BAB 5 : Jerat Gairah Sang CEO

— Paris, 2015

Elwiena berdiri di sudut ruang gala Hôtel Écarlate, jari-jarinya mencengkeram buku catatan hingga kertasnya kusut, napasnya tersengal di tengah gemerlap lampu kristal yang menyila rendah di atas kepala.

Cahaya memantul di lantai marmer, mencerminkan bayang gaun hitamnya yang membalut lekuk tubuhnya, pinggang ramping, dadanya penuh, paha yang tersembunyi di balik kain slit.

Tapi pikirannya tak ada di sana. Tanda lipstik merah di kereja Justin, pesan "J" di ponselnya—"Besok malam lagi? Miss you"—dan pertengkaran tadi menghantui, seperti luka yang terus berdarah.

Dia seharusnya fokus, mencatat nama klien, mengatur jadwal Tuan John, tapi matanya terus mencari pria itu, seperti ngidam yang tak bisa dia kendalikan.

John Xavier berdiri di ujung ruangan, setelan Armani hitamnya membalut tubuh atletisnya seperti kulit kedua, tapi yang menarik perhatian Elwiena adalah auranya, kharismatik,, berbahaya, seperti serigala di tengah domba.

Dia berbincang dengan seorang wanita: rambut pirang panjang, gaun hijau ketat yang nyaris tak menyisakan ruang untuk imajinasi, tumitnya tinggi, setiap geriknya penuh pesona yang terlalu disengaja.

Wanita itu tersenyum, tangan dengan kuku ngejrengah menyentuh lengan John, merasakan otot di balik jas, dan Elwiena menelan kuah, dadanya sesak tiba-tiba. Lagi, pikirnya, sarkasme batinnya pedas seperti apit. Pria ini tak pernah berhenti, ya Tuhan?

John menoleh, matanya cokelat menangkap Elwiena di kejauhan, dan dunia seketika terhenti. Tatapannya tajam, penuh tantangan, seperti di kaca penyekat kantor kemarin, seperti pagi di mansion saat dia dengan wanita lain.

Elwiena ingin memalingkan muka, ingin lari, tapi kakinya terpaku. John tersenyum, senyum predator yang membuat bulu kuduknya berdiri, lalu kembali ke wanita pirang, tangannya menyentuh pinggangnya, menariknya lebih dekat.

Wanita itu berbisik di telinganya, bibir merahnya menyapu cuping telinga John, dan Elwiena merasa perih yang tak bisa dijelaskan.

Kenapa aku peduli? pikirnya, jantungnya berdegup kencang. Dia cuma bosku. Pria yang tak tahu batas.

Tapi saat John menarik wanita itu ke lorong gelap di ujung ruangan, tangannya di punggungnya, langkahnya penuh kendali, Elwiena tak bisa menahan diri. Dia melangkah mengikuti, buku catatan masih digenggam, sepatu haknya berdetak pelan di marmer, hampir tenggelam dalam dentum musik jazz dari band di gala.

Lorong itu sempit, dindingnya berlapis kayu mahoni yang mengilap, lampu temaram menciptakan bayang-bayang yang menari seperti rahasia.

Elwiena bersembunyi di sudut, di balik pilar kecil, napasnya tertahan, tahu dia seharusnya pergi, tapi ada sesuatu rasa jijik, cemburu, atau tarikan aneh yang membuatnya tetap di sana, seperti lebah yang melihat api dan tak bisa menjauh.

John mendorong wanita pirang itu ke dinding, tangannya mencenceng pinggang, tubuh mereka saling menempel, begitu dekat hingga tak ada celah.

Wanita itu menggerang pelan, tangan dengan kuku merah menyentuh dada John, membuka kancing kemejanya, memperkenalkan kulit yang berkeringat di bawah cahaya redup.

Elwiena menutup mulut, jantungan tangan gemetar. Sangat gila, pikirnya, tapi suara lain di dalamnya, lebih gelap, lebih jujur, berbisik: Justin tak pernah begitu. Tak pernah membuatku merasa... hidup.

Jantungnya berdegup kencang, seperti drum tabuh yang tak bisa sabar.

John mengangkat rok gaun wanita itu ke atas, memperlihatkan paha pucat yang gemetar.

"Kau tahu apa yang kuinginkan, Claire," bisiknya, suaranya serak, penuh nafsu, saat tangannya merayap ke dalam, menggosok dengan perlahan tapi penuh tekanan.

Wanita itu, Claire, namanya terdengar di tengah erangannya, mengerang keras, kepalanya terhempas ke dinding, kuku merahnya mencakar bahu John, meninggalkan bekas merah.

"Lakukan, John, sekarang," desahnya, suaranya penuh keputusasaan, pinggulnya bergerak mencari lebih.

John terkekeh, suara itu rendah, penuh ejekan, saat dia membuka sabuknya dengan satu tangan, memperlihatkan bagian intimnya yang tegang, besar, berdenyut di bawah cahaya temaram.

Dia mengangkat kaki Claire, memposisikannya di pinggangnya, dan mendorong masuk dengan gerakan kasar, ritme cepat yang membuat dinding lorong bergetar.

"Kau suka ini, kan, jalang kecil?" katanya, suaranya penuh nafsu, mendorong lebih dalam, setiap dorongan disertai erangan Claire yang semakin liar, kakinya menggenggam pinggang John lebih erat.

Keringat menetes di leher John, otot punggungnya berkontraksi dengan setiap gerakan, rambut pirang Claire bergoyang setiap kali dia menghantam.

Dia menoleh sengaja ke sudut tempat Elwiena bersembunyi, matanya cokelat berkilat, seperti tahu dia di sana, seperti pertunjukan ini untuknya.

"Nikmati pemandangannya, Elwiena?" bisiknya, hampir tak terdengar

Tapi Elwiena merasa kata-kata itu ditujukan padanya. Wajahnya panas, dadanya sesak, tubuhnya gemetar, terjebak antara jijik dan hasrat yang tak dia akui. Dia tahu aku di sini, pikirnya, napasnya tersengal, tapi kakinya tak bergerak, seperti terikat oleh tali tak terlihat.

Adegan itu berakhir tiba-tiba. Wanita pirang, Claire, atau siapa pun namanya, mendesah panjang, tubuhnya ambruk di pelukan John, rambutnya kusut, gaunnya masih tersingkap.

John terkekeh pelan, menurunkan kakinya, merapikan sabuknya dengan gerakan santai, seperti baru saja tak menghancurkan dunia seseorang.

Dia membisikkan sesuatu, dan wanita itu tersenyum lemah, melangkah pergi dengan tumit yang berdetak tak stabil, menghilang ke ujung lorong. John berdiri di sana, rambut hitamnya sedikit acak, kemejanya setengah terbuka, napasnya masih berat, tapi matanya... matanya langsung mencari Elwiena.

Elwiena tersadar, buru-buru berbalik, sepatu haknya nyaris tersandung di lantai marmer. Dia melangkah cepat menuju ruang gala, buku catatan di tangannya gemetar, napasnya tak karuan.

Gila, gila, gila, pikirnya, sarkasme batinnya pahit. Aku ngapain di sana? Justin mengkhianatiku, dan aku malah jadi penonton pertunjukan John Xavier?

Tapi sebelum dia bisa mencapai meja catatan, sebuah tangan menahannya kuat, hangat, dengan aroma parfum kayu yang kini bercampur keringat.

"Elwiena," suara John rendah, serak, penuh godaan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Dia berdiri di belakangnya, terlalu dekat, napasnya menyapu lehernya, tangannya masih di lengan Elwiena, jari-jarinya menekan cukup untuk membuatnya terpaku. "Kau menikmati pemandangan tadi?"

Elwiena menegakkan kepala, menahan dorongan untuk menarik lengan. Dia berbalik, matanya bertemu dengan John, cokelat tajam yang seolah bisa melihat ke dalam jiwanya.

"Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, Tuan John," katanya, nada sarkastiknya pedas, tapi suaranya bergetar, mengkhianati kegelisahannya. "Kalau Anda butuh penonton, sewa teater. Saya hanya sekretaris."

John tertawa, suara itu rendah, sensual, menggema di lorong yang kini terasa terlalu sempit. Dia melangkah lebih dekat, wajahnya hanya sejengkal dari Elwiena, kemejanya masih setengah terbuka, memperlihatkan dada yang berkeringat, otot yang tegang.

"Jangan bohong, Elwiena," katanya, suaranya turun jadi bisikan, penuh ejekan yang membuat wajahnya panas. "Aku lihat kau di sana, di sudut, matamu tak bisa lepas. Apa yang kau pikirkan? Ingin tahu rasanya... jadi dia?"

Elwiena menelan ludah, jantungnya berdetak kencang, seperti ingin melompat keluar. "Anda gila," katanya, suaranya tegas, tapi ada getar yang tak bisa disembunyikan.

"Saya tidak punya waktu untuk permainan Anda. Cari mainan lain seperti yang tadi." Kata-katanya sengaja tajam, tapi John tak goyah, justru tersenyum lebih lebar, senyum predator yang tahu mangsanya sudah goyah.

Dia mencondongkan tubuh, bibirnya nyaris menyentuh telinga Elwiena, napasnya panas menyapu kulitnya.

"Kau bisa berbohong pada dirimu sendiri, Elwiena, tapi tidak padaku," bisiknya, suaranya penuh janji gelap.

"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan suatu saat, kau akan memintanya." Tangannya menyapu lengan Elwiena, gerakan itu singkat tapi penuh makna, lalu dia mundur, melangkah kembali ke ruang gala, meninggalkan Elwiena dengan napas tersengal dan jantung yang berdegup tak karuan.

Elwiena bersandar di dinding, tangannya menutup wajah, mencoba menenangkan diri.

Apa yang aku lakukan? pikirnya, sarkasme batinnya pahit. Justin mengkhianatiku, dan aku malah terjebak permainan pria ini?

Tapi bayang lorong itu, John, wanita pirang, tatapannya yang tahu dia di sana, mengikuti langkahnya seperti hantu.

Dan di sudut hatinya, ada perih yang tak dia akui: cemburu, atau mungkin keinginan untuk merasakan apa yang wanita itu rasakan. Aku harus berhenti, pikirnya, tapi suara John masih bergema, seperti tali yang menariknya lebih dalam ke jurang.

***

Malam itu, Elwiena pulang ke apartemen dengan kepala penuh kabut. Gala sukses, John memikat klien, tapi dia tak bisa mengusir rasa bersalah atau getar aneh yang muncul setiap kali John mendekat.

Apartemen gelap, Justin tak ada, hanya piring kotor di wastafel dan bau alkohol yang samar. Dia ambruk di sofa, ponselnya bergetar dengan pesan dari Samantha, ibu Justin: "Elwiena, kapan aku dapat cucu? Kalian sudah tiga tahun menikah. Apa kau bermasalah?"

Elwiena menutup mata, perih di dadanya membesar.

Kilas balik lain melintas dua tahun lalu, saat dia dan Justin ke dokter kandungan. Elwiena tak kunjung hamil, dan keluarga Justin mulai berbisik, menuduhnya mandul.

Di rumah sakit, dokter menjelaskan hasil lab: Elwiena sehat, subur, tapi Justin menderita Oligospermia yang artinya jumlah spermanya rendah. "Masih ada peluang kehamilan," kata dokter, "dengan bantuan teknologi."

Tapi Justin tak ikut saat itu, terlalu sibuk, dan saat Elwiena pulang, Justin menuduhnya bermasalah. "Kau yang tak bisa memberiku aku anak, El," katanya, nadanya pahit.

Elwiena tak membantah. Dia menyimpan rahasia itu, membiarkan Justin menuduhnya, karena dia mencintainya, atau begitu dia pikir.

Kini, dengan pesan "J" dan tuduhan Justin, dia bertanya: apa yang tersisa dari cinta itu?

Dia bangkit, membuka lemari, dan menemukan kemeja Justin di keranjang cucian. Ada tanda lipstik merah di kerahnya, bukan warna yang dia pakai. Jantungnya tenggelam, tangannya gemetar saat memegang kain itu.

Siapa wanita ini? Dan berapa lama Justin sudah mengkhianatinya?

Apa yang Justin sembunyikan di balik tanda lipstik itu? Dan mengapa Elwiena tak bisa mengusir bayang John Xavier, bahkan saat dunianya mulai runtuh?