"Bisikan Dari Seberang Laut"
Setelah pemberontakan mereda, ketenangan tak berlangsung lama. Radio-radio lama yang dihidupkan kembali mulai menyiarkan suara baru—lembut, meyakinkan, namun penuh racun. Sebuah bangsa asing dari seberang laut, yang disebut sebagai “Zorathia”, muncul secara misterius dengan slogan yang memikat:
> “Dunia telah hancur karena kebebasan yang tak bertanggung jawab. Zorathia datang membawa kedamaian, bukan perang. Keteraturan, bukan kekacauan.”
Masyarakat perlahan tergoda oleh janji-janji manis itu. Bahkan beberapa penyintas lama mulai meragukan perjuangan Praja dan Lesmana, melihat keduanya hanya menghasilkan perang dan luka baru.
---
Lesmana: Pertarungan Filsafat
Lesmana menyadari betapa bahaya propaganda ini. Ia tak melawan dengan senjata, melainkan kata-kata. Ia duduk di pusat kota, memulai diskusi terbuka tanpa pengeras suara, tanpa panggung megah.
> Lesmana:
“Zorathia menawarkan keteraturan, tapi kalian lupa—keteraturan itu hanya topeng dari kekuasaan mutlak. Kebebasan memang membawa risiko. Tapi kebebasan itu juga satu-satunya hal yang membuat kita menjadi manusia sejati, bukan alat dari tirani baru.”
Seorang pemuda bertanya dengan skeptis:
> “Tapi apakah kebebasan yang kita perjuangkan selama ini berhasil? Bukankah kebebasan justru memberi kita perang?”
Lesmana menjawab tenang:
> “Kebebasan bukanlah tentang damai yang palsu, tapi tentang keberanian untuk bertanggung jawab atas pilihan. Damai yang mereka tawarkan adalah damai yang dipaksakan dengan ancaman. Aku lebih memilih perang melawan tiran daripada kedamaian yang dibeli dengan ketakutan.”
---
Konflik yang Memuncak
Zorathia memperkuat propagandanya melalui media digital dan siaran radio gelap, menggambarkan Lesmana sebagai pemberontak yang selalu memicu kekacauan, sementara Zorathia sebagai penyelamat yang akan mengakhiri penderitaan dunia.
Lesmana membalasnya dengan kalimat tajam yang menyebar dari mulut ke mulut:
> “Mereka datang dengan madu di lidah dan belati di tangan. Mereka bicara tentang damai, tapi yang mereka inginkan adalah tunduk.”
---
Praja, Lysandra, Naresha, dan Dion Bergabung Kembali
Praja berdiri di sisi Lesmana, bersama Naresha, Lysandra, dan Dion, memperkuat posisi mereka bukan melalui pertempuran fisik, tetapi dengan kampanye sosial dan filosofi yang jelas, tegas, namun tak pernah menggurui.
Lesmana menutup diskusi dengan kalimat yang menggugah rakyat kembali berpikir:
> “Jangan pernah menukar kebebasan berpikir kalian dengan janji kenyamanan. Karena saat kalian menyerahkan pikiran, kalian tak lagi manusia, tapi barang dagangan.”