus tubuhnya.
MUA tersenyum. “Pakai saja, Mbak. Itu bukan sewaan, sudah dibeli khusus. Pak Fadil yang pilih dan ukurannya pas, ya kan?”
Seruni terdiam. Sejenak ia menyentuh lengan bajunya, lembut dan jatuh sempurna. Rasanya aneh mengenakan sesuatu yang begitu mahal tapi bukan miliknya—atau mungkin, sekarang miliknya?
“Terima kasih ya, Mbak,” ujar Seruni pelan.
MUA mengangguk sopan, “Selamat menempuh hidup baru, Mbak Seruni.” Ia pamit, lalu menutup pintu pelan-pelan.
Kini Seruni benar-benar sendirian. Di kamar hotel, di kota besar, dengan status baru… dan seorang suami yang nyaris belum ia kenal.
Pintu kamar diketuk pelan. Seruni menoleh. Ayahnya masuk bersama Fadil. Seruni spontan berdiri.
Wajah Iman terlihat lelah namun mantap. "Seruni," ucapnya pelan, "kamu ikut Fadil sekarang, tinggal di rumah suamimu."
Seruni menunduk. "Iya, Ayah."
Iman menatap anak perempuannya sejenak, lalu berpaling pada Fadil. "Tolong jaga dia baik-baik. Dia sudah cukup banyak berkorban."
Fadil mengangguk. "Insyaallah, Pak."
Seruni menelan ludah. Ada yang menyesak di dadanya, tapi ia tahan. Di balik senyum tipis ayahnya, ia tahu semua ini bukan karena cinta atau harapan—tapi karena keadaan. Karena hutang. Karena nasib.
Iman menepuk pundak putrinya sekali, lalu berkata singkat, "Ayah pamit istirahat. Besok pagi harus ke bandara." Ia meninggalkan kamar tanpa banyak kata lagi.
Seruni diam di tempat. Matanya dan mata Fadil sempat bertemu sejenak. Canggung. Asing. Tapi tak bisa dielakkan: mereka kini suami-istri.