Malam itu hujan deras membasahi kota metropolitan yang tak pernah tidur. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip di bawah guyuran air, menciptakan pantulan-pantulan samar di jalanan yang sepi. Di sebuah gedung parkir bawah tanah yang remang, tiga sosok berkumpul dalam keheningan penuh beban.
Praja duduk santai di atas kap mobil tua, tatapannya kosong menembus dinding beton penuh coretan dan noda. Matanya yang tajam sesekali memandang ke layar ponsel, tapi pikirannya jauh melayang pada masa lalu yang kelam. Ingatan tentang adik kecilnya yang hilang karena tangan-tangan kejam mafia terus menghantui.
“Aku nggak mau jadi monster, tapi kadang sepertinya aku harus jadi monster supaya mereka takut,” gumamnya lirih sambil menggenggam revolver yang setia menempel di pinggangnya. Sebuah janji dan dendam melekat kuat di balik senyumnya yang sarkastik.
Di sebelahnya, Dion, pria berkacamata dengan wajah serius, sibuk mengutak-atik tablet yang memuat peta intelijen. Jari-jarinya lincah menavigasi data pergerakan musuh.
“Aku selalu di belakang layar, tapi aku iri sama Praja yang berani terjun langsung, dan Mira yang punya kekuatan unik yang aku nggak pernah ngerti,” ucapnya dengan nada rendah, suara yang mengandung rasa frustrasi dan kekhawatiran.
Di sudut ruangan, Mira berdiri dengan tubuh ramping yang dibalut jaket hitam. Matanya redup, menatap keluar jendela ke arah hujan yang menari-nari di kaca. Setelah memastikan tak ada yang melihat, dia menggeser jaketnya sedikit ke samping, menyembunyikan gerakan kecilnya yang sudah jadi ritual rahasia — sentuhan lembut dan cepat, yang memberi energi luar biasa sekaligus menenangkan kegelisahan batinnya.
Dia menghela napas panjang, dan seketika perubahan terlihat. Mata yang tadinya sayu kini berkilau penuh tekad. Mira tahu, kekuatannya tak hanya berasal dari latihan atau keahlian bertarung, tapi juga dari ritual kecilnya yang dianggap tabu oleh banyak orang. Tapi di kota yang kejam ini, semua cara sah-sah saja selama membuatnya tetap hidup.
Praja melirik Mira dan tersenyum tipis, seolah mengerti tanpa perlu banyak kata.
“Kau kuat karena caramu sendiri. Jangan biarkan siapa pun buatmu merasa lain.”
Dion ikut mengangguk, “Aku nggak paham cara kerjanya, tapi aku percaya itu membuatmu jadi Mira yang tak terkalahkan.”
Mira membalas senyum sinis, “Kadang hal kecil itulah yang bikin kita tetap berdiri saat dunia berusaha menjatuhkan.”
Ketiganya saling bertukar pandang. Mereka tahu malam ini bukan sekadar pertarungan biasa. Ini adalah malam di mana mereka akan melawan kegelapan yang lebih dalam, melawan kerajaan hitam yang memegang kendali kota — mafia yang kejam, yang bahkan pemerintah pun tunduk di bawah bayangannya.
Praja mengangkat senjatanya dan berdiri. “Sudah waktunya. Mari kita buat mereka tahu, bahwa di balik kota yang gemerlap ini, ada yang siap membakar dunia mereka.”
Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan ruangan itu, menyambut malam penuh bahaya, aksi brutal, dan teka-teki yang belum terpecahkan.