Malam mulai turun di desa Huaqing. Cahaya lentera berkelip di sepanjang jalan kecil, sementara aroma sup herbal tercium dari rumah-rumah kayu.
Yuze berjalan pelan menyusuri jalan utama desa, mantel hitamnya berkibar ringan ditiup angin. Setiap orang yang dia lewati membungkuk hormat, walau mereka tak benar-benar tahu siapa dia.
Mereka hanya tahu satu hal: orang asing ini membawa aura yang tak boleh diganggu.
Di ujung jalan, sebuah rumah kayu tua berdiri. Ada papan nama kecil di depannya: “Kedai Teh Meilin.”
Yuze mendorong pintu pelan. Bunyi lonceng kecil terdengar.
“Ah, kau datang juga,” suara lembut menyapa dari dalam.
Seorang perempuan muda berdiri di belakang meja, rambut hitamnya diikat longgar, senyum hangat di bibirnya.
“Meilin,” gumam Yuze, “aku butuh teh yang kuat malam ini.”
Meilin tertawa pelan.
“Setiap malam kau bilang begitu, tapi tetap saja kau pulang terlambat.” Dia menyiapkan teko, aroma daun teh segar menguar memenuhi ruangan.
“Masalah lagi di luar?” tanyanya pelan sambil menuang air panas.
Yuze duduk di kursi dekat jendela, memandangi bulan separuh yang menggantung di langit.
“Tak bisa dihindari…” jawabnya singkat.
Dalam pikirannya, Qiong Ye berdecak.
“Kau terlalu santai. Aku bisa merasakan ada mata yang mengawasi kita dari gunung utara.”
Yuze tak bereaksi. Dia mengangkat cangkir tehnya, menyeruput perlahan. Kehangatan langsung menyebar di tenggorokannya.
“Aku tahu.”
“Lalu kenapa tak kau hajar saja mereka sekarang?”
“Aku sedang menikmati teh.”
Meilin mengamati wajah Yuze dengan senyum tipis. “Kau selalu seperti ini. Tenang di luar, tapi aku tahu di dalam kepalamu, badai selalu berputar.”
Yuze hanya menoleh sedikit, senyumnya samar.
“Kau terlalu pintar, Meilin.”
“Aku hanya cukup peka untuk tahu siapa yang sedang menyembunyikan sesuatu.”
Tiba-tiba, pintu kedai terbuka pelan. Seorang anak kecil berlari masuk, napasnya tersengal.
“Bibi Meilin! Kakak Yuze!” katanya cepat. “Kalian dengar suara di gunung tadi? Ada cahaya ungu besar sekali!”
Yuze memejamkan mata sebentar.
Dalam pikirannya, suara Qiong Ye terdengar lagi.
“Kau sudah terlalu lama duduk. Saatnya bergerak, Raja Tanpa Mahkota.”
Yuze bangkit perlahan, merapikan mantelnya. Dia mengacak rambut si anak kecil pelan.
“Terima kasih sudah memberitahuku.”
Lalu dia menoleh ke Meilin.
“Jagalah tempat ini. Aku akan pergi sebentar.”
Meilin menatapnya dalam, tapi hanya mengangguk pelan.
“Berhati-hatilah, Yuze.”
Dengan langkah ringan tapi pasti, Yuze melangkah keluar kedai. Angin malam menerpa wajahnya.
Di kejauhan, di puncak gunung utara, cahaya ungu menyala terang, menembus langit malam.
Yuze menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis.
“Baiklah… siapa pun kalian, mari kita bertemu.”
Dalam bayangannya, Qiong Ye tertawa rendah.
“Akhirnya, sedikit hiburan.”