Kabut tipis menyelimuti pegunungan Tianlong pagi itu. Matahari perlahan menyembul dari balik puncak, menyebarkan cahaya keemasan yang membelai punggung-punggung batu dan pucuk-pucuk bambu. Angin pegunungan berembus lembut, membawa aroma tanah basah, embun, dan dedaunan hijau.
Di tepi tebing yang curam, seorang pemuda duduk bersila. Rambut hitam legamnya bergerak pelan tertiup angin, matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat. Wajahnya begitu tenang, nyaris tak bergeming, seperti batu kuno yang sudah ribuan tahun berdiri di sana.
Dialah Hei Yuze, pengembara yang dikenal aneh oleh penduduk desa di bawah. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, siapa keluarganya, atau apa tujuannya. Mereka hanya tahu satu hal: dia muncul entah dari mana setahun lalu, tinggal di pegunungan, dan sesekali turun untuk membantu orang sakit atau mengusir binatang buas.
Di dalam pikirannya, suara dalam dan serak terdengar, seperti suara arus sungai di malam hari.
“Yuze… kau masih di sini?”
“Pagi, Qiong.” Yuze menjawab dalam hati, tersenyum tipis.
“Aku sudah bilang, tak ada gunanya kau berdiam di sini. Dunia bawah sedang bergejolak.”
“Aku tahu. Tapi sesekali menikmati fajar itu penting.”
Qiong Ye mendengus pelan. Dia adalah entitas bayangan yang terikat dengan Yuze, makhluk tua yang sudah hidup ribuan tahun di antara celah-celah dimensi, diabaikan para dewa, ditakuti manusia, diburu para sekte. Tapi bagi Yuze, Qiong Ye lebih seperti teman lama yang cerewet daripada monster menakutkan.
Perlahan, Yuze membuka matanya. Sepasang mata berbeda warna—mata kanan hitam pekat, mata kiri keunguan berkilau samar. Mata itu adalah tanda dari ikatannya dengan Qiong Ye, sesuatu yang membuat para tetua sekte pernah berbisik:
“Dia bukan manusia biasa.”
Yuze bangkit perlahan, meregangkan tubuhnya yang lama duduk bersila.
“Hari ini aku turun ke desa,” katanya pelan.
“Kau mau beli teh lagi?” Qiong Ye bertanya, nada suaranya seperti mengejek.
“Bukan hanya teh. Aku juga mau menemui Xiaomei dan ayahnya.”
Dia melangkah turun melewati jalur kecil di tepi tebing. Jalur itu curam, hanya selebar telapak kaki, tapi Yuze melangkah dengan santai, seolah tubuhnya tak terpengaruh gravitasi. Sesekali dia memegang dahan bambu atau batu kecil, bukan karena perlu, tapi hanya karena kebiasaan.
Di kejauhan, suara ayam berkokok terdengar samar. Desa Huaqing mulai bangun. Asap tipis mengepul dari atap rumah, cahaya lentera satu per satu padam, digantikan cahaya matahari pagi.
Begitu Yuze mendekati batas desa, seorang gadis kecil berlari ke arahnya.
“Paman Hei! Paman Hei!” teriaknya dengan riang.
Yuze tersenyum. “Pagi, Xiaomei.”
“Ayah sudah bisa jalan lagi! Obatmu manjur sekali, Paman!”
Yuze mengusap kepala Xiaomei lembut. “Bagus. Bilang pada ayahmu, jangan dulu bekerja berat. Biar kakinya pulih sempurna.”
“Siap, Paman!” Xiaomei mengacungkan jempol, matanya berbinar.
Di balik interaksi itu, Qiong Ye berbisik pelan,
“Kenapa kau selalu repot dengan urusan manusia kecil?”
Yuze menjawab dalam hati, sambil melangkah pelan menuju desa,
“Karena mereka satu-satunya yang tak takut padaku.”
Di desa, para penduduk mulai menyapa Yuze. Ada yang melambaikan tangan, ada yang hanya menundukkan kepala dengan hormat. Sebagian masih memandangnya dengan rasa canggung, takut-takut. Tapi kebanyakan sudah terbiasa dengan kehadirannya. Meski aneh, Yuze selalu membantu saat mereka butuh.
Di kedai teh tua milik Paman Zhi, Yuze duduk di bangku kayu, memesan secangkir teh hijau panas.
“Pagi yang bagus, Hei Yuze,” sapa Paman Zhi sambil tersenyum.
“Pagi, Paman Zhi. Seperti biasa, teh hijaunya ya.”
Qiong Ye mendesah.
“Kau manusia aneh. Kau bisa menghancurkan gunung, membelah langit, tapi kau duduk di sini, minum teh.”
Yuze tersenyum tipis. “Justru karena aku bisa, aku memilih tidak melakukannya.”
Di kejauhan, awan gelap mulai berkumpul perlahan, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Tapi Yuze merasakannya. Ada sesuatu yang mendekat.
Untuk saat ini, dia masih bisa menikmati teh paginya.
Untuk saat ini, dunia masih diam.
Tapi dia tahu… itu tak akan bertahan lama.