Langkah-langkah kaki itu terdengar pelan, tapi di telinga Yuze, mereka terdengar seperti ketukan genderang perang.
Debu tipis mengepul setiap kali sepatu para utusan itu menyentuh tanah berbatu. Tiga sosok berjubah ungu gelap mendekat, wajah mereka tersembunyi, aura membekukan mengalir dari tubuh mereka.
Yuze berdiri diam di bukit kecil, pandangannya tajam menatap mereka.
“Tidak biasanya Sekte Darah Ungu mengirim pemburu sekelas ini untuk desa sekecil Huaqing,” gumamnya pelan.
Di dalam pikirannya, Qiong Ye mendecih pelan.
“Mereka mencium kekuatanmu, tentu saja. Anak bodoh. Kau pikir bisa selamanya bersembunyi?”
Yuze menghela napas tipis.
“Aku hanya ingin hidup tenang…”
“Sayangnya, takdir tak pernah mau tenang.”
Salah satu pemburu berhenti sekitar lima belas langkah dari Yuze. Dia mengangkat tangannya, melambai kecil.
“Orang asing,” katanya dengan suara berat, “kami mencari seorang pengembara dengan mata keunguan. Kau mengenalnya?”
Yuze menaikkan sebelah alis.
“Kalau aku jawab tidak, apa kalian akan pergi?”
Pemburu itu tertawa pelan.
“Tidak.”
Yuze tersenyum tipis.
“Kalau begitu, aku juga tak perlu menjawab.”
Angin sore berhenti berhembus. Daun-daun berhenti bergoyang. Seperti alam pun ikut menahan napas.
Tanpa aba-aba, pemburu pertama melompat maju, tangan kanannya bersinar merah, menciptakan lingkaran api yang memanjang seperti cambuk.
Yuze menggerakkan dua jarinya. Cahaya tipis keunguan melesat, memotong cambuk itu sebelum sempat menyentuhnya. Api padam seketika.
Pemburu kedua melompat dari samping, pedang tipis di tangannya menyapu udara, memotong bayangan di tanah.
Yuze melompat ringan ke belakang, mendarat di batu besar, lalu mengulurkan tangan.
“Qiong…” bisiknya.
“Sudah waktunya, kan?”
“Akhirnya! Sudah bosan tidur di kepalamu, Yuze.”
Dari dalam tubuh Yuze, gelombang energi hitam bercampur ungu keluar, membentuk pola aneh di udara.
Tanah bergetar pelan. Batu-batu kecil melayang naik. Udara memanas, lalu mendingin, seolah tak pasti harus tunduk pada kekuatan mana.
Pemburu ketiga, yang berdiri paling belakang, mundur setengah langkah, matanya membelalak.
“Bukan… bukan hanya kultivator biasa…” bisiknya gemetar.
Yuze melangkah maju. Satu langkah… dua langkah…
Setiap langkahnya membuat tanah di bawah kaki retak halus.
“Kalian salah datang,” gumam Yuze pelan.
Senyum tipisnya kini berubah dingin, matanya menyala terang.
“Aku bukan pengembara biasa. Aku bukan hanya kultivator. Dan aku bukan orang yang bisa kalian buru.”
“Aku adalah Raja Tanpa Mahkota.”
Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dari pandangan.
Satu detik berikutnya, pemburu kedua terlempar puluhan meter, menghantam batang pohon besar hingga patah.
Pemburu pertama sempat melihat bayangan ungu sebelum dadanya terasa dihantam palu, membuatnya terpental mundur.
Pemburu ketiga menggigit bibirnya, mencoba merapal mantra pertahanan.
Terlambat.
Tangan Yuze sudah berada di depan wajahnya.
Sentuhan pelan, seperti angin.
Lalu… energi hitam mengalir cepat, menyerap kekuatan si pemburu, meruntuhkan semua perlindungan dalam sekejap.
“Ma-maafkan kami…” gumamnya ketakutan.
Yuze menatapnya lama.
“Pergilah. Katakan pada tuanmu, aku belum siap ditemui. Tapi jika mereka memaksa…”
Dia menunduk sedikit, matanya menyala lebih terang.
“Aku akan datang sendiri.”
Pemburu itu tersungkur, gemetar, lalu bangkit dan berlari tunggang-langgang, meninggalkan dua rekannya yang terkapar.
Yuze menarik napas panjang, menenangkan energi dalam tubuhnya. Perlahan, cahaya keunguan itu memudar, dan dia kembali seperti pengembara biasa.
“Kau terlalu baik, Yuze,” gumam Qiong Ye di kepalanya.
“Aku hanya tak mau memulai perang sekarang…” bisik Yuze dalam hati.
“Cepat atau lambat, perang itu akan mencarimu sendiri.”
Yuze menatap langit yang mulai gelap, lalu berbalik, berjalan perlahan kembali menuju desa.
Angin malam berembus pelan, membawa bau rumput, tanah, dan ancaman yang belum berakhir.