"Ngomong-ngomong, pria itu mengaku namanya siapa?" tanya Rosa.
"Sandi," jawab Mika.
"Sandi?" Alis Rosa berkerut, matanya melirik ke atas, ia mencoba mengingat nama yang nyaris terlupakan. "Sepertinya, aku pernah mendengar nama itu."
"Memang. Dan aku jauh-jauh datang kemari buat melupakan orang itu, meski sementara."
"Aaah! Sekarang aku ingat. Itu kan nama bosmu yang selalu kamu sebut namanya setiap kita video call." Rosa tertawa terbahak-bahak.
"Mentang-mentang dia yang menggajiku, dia selalu mengusiliku." Mika berdengus sebal.
"Bocil sialan yang memaksa semua pegawai manggil dia dengan sebutan 'tuan muda'. Aku ingat kamu pernah memakinya dengan sebutan 'bocil sialan'."
"Mentang-mentang dia masih SMA dan usia semua pegawainya lebih tua dari dia, dia enggak mau dipanggil Dik, Mas, Kak, Bos." Kemudian Mika menirukan mimik wajah dan suara Sandi. "Sebut aku, Tuan Muda yang paling tampan." Mika menghela napas kasar, kepalanya bergeleng-geleng. "Dia cuma mengelola restoran kecil tapi lagaknya kayak anak raja. Dasar bocil sialan!"
Rosa tak berhenti tertawa karena emosi Mika selalu membara setiap menceritakan tentang bosnya.
"Aku bekerja di restoran itu diterima sebagai koki. Tapi, enggak ada satu pun dari masakanku yang diberikan ke pelanggan. Dia selalu menyuruhku membuatkan susu, merapikan tempat kerja, menjemput dia di sekolah, bahkan aku disuruh mengerjakan tugas rumahnya." Mika melanjutkan ceritanya.
"Sebagai orang yang lebih dewasa, maklumi lah kalau dia masih kekanakan," bujuk Rosa.
"Selama dua tahun aku bekerja dengannya, yang manusiawi dari kepemimpinannya hanya soal gaji. Seenggaknya, dia menggajiku lebih tinggi dibandingkan restoran atau kafe kecil lainnya."
"Wuah! Kamu hebat banget, ya. Enggak berasa dua tahun berlalu sejak awal bekerja di sana. Padahal kamu berkali-kali menulis surat pengunduran diri sebelumnya."
"Pada akhirnya, manusia akan tunduk pada uang. Tapi, kalau cek 200 juta itu nyata, aku akan berhenti bekerja beneran. Aku akan fokus menulis novelku dan menghasilkan uang tambahan dari itu."
"Bosmu pasti akan merasa kehilangan banget." Rosa berdecak dengan kepala bergeleng-geleng.
"Masih ada banyak orang yang tunduk dengan uangnya. Kehilangan satu orang saja, enggak akan membuatnya merasa kehilangan."
-oOo-
Delapan bulan kemudian ....
Kelas selesai. Dosen yang memberikan materi keluar, para mahasiswa berhamburan. Begitu pun dengan Mika. Ia berjalan cepat agar segera lenyap dari pandangan Sandi. Ia masih terkejut. Pria yang dengan susah payah ia jauhi, kini malah satu kelas. Ia harus bertemu dengan Sandi setiap hari. Sialnya, Sandi duduk tepat di kursi belakangnya.
"Sepertinya, besok aku harus pindah kursi," gumam Mika.
Sesampainya di dekat pintu gerbang, Mika menoleh ke belakang, ia tidak menemukan bayangan Sandi. Mika menghentikan langkahnya lalu mengembuskan napas lega.
"Mau pulang bareng, Mika?"
Mika terperanjat. Tiba-tiba Sandi sudah berdiri di sampingnya.
"Enggak usah, Sandi. Lagipula, arah rumah kita berbeda," tolak Mika.
Sandi mengarahkan telunjuk. "Oh! Sudah enggak panggil pakai sebutan Tuan Muda lagi!"
"Kamu sudah bukan bosku lagi, tahu! Aku bebas menyebutmu pakai nama saja."
Mika melanjutkan langkahnya. Sandi mengikuti di samping.
"Iya, sih. Sekarang kita teman sekelas." Perhatian Sandi terarah ke langit pagi yang sangat cerah. Ia kuliah mengikuti sesi pagi.
"Seharusnya, justru kamu yang panggil aku 'Kak' atau 'Mbak'. Karena umurku dua tahun lebih tua darimu."
"Males. Cuma selisih dua tahun doang."
"Itu memang sifatmu dari dulu, selalu bertingkah seenaknya."
Tiba-tiba Mika teringat keinginannya dari dulu. Langkahnya berhenti. "Oh, ya. Sebenarnya aku ingin mengatakan ini dari dulu, sejujurnya sebutan 'Tuan Muda' itu terlalu berlebihan. Berhenti bersikap kekanakan dan belajarlah lebih dewasa. Dasar bocil sialan!"
Setelah memaki, Mika berlari. Kemudian menaiki angkot yang searah dengan perjalanan pulang.
Sandi kehilangan bayangan Mika. Ia tersenyum. Hatinya merasa lega. "Kamu sudah enggak nahan emosimu lagi. Tapi, itu yang membuatmu jadi semakin menarik, Mika," gumamnya.
-oOo-
Toko buku agak ramai sore ini karena adanya Meet and Greet bersama Mika, atas kesuksesannya di novel terbaru yang ia berikan judul: Bertemu Mr. Black Lagi.
Setelah mengobrol banyak hal seru dengan host, tibalah sesi tanya jawab.
Seorang penggemar yang mendapatkan kesempatan mulai bertanya, "Kak Mika. Aku suka banget dengan karakter Mr. Black. Sebenarnya Kakak terinspirasi dari mana, sih?"
Mika mengambil mikrofon. Ia pun menjawab, "Aku terinspirasi dari temanku. Aku pernah bertemu teman yang sempurna seperti Mr. Black. Tapi, sekarang aku sudah enggak bertemu dia lagi."
Penggemar kedua memberikan pertanyaan selanjutnya. "Bukankah sebelumnya Kak Mika hanya menulis novel bergenre fiksi remaja. Kenapa tiba-tiba berubah genre ke romantis dewasa?"
Mika diam sejenak, ia memikirkan jawaban. "Awalnya, novel ini juga bergenre fiksi remaja. Tapi, karena aku menemukan sebuah ide unik dan tidak bisa diterapkan pada anak sekolah, jadi aku merubah semua."
"Wuah. Kak Mika enggak salah mengambil keputusan. Cerita dalam novel ini adalah yang paling menarik dari novel-novel sebelumnya."
Mika tersipu malu.
Giliran penggemar ketiga melontarkan pertanyaan. "Apa ada alasan tertentu yang membuat Kakak memutuskan untuk menuliskan cerita dalam novel ini?"
"Ada." Jawaban Mika menarik rasa penasaran dari seluruh penonton. "Sebenarnya, aku ingin bertemu Mr. Black lagi. Aku kehilangan dia. Jadi, aku menuliskan tentang dia di dalam novel ini. Agar dia tahu kalau aku masih menunggu dia."
"Wuah! Kakak romantis sekali. Pasti bukan teman biasa. Mantan pacar, kah?"
"Bukan mantan pacar. Tapi, aku masih menyukainya."
Tepuk tangan riuh. Obrolan kali ini sangat menarik perhatian banyak orang, termasuk pria yang memerhatikan senyum Mika dari ujung ruangan.
-oOo-
Mumpung masih di toko buku, Mika berniat untuk membeli beberapa buku, sebagai referensi untuk novel barunya. Ia berselisih jalan dengan seorang pria yang membawa novel terbaru yang ia tulis. Langkah Mika terhenti. Ia sempat menempel ke rak buku. Tiba-tiba ia merasa penasaran. Ia ingin mendengarkan sedikit komentar pria itu terhadap bukunya.
Pria itu tengah membayar. Terdengar suara kasir bertanya, "Suka baca novel ya, Pak?"
"Sebenarnya, aku sudah lama enggak baca novel," jawab pria itu.
"Pasti ada yang menarik dari novel ini. Sampai bikin Anda baca novel lagi."
Pria itu tertawa lirih. "Aku hanya penasaran apa novel ini menceritakan seseorang yang aku kenal."
Mika terpaku. Ia mulai teringat dengan suara tidak asing itu.
Suara itu ....
Telapak tangan Mika menyentuh dada, merasakan getaran yang bergerak cepat.
Mika berbalik untuk melihat pria itu. Sayangnya pria itu sudah lenyap dari meja kasir. Ia menoleh ke arah pintu keluar. Tampak punggung tegap terbalut jas hitam bergerak menjauh lalu lenyap dari pandangannya.
-oOo-