'Hei Ayah, lihat! Strawberry yang kita tanam memerah!" seruan seorang anak yang tengah berlari menuju kebun kecil yang penuh tanaman strawberry.
Malam itu, bulan bersinar terang, memancarkan cahaya kemerahan di langit cerah.
Ayahnya hanya tersenyum dan memperhatikan dari jauh, membiarkan anaknya sendiri menikmati kegembiraan menemukan buah strawberry yang ranum.
Sang ayah Menatap ke arah langit dan memperhatikan bulan dengan seksama, sesaat kemudian ia merasakan sesuatu yang bergejolak pada tubuhnya.
Dengan tergesa ia berlari kembali menuju rumahnya, meninggalkan anaknya seorang diri tanpa membuatnya sadar.
Sebuah rumah kecil diatas bukit yang di dominasi oleh kayu dan halaman yang cukup luas, itu menjadi tempat tinggal mereka berdua selama lebih dari 16 tahun lamanya.
tanpa menyadari apapun, anaknya hanya terus memusatkan perhatian pada apa yang ada dihadapannya.
Kebun strawberry kecil yang berbuah lebat itu kini tengah mengalami masa panennya dibawah sinar bulan purnama merah yang cerah.
Namun, langit malam yang cerah itu tidak bertahan lama, secara perlahan cahaya bulan mulai meredup, membuat dia kesulitan dalam melihat sekitarnya.
Kepalanya mendongak mencari bulan yang sedari tadi menjadi sumber cahayanya malam ini.
bulan yang bersinar itu kini tertutupi oleh awan gelap di langit, menciptakan kegelapan yang suram.
Membuatnya Merasakan keheningan yang amat dalam dari tempatnya berpijak, dia kemudian memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dan kembali pada sang ayah,barulah ketika itu dia menyadari bahwa sang ayah tidak berada di sekitarnya.
Ia pun kemudian memutuskan untuk kembali ke dalam rumahnya, dan mencari ayahnya.
Dengan langkah yang cukup besar, berharap dengan cepat mencapai tempat yang ia tuju.
Jalan menuju rumahnya itu menanjak membuatnya menjadi lebih mudah kelelahan.
Langkah yang awalnya besar pun perlahan mulai mengecil hingga kemudian terhenti di tengah jalan, padahal hanya tinggal sedikit lagi sampai anak itu tiba di rumahnya.
DUARR
Suara ledakan dahsyat mengguncang bumi. Tanah di bawah kaki anak itu bergetar hebat, diiringi angin kencang yang menerjang tubuhnya hingga terpelanting. Sesuatu terjadi dengan begitu cepat. Beberapa detik lalu ia masih berlari riang di depan ayahnya, detik berikutnya, dunianya berubah seketika.
Rumah yang ada dihadapannya dengan tiba tiba meledak dengan sangat meriah, membuatnya terkejut bukan main.
Puing-puing rumah berserakan, dengan asap hitam tebal membubung tinggi, menyelimuti segalanya dalam kabut pekat.
Bau anyir dan tanah hangus memenuhi udara, menusuk hidung dan paru-parunya.
Tubuhnya membeku, tak mampu bereaksi. Kejadian itu terlalu cepat, tak memberi waktu untuknya berlari, berteriak, bahkan menyelamatkan diri, apalagi untuk menyelamatkan ayahnya.
Waktu seakan berhenti. Hanya ada keheningan yang mencekam, diselingi suara retakan kayu dan gemuruh api yang melahap rumahnya.
Ia sendirian, terisolasi dalam kepulan asap hitam pekat, menyaksikan rumahnya dilahap api.
Air mata mengalir tanpa disadari, membasahi pipinya yang penuh debu. Di mana Ayahnya? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya, menghantui setiap denyut jantungnya yang berdebar kencang. Kehilangan dan keputusasaan mencengkeram hatinya yang masih polos.
Pandangannya tiba tiba hitam ketika seseorang tiba tiba datang dari arah belakang dan kemudian melemparkan kain hitam ke arahnya.
kain hitam itu menutupi seluruh tubuhnya hingga membuatnya tidak melihat apapun.
Tanpa penolakan apapun, dia hanya bediam diri di dalam balutan kain itu, keberanian yang dimilikinya seolah lenyap seketika.
Entah apa yang dilakukan orang yang baru tiba itu, dirinya yang tertutup oleh kain hanya bisa mendengar suara yang samar, dan tidak berminat untuk melihatnya sedikitpun.