Malam telah larut tetapi Mika masih menatap lekat pesan yang dikirimkan Rosa. Tertulis nama Leonard Wiratama, diikuti alamat rumah yang berlokasi di perumahan elite termahal di Surabaya.
Ingatan Mika kembali ke kegiatan kemarin siang.
"Pasti ada yang menarik dari novel ini. Sampai bikin Anda baca novel lagi," tanya seorang kasir di toko buku.
Pria yang tengah membayar buku itu tertawa lirih. "Aku hanya penasaran apa novel ini menceritakan seseorang yang aku kenal."
Mika terpaku. Ia mulai teringat dengan suara tidak asing itu.
Suara itu ....
Ia juga teringat dengan bau parfum maskulin yang tak asing saat berselisih jalan dengan pria itu. Bau parfum itu langka. Ia yakin tidak salah mengenali.
Telapak tangan Mika menyentuh dada, merasakan getaran yang bergerak cepat.
Mika berbalik untuk melihat pria itu. Sayangnya pria itu sudah lenyap dari meja kasir. Ia menoleh ke arah pintu keluar. Tampak punggung tegap terbalut jas hitam bergerak menjauh lalu lenyap dari pandangannya.
Mika tidak menyerah. Ia berlari mengikuti pria itu. Sayangnya, ia kurang cepat. Pria itu telah memasuki mobil Rools Royce Ghost berwarna hitam, sehingga tak mendengar teriakan Mika.
"Tunggu!"
Sesampainya Mika di tepi jalan, mobil itu sudah melaju. Satu-satunya yang bisa Mika dapatkan hanya foto plat nomor mobil itu.
Mika teringat kalau Rosa memiliki saudara sepupu yang bekerja sebagai polisi. Mungkin ia bisa meminta bantuannya, sekali saja. Ia mengirimkan foto plat itu ke Rosa dengan menyisipkan sebuah pesan.
To Rosa:
Tolong bantu aku menemukan nama dan alamat pemilik plat nomor ini. Kamu kan punya saudara polisi.
Tak lama, balasan dari Rosa datang.
To Mika:
Enggak bisa segampang itu, Mika. Karena ini termasuk informasi pribadi yang dilindungi.
To Rosa:
Kamu bikin alasan apa, kek. Entah ketabrak, atau diteror, terserah, deh. Jadi, tolonglah aku. Ini soal hidup dan matiku.
To Mika:
Baiklah. Aku akan mencoba membujuknya. Tapi, kamu jangan berharap banyak.
Senyum tergores lebar di wajah Mika. Ia merasa lebih lega meski belum mendapatkan kepastian.
Setelah dua hari, barulah Mika mendapatkan informasi nama dan alamat pria itu.
"Leonard Wiratama." Mika membaca nama itu.
Terlintas keraguan di benaknya. Nama itu berbeda jauh dari yang dikenalkan pria yang ia kira bernama Sandi. Akan tetapi, dirinya juga memperkenalkan diri sebagai Rosa.
"Kamu saja bisa bohong. Bisa jadi, pria itu juga berbohong." Mika teringat ucapan Rosa.
Mika diliputi penasaran. Ia membuka laman google lalu mengetikkan nama itu di mesin pencari google.
Beberapa artikel yang berkaitan dengan nama itu bermunculan. Ia membuka profil pria itu. Mika terkejut. Ternyata pria itu bukan berumur 30 tahun, tetapi 40 tahun. Bukan selisih 10 tahun, tetapi 20 tahun. Dua kali lipat dari umur Mika, hampir seusia dengan mendiang ayah Mika.
"Tapi, kulihat-lihat dia enggak seperti ayahku. Apa karena dia terlalu tampan, ya?" gumam Mika. Ia terkesima dengan semua foto-foto Leo yang terpampang di sana. Posenya selalu keren, dingin, dan berkarisma.
Senyum di wajah Mika pecah ketika membaca perjalanan karir Leo. Ternyata Leo adalah hotelier sukses yang memiliki banyak vila dan beberapa hotel. Leo juga memiliki beberapa cabang kafe yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Bali.
"Dan lihat dirimu, Mika." Mika menatap pantulan wajahnya di layar laptop yang padam. "Kamu hanya seorang pengangguran yang hidup dengan sisa recehan uang yang diberikan pria itu." Wajah Mika berubah lesu.
Dua ratus juta yang baginya amat besar, ternyata hanya uang recehan buat Leo. Pantas pria itu menganggap uang pemberiannya hanya sedikit.
Mika masih ingat nama hotel tempatnya menginap di malam tahun baru. "Wira Grand Resort," Mika menyebut nama hotel itu. Sesuai dengan nama hotel milik Leo yang tertulis di profil.
"Pantas saja dia bisa membawaku menginap di suite seluas itu. Malah mungkin itu kamar tidurnya sepanjang hidup," gumam Mika.
Hati Mika pecah membaca status pernikahan Leo. Ternyata pria itu adalah duda. Namun, bukan statusnya yang membuat Mika merasa sedih, tetapi nama mantan istri Leo, Vivienne Almarosa, model papan atas yang kerap tampil di atas catwalk luar negeri. Wanita itu selain berwajah cantik juga memiliki bentuk tubuh yang estetik.
"Kehidupan macam apa ini? Aku bersusah payah mencari pria itu. Setelah menemukan, aku merasa enggak ada harapan. Karena dia bukan hanya berwajah tampan, tapi kaya raya, golongan kaum elite, dan mantannya sangat cantik." Mika berdengus lelah. Ia merasa putus asa.
Mika pindah ke atas ranjang. Ia malah tantrum di sana. Memukuli kasur dengan tangan dan kaki, lalu melempar punggungnya berkali-kali.
"Untuk bisa mendekati pria dengan value sebesar itu, setidaknya aku harus jadi Miss Indonesia. Sekali lagi, Miss Indonesia. Tapi, tinggi badanku saja cuma 155 cm. Mungkin aku akan langsung ditendang di pintu gerbang audisinya."
Mika mengembuskan napas panjang, seolah sisa tenaga terakhir dari jiwanya yang hampir menyerah.
"Aku merasa aku dan dia semakin jauh ...."
Tentu saja. Seperti langit dan bumi. Tunggu kiamat dulu baru mereka bisa bersatu.
"Memang enggak ada harapan. Baiklah, Mika. Jadilah orang yang sadar diri, orang yang tahu mana saatnya untuk maju dan mana saatnya untuk mundur."
-oOo-
"Dan sekarang adalah saatnya untuk maju!" gumam Mika, penuh tekad.
Mika berdiri di depan gerbang utama perumahan elite itu. Ia mengutuk dirinya sendiri yang nekad sampai sejauh ini.
"Sampai sejauh ini, kamu mau ngapain, Mika? Enggak mungkin juga kan, tiba-tiba kamu berkunjung ke rumahnya?" Sisi lain dalam diri Mika menyuruhnya untuk pulang.
Tiba-tiba Mika merasa tidak asing dengan tempat ini. Perlahan, ia mengingat kapan terakhir datang kemari.
"Ini kan perumahan elite tempat tinggal Sandi." Mika pernah kemari untuk mengantar Sandi pulang ketika masih bekerja di restoran Sandi.
Senyum terbit di sudut bibir Mika. Ia merasa memiliki alasan lain untuk datang kemari. "Benar juga. Aku datang kemari hanya untuk berjalan-jalan dan melihat sekitar. Aku enggak perlu berkunjung ke rumah pria itu."
Kaki Mika melangkah cepat mendekati pos keamanan yang dijaga dua satpam berseragam rapi.
"Saya ingin bertemu Sandi Raka W. Nomor C-11," kata Mika. Kemudian mengeluarkan KTP untuk pengecekan identitas.
"Mohon tunggu sebentar, kami hubungi Dik Sandi dulu," pinta salah satu satpam tersebut.
Tampak satpam itu tengah menghubungi tuan rumah selama beberapa saat. Kemudian menoleh ke Mika. "Mohon maaf, Mbak. Dik Sandi enggak ada di rumah dan enggak meninggalkan izin terima tamu hari ini. Jadi, kami belum bisa memberikan Anda izin masuk. Silakan tinggalkan nomor kontak, nanti kami sampaikan kalau Dik Sandi sudah pulang."
Seketika semangat dalam diri Mika runtuh. Ia baru ingat kalau Sandi masih di restoran dan mungkin pulangnya masih lama.