Aroma teh hijau hangat mengepul dari cangkir tanah liat. Yuze meniup pelan, menghirup uapnya dalam-dalam, lalu menyeruput sedikit. Rasanya pahit ringan di ujung lidah, lalu perlahan manis begitu melewati tenggorokan.
Paman Zhi duduk di seberangnya, mengelap meja kayu tua yang sudah retak-retak di beberapa sudut.
“Jadi, Yuze… kau dengar kabar dari kota?” tanyanya perlahan.
Yuze menoleh, menaikkan sebelah alis. “Kabar apa?”
Paman Zhi mengerling ke jendela, memastikan tak ada telinga lain di sekitar.
“Katanya, Sekte Darah Ungu mengirim utusan ke arah sini. Mereka mencari seseorang.”
Yuze diam sejenak. Ujung jarinya mengetuk pelan permukaan cangkir.
“Apa mereka bilang siapa yang mereka cari?”
Paman Zhi menggeleng. “Tidak. Tapi mereka memeriksa tiap desa kecil, bahkan memeriksa keluarga sederhana seperti kami.”
Dalam hati, suara Qiong Ye terdengar dingin,
“Mereka mencarimu, tentu saja.”
Yuze tak menjawab, hanya menyeruput tehnya pelan.
Xiaomei berlari masuk ke kedai, wajahnya berseri. “Paman Hei! Mau lihat sesuatu?”
Yuze tersenyum. “Apa itu, Xiaomei?”
Gadis kecil itu menarik tangannya, menggiringnya keluar kedai menuju pinggir desa.
Di sana, anak-anak lain berkumpul, memandangi sebuah burung kecil dengan bulu putih yang tersangkut di ranting. Sayapnya terluka, darah kecil membasahi bulu halusnya.
“Kasihan, Paman… bisa disembuhkan?” tanya Xiaomei, matanya berkaca-kaca.
Yuze berjongkok, mengulurkan tangannya. Burung kecil itu gemetar pelan, tapi tak menolak ketika ia pegang.
Dengan jemari halus, Yuze memusatkan sedikit energi. Sinar samar keunguan melingkupi tangan dan tubuh burung itu. Luka di sayap perlahan menutup, darah berhenti mengalir, bulu-bulunya kembali rapi. Burung kecil itu berkicau pelan, lalu mengepakkan sayapnya, terbang pelan ke langit.
Anak-anak bertepuk tangan, bersorak riang. Xiaomei melompat kecil, memeluk lengan Yuze.
“Paman Hei hebat sekali!” katanya, tertawa.
Yuze tersenyum. “Aku hanya membantu sedikit. Alam yang menyembuhkan.”
Di dalam pikirannya, Qiong Ye mendengus pelan.
“Kalau mereka tahu siapa kau sebenarnya, anak-anak itu akan lari ketakutan.”
Yuze hanya menjawab dalam hati,
“Aku tak ingin mereka tahu. Biarkan mereka melihatku seperti ini.”
Saat sore mulai turun, langit memerah, dan bayangan panjang menjalar di tanah, Yuze kembali duduk di tepi kedai teh, menikmati langit senja. Paman Zhi duduk di sampingnya, menyeruput cangkir sendiri.
“Kau selalu tenang, Yuze,” gumamnya. “Padahal aku tahu kau menyimpan sesuatu yang besar di dalam dirimu.”
Yuze melirik sekilas. “Kau tak salah, Paman Zhi.”
“Yah, kalau kau butuh tempat sembunyi, kedai ini selalu terbuka untukmu.”
Suasana hening sebentar. Angin senja membawa suara bel lembu dari kejauhan, dan suara anak-anak bernyanyi sambil berlari pulang.
Lalu, samar-samar, Yuze merasakan sesuatu.
Satu… dua… tiga titik energi asing mendekat.
Kuat. Licik. Mematikan.
“Qiong,” bisiknya pelan.
“Aku merasakan mereka juga.”
“Berapa lama?”
“Mungkin satu jam sebelum mereka tiba.”
Yuze menghela napas, meneguk sisa teh dalam cangkirnya, lalu berdiri perlahan.
“Aku akan berjalan-jalan sebentar, Paman Zhi,” katanya.
Paman Zhi hanya mengangguk, seperti biasa. “Hati-hati di jalan.”
Yuze melangkah keluar desa, ke jalur berbatu menuju bukit kecil di pinggir hutan.
Di sana, di bawah cahaya senja, dia berdiri diam, memandang ke arah jalan utama.
Bayangan tiga sosok muncul di kejauhan. Mereka berpakaian ungu tua, simbol Sekte Darah Ungu bersulam di dada mereka. Mata mereka memancarkan cahaya merah samar, wajah mereka tertutup kain hitam.
Yuze menurunkan sedikit tudung jubahnya, membiarkan mata anehnya terlihat.
Qiong Ye tertawa pelan di dalam kepalanya.
“Kau sudah lama tak memanaskan tubuhmu, Yuze. Apa kau siap?”
Yuze mengangkat tangannya pelan, udara di sekelilingnya mulai bergetar halus.
“Sudah waktunya.”
Sinar senja memercik di mata keunguan itu, seperti cahaya terakhir sebelum malam tiba.
Dan di antara bayangan dan cahaya, Raja Tanpa Mahkota bersiap menghunus kekuatannya.