Lokasi: Kota yang kini dipenuhi menara komunikasi, taman hijau, dan rumah-rumah sederhana yang rapi
Waktu: Pagi hari, di tengah rutinitas baru yang penuh semangat
Pagi dimulai dengan sinar matahari yang menyapu jalanan bersih. Anak-anak berlarian menuju sekolah berbasis teknologi, yang meski canggih, tetap mengajarkan etika dan filsafat hidup. Dion berdiri di depan gedung sekolah, menyapa murid-murid dengan senyum hangat.
> Dion: (tersenyum, sambil menunduk sedikit)
"Selamat pagi, anak-anak. Ingat, hari ini bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling berani bertanya."
---
Di klinik milik Naresha, antrian warga mulai tertata rapi. Meski alat-alat medis kini canggih dan otomatis, Naresha tetap memeriksa pasien satu per satu dengan sentuhan tangan hangatnya.
> Naresha: (dengan suara lembut, memeriksa pasien anak-anak)
"Teknologi ini hanya membantu. Tapi yang menyembuhkan tetap hati kita."
---
Di perpustakaan terbuka yang dibangun di taman kota, Lesmana duduk di bangku kayu sambil membaca buku tua. Beberapa remaja mendekatinya, membawa tablet digital untuk bertanya.
> Remaja:
"Pak Lesmana, kenapa kita tetap diajarkan filsafat kalau sekarang kita bisa belajar semuanya dari teknologi?"
Lesmana menutup bukunya perlahan, menatap mereka dengan senyum tipis.
> Lesmana:
"Karena filsafat bukan tentang tahu segalanya. Tapi tentang tahu bagaimana tetap menjadi manusia, bahkan saat semua jawaban sudah ada di genggaman."
---
Di pasar kota, Praja berjalan santai sambil membawa sekantong buah segar. Warga menyapanya dengan hormat namun santai, seperti teman lama. Seorang anak kecil berlari menghampirinya.
> Anak kecil:
"Pak Praja, kapan ajarin kami lagi tentang keberanian?"
Praja jongkok, menatap anak itu dalam-dalam.
> Praja:
"Keberanian itu bukan hanya soal melawan. Tapi juga soal berdiri tenang, meski kau takut."
---
Di sudut taman, Arven memperkenalkan alat komunikasi baru yang memungkinkan warga berkomunikasi lintas kota dengan mudah. Tapi dia mengingatkan mereka:
> Arven:
"Kita boleh bicara dengan siapa saja di dunia, tapi jangan lupa bicara dengan hati kita sendiri dulu."
---
Hari itu, meski penuh rutinitas, terasa seperti perayaan kecil:
Anak-anak pulang sekolah dengan wajah ceria.
Pasar kota ramai oleh tawa dan obrolan hangat.
Lampu taman dinyalakan bukan hanya untuk penerangan, tapi juga untuk memperindah malam.
Di atap gedung komunitas, Praja, Lesmana, Naresha, Lysandra, Dion, dan Arven duduk bersama, menatap bintang-bintang. Tidak ada pidato, tidak ada janji muluk, hanya senyuman kecil yang seolah berkata:
> "Kita mungkin hanya manusia biasa. Tapi kita memilih untuk menjadi manusia yang tidak lupa apa artinya hidup."