Malam itu, udara dingin menyergap setiap sudut kota metropolitan. Jalanan lengang, hanya terdengar gemuruh suara hujan dan sesekali sirine yang jauh. Praja, Dion, dan Mira bergerak cepat di balik bayang-bayang gedung pencakar langit, menyusup ke markas tersembunyi Raven Squad — kelompok mafia super kaya yang menguasai kota dengan tangan besi.
Praja membawa langkah percaya diri, setiap gerakannya dipenuhi aura menakutkan tapi juga keren. Matanya menyapu area sekitar, waspada namun tetap menyelipkan celoteh sarkastik, “Kalau mereka pikir kita datang untuk nyari basa-basi, mereka salah besar.”
Dion tetap di belakang, memantau lewat alat komunikasi canggih, memberikan instruksi dengan suara tenang tapi tegas, “Praja, di depan ada dua penjaga. Jangan langsung tembak, kita butuh intel. Mira, siap-siap ya.”
Mira mengangguk, jantungnya berdegup kencang. Dalam hati, dia mengulang ritual kecilnya, menarik kekuatan dari sumber tersembunyi dalam dirinya. Energi yang mengalir membuat otot-ototnya lebih tegang, refleksnya makin cepat.
Ketika penjaga itu berbalik, Mira meluncur bak bayangan, tangan kosongnya mengunci salah satu dari mereka dengan cepat. Teriakan yang tertahan, tubuh penjaga pertama jatuh diam tanpa suara. Praja langsung menyambut dengan cekatan, melemparkan bayonet ke penjaga kedua yang berusaha mengangkat senjata.
Dion lewat alat komunikasi, “Bagus, masuk lebih dalam. Ada kamera di lorong utama, aku hack sistemnya.”
Saat mereka melangkah lebih jauh, suasana berubah makin mencekam. Cahaya redup dari lampu merah berkedip-kedip, aroma minyak tanah dan darah segar mulai tercium samar. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke jantung kegelapan.
Namun tiba-tiba, suara tembakan memecah kesunyian. Tembakan balasan dari musuh yang lebih banyak dan lebih siap. Praja segera mengambil posisi, membalas dengan keahlian menembak yang mengerikan, membuat musuh terpental satu per satu.
Di sisi lain, Mira bergerak lincah, memanfaatkan setiap celah, menghindari peluru dengan kelincahan yang hampir supernatural. Energi dari ritualnya terus mengalir deras, membuatnya hampir tak terhentikan.
Dion tetap di belakang, membantu mengarahkan tembakan dan mencari jalan keluar.
“Tembak terus! Kita harus ke ruang utama dan hentikan pemimpin mereka!” teriak Praja, suara penuh amarah dan determinasi.
Pertarungan brutal berlangsung, darah bercucuran, suara ledakan dan jeritan menggema di lorong-lorong sempit. Kota ini, dengan semua kemegahan dan gelapnya, menjadi medan pertempuran mereka yang tak kenal ampun.