Bab. 15 — Duel Tanpa Saksi

Bayangan hitam itu melesat, cepat seperti kilat tapi tak membawa suara. Yuze mengangkat tangan, membentuk segel:

“Perisai Cahaya, Tombak Bayangan!”

Dua kekuatan berbeda memancar sekaligus — tapi begitu menyerang bayangan itu, perisai langsung retak, tombak meleset.

Yuze melompat mundur, wajahnya mengernyit.

“Apa-apaan… aku bahkan tak bisa menyentuhnya…”

Kurama mendesis di pikirannya.

“Bocah, dia bukan musuh luar. Dia bagian dari dirimu. Teknik biasa takkan bekerja.”

Sosok bayangan tertawa pelan.

“Benar. Karena aku adalah… kau yang selama ini kau tolak. Dendammu, amarahmu, egomu. Semua yang kau sembunyikan di balik topeng ‘pahlawan’ itu.”

Yuze memejamkan mata.

Sejenak, semua terasa diam.

Meilin hendak maju, tapi Qiong Ye menarik lengannya.

“Jangan ganggu dia. Ini… pertarungan yang hanya dia yang bisa selesaikan.”

Yuze membuka mata perlahan.

“Naruto… Sasuke… aku pernah lihat ini. Di dunia lamaku. Pertarungan melawan bayangan diri sendiri.”

Dia mengatupkan tinjunya.

“Kurama, aku butuh kekuatanmu penuh.”

Kurama mengangguk dalam pikirannya.

“Ambil saja, bocah. Aku tidak akan tahan tangan. Tapi ingat: sekali kau lepaskan, kau tak bisa setengah hati.”

Yuze menarik napas dalam-dalam. Aura merah menyala liar, membentuk sosok rubah raksasa di belakangnya. Sementara itu, sosok bayangan juga mulai tumbuh — membentuk sosok seperti samurai hitam, bersenjata dua pedang kembar.

Dua kekuatan besar beradu tatapan.

“Kalau aku kalah, dunia ini berakhir,” bisik Yuze.

Bayangan tersenyum.

“Kalau aku kalah, kau akan kehilangan amarahmu. Kau yakin bisa jadi penguasa tanpa itu?”

Seketika, mereka berdua melesat maju.

Benturan pertama: tinju Yuze melawan pedang bayangan. Ledakan energi memecahkan tanah. Pohon-pohon di sekitar roboh. Lembah berguncang.

Kurama meraung keras, membantu Yuze melipatgandakan kekuatan. Tapi bayangan itu selalu satu langkah di depan — memotong jalannya, membaca serangannya, seolah tahu setiap langkah berikutnya.

Yuze mundur terengah-engah.

“Dia… dia aku… dia tahu semua rencanaku…”

Kurama berbisik, nadanya serius.

“Kau tak bisa menang kalau kau terus bertarung seolah dia musuh. Dia bukan musuh, bocah. Dia… dirimu.”

Yuze terdiam. Matanya perlahan melembut.

Bayangan mengangkat pedang, siap menebas.

Tapi Yuze menurunkan tangannya.

“Aku tak akan melawanmu.”

Bayangan berhenti.

“…Apa?”

Yuze mendekat, napasnya berat.

“Aku akan memelukmu.”

Bayangan tertawa pendek.

“Kau gila.”

Tapi sebelum bayangan bisa bergerak, Yuze melompat maju — bukan dengan pukulan, bukan dengan tendangan, tapi dengan pelukan erat.

“Aku menerima amarahku. Aku menerima kelemahanku. Aku menerima bagian gelapku…” bisik Yuze.

“Aku tak akan menyangkalmu lagi.”

Untuk sesaat, semuanya membeku.

Bayangan itu perlahan memudar, pedangnya jatuh ke tanah, lalu berubah menjadi cahaya hitam yang perlahan menyerap ke dalam tubuh Yuze.

Kurama tertawa lega.

“Kau berhasil, bocah… kau satu makhluk utuh sekarang.”

Meilin berlari menghampiri, memeluk Yuze dari belakang.

“Jangan pernah lakukan itu lagi… aku takut…”

Qiong Ye mendekat, mengangguk pelan.

“Kau sudah mengalahkan dirimu sendiri. Sekarang… apa langkahmu berikutnya, Raja tanpa Mahkota?”

Yuze memandang ke langit yang mulai pulih, retakan-retakan perlahan menutup.

“Aku akan membangun pasukan. Aku akan mempersiapkan dunia ini. Karena aku tahu… musuh sejati belum datang.”

Di kejauhan, dalam kegelapan yang lebih dalam dari malam, sosok berjubah berdiri, tersenyum kecil.

“Akhirnya… kau bangkit, Raja Bayangan dan Cahaya. Aku sudah lama menantimu…”