— Paris, 2015
Elwiena berdiri di dapur apartemen kecil mereka di Rue des Murmures, tangannya masih memegang kemeja Justin, tanda lipstik merah di kerahnya seperti noda darah yang tak bisa dihapus.
Cahaya lampu neon di atas kepalanya berkedip pelan, mencerminkan bayang wajahnya yang pucat di wastafel penuh piring kotor. Jantungnya berdetak kencang, napasnya tersengal, seperti seseorang yang baru saja lari dari kejaran.
Siapa wanita ini? Berapa lama Justin sudah mengkhianatinya? Dan mengapa, setelah tiga tahun pernikahan, dia merasa seperti orang asing di rumah yang dulu penuh janji?
Pintu depan berderit, dan Justin melangkah masuk, kemejanya kusut, rambut cokelatnya acak-acakan, bau alkohol samar mengikuti langkahnya.
Dia membeku saat melihat Elwiena, kemeja di tangannya, matanya cokelat penuh kemarahan yang terpendam.
"Kau belum tidur?" katanya, suaranya rendah, tapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Elwiena menegakkan kepala, tangannya mencengkeram kemeja lebih erat.
"Siapa dia, Justin?" tanyanya, suaranya tegas, tapi bergetar di ujung.
"Lipstik ini bukan punyaku. Dan pesan 'J' di ponselmu—'miss you,' katanya. Jangan bilang itu teman biasa." Kata-katanya tajam, seperti pisau yang dia arahkan pada pria yang dulu bersumpah menjaganya.
Justin melirik kemeja, matanya hazel menyipit, penuh perhitungan.
"Kau menggeledah barangku sekarang, El?" katanya, nadanya dingin, penuh tuduhan. "Hebat. Kau yang pulang larut dengan gaun ketat, menari dengan bosmu di gala, tapi aku yang kau tuduh? Lipstik itu... mungkin dari bar. Mungkin seseorang sengaja menyenggolku, entah siapa."
Elwiena tertawa pahit, suaranya pecah. "Kau pikir aku bodoh?" katanya, melangkah mendekat, kemeja di tangannya seperti bukti kejahatan.
"Kau pulang bau alkohol setiap malam, bermain game seharian, dan sekarang lipstik ini? Pesan 'J'? Kau bohong soal pemecatanmu, kan? Bukan hanya pengurangan pegawai. Apa lagi yang kau sembunyikan, Justin?"
Justin menatapnya, wajahnya hanya sejengkal darinya, matanya penuh kemarahan. "Kau yang berubah, El," katanya, suaranya rendah, penuh ancaman. "Kau pikir aku tidak melihat caramu dengan John Xavier? Gaun itu, senyum itu yang kau berikan, kau menikmati perhatiannya, kan? Jangan munafik. Kau yang main api, tapi aku yang kau bakar."
Kata-kata itu seperti tamparan, membuat Elwiena terhuyung. Dia menatap Justin, matanya berkaca-kaca, tapi dia menolak menangis.
"Aku bekerja untuk kita," katanya, suaranya bergetar. "Aku menahan ego John, tugas-tugas anehnya, demi tagihan yang kau abaikan. Tapi kau... kau lari ke bar, ke wanita ini, siapa pun dia. Aku hanya ingin kebenaran, Justin. Apa kau masih suamiku?"
Justin membeku, tapi tak menjawab. Dia berbalik, meraih jaketnya, dan melangkah ke pintu. "Aku butuh udara," katanya, suaranya dingin. "Kita bicara nanti."
Pintu ditutup dengan keras, meninggalkan Elwiena dalam keheningan yang menusuk. Dia ambruk di lantai dapur, kemeja Justin jatuh dari tangannya, air mata akhirnya tumpah.
Dia ingin menjerit, ingin lari, tapi ke mana?
Bayang John Xavier, matanya yang penuh godaan, sentuhannya di gala, kegiatanya dengan wanita berambut pirang itu, muncul tanpa diundang, seperti racun yang meresap ke nadinya.
***
Pagi itu, Elwiena melangkah ke kantor Xavier Group di Boulevard des Étoiles, matanya sembab di balik riasan tipis, gaun kerjanya sederhana tapi tak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya. Dia duduk di meja sekretaris, mencoba fokus pada jadwal John, tapi pikirannya kacau.
Tanda lipstik, pesan "J," tuduhan Justin, semuanya berputar seperti badai. Dia membuka laptop, mengetik dengan tangan gemetar, tapi suara pintu ruang John terbuka, dan dia tahu, tanpa menoleh, bahwa pria itu sedang menatapnya.
"Elwiena," kata John, suaranya rendah, lembut, seperti beludru yang menyembunyikan pisau.
Dia berdiri di ambang pintu, Matanya cokelat, tajam, menelusuri wajah Elwiena, singgah di bibirnya, lalu naik lagi, penuh godaan. "Kau terlihat... lelah. Apa kau melalui malam yang berat?"
Elwiena menegakkan kepala, menahan dorongan untuk menyilangkan tangan. "Saya baik-baik saja, Tuan," katanya, nada sarkastiknya pedas, tapi ada kerapuhan di suaranya yang tak bisa disembunyikan. "Atau Anda punya tugas baru? Membeli anggur untuk tamu Anda yang berikutnya, mungkin?"
John terkekeh, suara itu rendah, sensual, menggema di ruangan yang terlalu sunyi. Dia melangkah masuk, tangannya menyapu tepi meja Elwiena, jari-jarinya nyaris menyentuh tangannya.
"Kau belajar cepat, Sekretaris Elwiena," katanya, suaranya turun jadi bisikan. "Tapi hari ini, aku butuh kau untuk sesuatu yang lebih... dekat. Makan siang bisnis di Café L'Ombre, pukul satu. Klien penting. Dan aku ingin kau di sisiku."
Elwiena menelan ludah, jantungnya berdetak kencang.
"Saya hanya sekretaris, Tuan John, bukan pendamping," katanya, suaranya tegas, tapi matanya tak bisa lepas dari John, dari cara dia menatapnya, seperti serigala yang tahu mangsanya sudah goyah.
John tersenyum, senyum predator yang membuat bulu kuduknya berdiri. "Kau lebih dari sekretaris, Elwiena," katanya, mencondongkan tubuh, wajahnya hanya sejengkal darinya, napasnya hangat menyapu pipinya.
"Dan kau tahu itu." Dia mundur, tapi sebelum kembali ke ruangannya, dia menoleh. "Jangan terlambat. Dan... kenakan gaun yang membuatku sulit fokus."
Elwiena menatap pintu yang tertutup, tangannya mencengkeram meja, napasnya tersengal. Dia harus menolak, harus menjaga jarak, tapi ada bagian dirinnya, tersembunyi, yang merasa hidup setiap kali John mendekat. Dan itu menakutkannya lebih dari apa pun.
***
Café L'Ombre, dua blok dari kantor, adalah tempat kecil dengan meja kayu dan lampu kuning yang hangat.
Elwiena duduk di sisi John, berhadapan dengan klien, pria tua dari perusahaan teknologi yang berbicara tentang merger. Dia mencatat, tangannya bergerak cepat di buku catatan, tapi perhatiannya terpecah. John, di sampingnya, terlalu dekat, lututnya sengaja menyentuh pahanya di bawah meja, gerakan itu halus tapi sengaja.
"Kau jadi pendiam hari ini," bisik John saat klien sibuk dengan ponselnya, suaranya rendah, hanya untuk Elwiena.
Tangannya bergerak di bawah meja, jari-jarinya menyapu punggung tangan Elwiena, gerakan itu singkat tapi penuh makna. "Ada yang mengganggumu, Sekretaris Elwiena?"
Elwiena menarik tangannya, menatap John dengan mata menyipit.
"Saya di sini untuk bekerja, Tuan," katanya, nada sarkastiknya pedas. "Kalau Anda ingin main-main, cari tamu Anda yang lain, seperti yang di gala." Dia sengaja menyebut wanita pirang itu, pertahanan terhadap getar yang menyebar di kulitnya.
John tertawa pelan, suara itu sensual, membuat klien melirik dengan bingung. "Kau cemburu, Elwiena?" katanya, suaranya turun jadi bisikan, matanya berkilat.
"Jangan khawatir. Mereka cuma pengalih perhatian. Tapi kau..." Dia mencondongkan tubuh, bibirnya dekat dengan telinganya. "Kau adalah sesuatu yang lain."
Elwiena menegakkan kepala, mencoba mengabaikan panas yang menyebar di wajahnya. "Saya bukan mainan Anda, Tuan," katanya, suaranya tegas, tapi ada keraguan di matanya.
John hanya tersenyum, mundur, dan kembali berbicara dengan klien, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi sentuhannya, suaranya, tetap menggantung, seperti tali yang mengikatnya lebih erat.
***
Sore itu, kembali di kantor, Elwiena menerima tugas baru dari John: memesan kamar di Hôtel Écarlate, suite penthouse, dengan anggur Chateau Margaux, perhiasan Tiffany, dan tentu saja pengaman Manix, ukuran besar.
Dia menatap email itu, jantungnya tenggelam. Untuk siapa kali ini? Wanita pirang dari gala, atau yang lain? Dan mengapa dia merasa perih setiap kali membayangkan John dengan mereka?
Pintu ruang John terbuka, dan seorang wanita masuk, wanita berambut cokelat, gaun biru ketat, tumitnya berdetak di lantai marmer.
Elwiena melirik, dadanya sesak. Wanita itu tersenyum, tangannya menyentuh lengan John saat mereka berjalan ke sofa kulit. Kaca penyekat terbuka, seperti kemarin, dan John menoleh ke arah Elwiena, matanya penuh tantangan, seolah berkata: Lihat aku. Rasakan ini.
Wanita itu duduk di pangkuannya, jari-jarinya membuka kancing kemeja John, dan Elwiena menunduk, tangannya gemetar saat menutup laptop.
Dia bangkit, meraih tasnya, dan buru-buru keluar. Di lorong, dia bersandar di dinding, napasnya tersengal. John Xavier, pria yang tak pernah puas, yang menjadikan wanita sebagai permainan, adalah bahaya yang tak bisa dia hindari.
Tapi kenapa dia tak bisa berhenti memikirkannya? Kenapa tatapannya, sentuhannya, membuatnya merasa hidup, lebih dari yang pernah Justin lakukan dalam tiga tahun?
***
Malam itu, Elwiena duduk di kafe kecil, menunggu Anna Grey. Dia butuh jawaban, butuh seseorang yang tahu rahasia Justin.
Anna tiba, wajahnya pucat, matanya gelisah. "El, maaf aku lama," katanya, suaranya rendah. "Aku... tak yakin harus bilang apa soal Justin."
Elwiena mencondongkan tubuh, jantungnya berdetak kencang. "Anna, tolong," katanya, suaranya tegas. "Aku tahu pemecatan Justin tak hanya pengurangan pegawai. Apa yang dia sembunyikan? Aku lihat lipstik di kemejanya, pesan dari 'J.' Aku perlu tahu."
Anna menunduk, tangannya mencengkeram cangkir kopi.
"El, aku..." Dia menarik napas, suaranya bergetar. "Justin dipecat karena penggelapan dana. Dia memanipulasi laporan keuangan Royal Liquiade, mengalihkan uang ke rekening pribadinya. Aku tahu karena aku di bagian yang sama. Tapi... dia mengancamku. Kalau aku memberitahukannya padamu, dia akan membongkar rahasiaku."
Elwiena membeku, jantungnya tenggelam. "Rahasia apa?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Anna menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku berselingkuh dengan manajer keuangan, dia bernama Alexander. Dia sudah punya istri dan anak. Justin tahu itu, dan dia bilang akan bongkar kalau aku sampai buka mulut. Aku tak mau kehilangan pekerjaanku, El. Maaf."
Elwiena menatap Anna, dunia terasa berputar. Justin, pria yang dia nikahi, tak hanya pengangguran, dia penutup, pengkhianat. Dan Anna, sahabatnya, menyimpan rahasia ini darinya.
"Kenapa kau tak cerita dari dari dulu?" katanya, suaranya pecah. "Kau tahu aku menderita selama ini, Anna."
Anna menunduk, air mata jatuh ke mejanya. "Aku takut, El. Tapi aku janji, aku akan mwmbantumu mencari bukti. Hanya saja... jangan bilang Justin tahu dari aku." Dia bangkit, buru-buru keluar, meninggalkan Elwiena dalam keheningan.
Elwiena menatap ponselnya, layar menyala dengan pesan anonim: sebuah foto Justin di bar, tersenyum dengan wanita berambut hitam, tangannya di pinggangnya.
Elwiena menutup mata, jantungnya hancur.
Siapa wanita ini? Dan berapa lama lagi dia bisa menahan godaan John Xavier, yang menunggu di sudut dunianya seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi?
Siapa wanita di foto itu? Dan apakah Elwiena bisa menahan hasrat yang tumbuh untuk John, atau akankah dia jatuh ke dalam jeratnya?