Udara retak. Setiap helai angin kini membawa aroma sengit peperangan.
Yuze melayang di udara, armor rubah berekor sembilan menyelimuti tubuhnya. Di kedua pundaknya, bentuk mini naga putih dan phoenix hitam bersinar redup, seolah baru saja selesai dipaksa tunduk.
Di bawahnya, Meilin dan Qiong Ye mendongak, wajah mereka pucat.
“Dia benar-benar… menyatukan kekuatan cahaya dan bayangan…” bisik Meilin, matanya berkaca-kaca.
Qiong Ye menekan pedangnya ke tanah, mencoba tetap tenang meski lututnya gemetar.
“Kalau dia jatuh… tidak ada yang bisa menghentikan bencana ini.”
Langit kini memperlihatkan retakan yang jauh lebih besar. Dari celah itu, muncul wajah-wajah raksasa: seorang dewa dengan mata emas bersinar, seekor naga kuno berwarna ungu, dan makhluk menyerupai singa bertanduk tiga. Suara mereka menggema seperti gemuruh badai.
“PEWARIS… KAU BELUM SIAP. HANYA KEMATIAN MENUNGGUMU DI SINI.”
Yuze mengatupkan rahang, aura merah membara dari tubuhnya.
Kurama mendesis dalam pikirannya.
“Bocah, aku beri kau satu trik. Jangan lawan mereka langsung. Segel. Perbudak. Baru lawan dewa.”
Yuze menarik napas dalam-dalam, menyatukan tangan di depan dada.
“Segel Empat Pilar: Cahaya, Bayangan, Jiwa, Kehampaan.”
Tanah di bawahnya bergetar. Empat pilar cahaya menjulang dari empat penjuru lembah, masing-masing memancarkan aura berbeda: satu putih bersih, satu hitam pekat, satu kebiruan transparan, satu keunguan bergelombang.
Dewa bermata emas terkejut.
“KITA TIDAK PERNAH AJARKAN MANUSIA SEGEL INI…!!”
Yuze tersenyum tipis.
“Aku bukan manusia biasa.”
Dia menghentakkan kedua tangannya, dan pilar-pilar itu memuntahkan tali cahaya dan bayangan yang membelit makhluk-makhluk besar dari langit. Phoenix hitam dan naga putih kecil di pundaknya melompat turun, membesar kembali ke bentuk raksasa, membantu menarik makhluk-makhluk itu ke tanah.
Meilin berteriak dari bawah.
“Yuze, kau gila! Itu kekuatan yang bahkan kaisar abadi tidak sanggup pegang!”
Yuze tertawa pelan.
“Makanya aku… Raja tanpa mahkota.”
Tubuhnya kini terasa berat. Setiap urat nadi seperti terbakar. Kurama mendorong kekuatannya lebih keras.
“Jangan tidur, bocah. Kalau kau pingsan sekarang, segalanya hancur.”
Yuze menggertakkan gigi, menatap langit.
“Kurama, bantu aku tekan mereka!”
Tiba-tiba, dari bayangannya sendiri, sosok-sosok kecil merangkak keluar: prajurit-prajurit bayangan, mirip pasukan Anbu tapi berjubah panjang, wajah tertutup topeng hitam putih. Mereka memanjat tali cahaya dan membantu menarik makhluk-makhluk besar jatuh ke bumi.
Satu demi satu, makhluk dari retakan itu jatuh tersungkur, mengerang marah. Dewa bermata emas meraung, tangannya mencoba merobek segel, tapi naga putih memutar tubuh, menggigit tangan raksasa itu. Phoenix hitam menghujamkan api gelap ke wajah sang dewa, memaksa mundur beberapa langkah.
Yuze turun perlahan ke tanah, lututnya bergetar. Meilin langsung memeluknya.
“Bodoh… kau tidak bisa tahan lama…”
Qiong Ye berdiri di samping mereka, matanya memperhatikan makhluk-makhluk besar yang mulai tunduk.
“Kalau kau berhasil menaklukkan mereka… apa kau benar-benar akan jadi penguasa dua dunia, Yuze?”
Yuze tersenyum lelah.
“Aku tidak peduli gelarnya. Aku hanya tidak mau… ada yang menindas dunia ini lagi.”
Di kejauhan, Kurama tertawa pelan.
“Bocah, kau gila. Tapi aku suka.”
Tiba-tiba, suara baru muncul — lembut tapi mengerikan, seolah membisik langsung ke dalam jiwa.
“Kalau begitu… bisakah kau melawan AKU?”
Dari bayangan Yuze sendiri, sosok tinggi kurus dengan mata merah menyala perlahan muncul. Bukan makhluk dari luar, bukan dewa, bukan naga, tapi sesuatu yang hidup di dalam bayangan dirinya sendiri.
Meilin mundur panik.
“Apa-apaan itu…?!”
Yuze menarik napas tajam.
“Kurama… apa kau tahu itu?”
Kurama mendengus.
“Itu… bagian dari dirimu, bocah. Sisi gelapmu yang kau kubur selama ini.”
Sosok bayangan itu tersenyum miring.
“Apa kau pikir kau bisa menjadi Raja tanpa mahkota… tanpa lebih dulu mengalahkan AKU?”
Yuze mengepalkan tinjunya, meski lututnya hampir rubuh.
“Kalau begitu… ayo kita selesaikan sekarang.”
Dan bayangan itu tersenyum lebih lebar, sebelum melesat ke arahnya — menandai pertarungan berikutnya, bukan melawan makhluk luar, tapi melawan dirinya sendiri.