Hari itu panasnya nggak main-main.
Langit biru terang benderang, matahari menyengat seperti dendam masa lalu. Lapangan basket terlihat seperti wajan, dan Han... lari terbirit-birit ke belakang kantin sambil menyeret Aldo, sahabatnya.
”Woi! Woi, Han! Gila lu! Itu anak-anak pada nungguin di lapangan, tahu!” teriak Aldo setengah ngos-ngosan.
”Tau! Tapi gue ogah main siang bolong! Ini panasnya kayak... neraka diskon akhir bulan!” sahut Han sambil nyungsep ke balik tembok belakang kantin yang adem dan tersembunyi.
”Dasar ketua OSIS dungu,” omel Aldo, tapi ikut duduk juga.
Han nyengir. “Ketua OSIS juga manusia, Do.”
Baru saja ia ingin selonjoran, pandangannya menangkap sesuatu di pojok tembok.
Seseorang duduk diam di sana.
Seorang gadis mungil. Rambutnya panjang dan agak kusut, seragamnya rapi tapi lusuh, dan tangan mungilnya sedang mencoretkan sesuatu di buku lusuh. Han sempat mengernyit. Matanya terpaku pada... baris-baris tulisan tangan di kertas itu.
Bait-bait puisi.
> “Aku ingin bicara, tapi lidahku selalu dikhianati waktu.
Suara yang kutahan, Menua dalam bisu. Mereka bilang aku bodoh,
Padahal aku hanya... hancur.”
Han melongo. ”Eh... lo liat itu?”
Aldo juga melihatnya, tapi langsung berdiri.
“Udah ah, gue cabut dulu. Lo aja yang drama di sini.” Aldo berlalu dengan gelengan kepala, meninggalkan Han yang masih duduk, penasaran.
”Eh... kamu nulis puisi ya?”
Han maju dua langkah, mendekati gadis itu.
Gadis itu—Nayla, ia yakin—langsung berhenti menulis. Ia menoleh sedikit, lalu menunduk lagi. Seolah berharap tanah bisa menelannya hidup-hidup.
”Bagus, lho puisinya. Sedih, tapi... dalem banget,” ujar Han jujur.
Nayla tidak menjawab. Tapi tangannya menyelipkan buku catatan itu ke tasnya—gerakan cepat, gugup.
Han garuk-garuk kepala. "Maaf ya, ganggu. Cuma... gue nggak nyangka aja, ada orang yang nulis puisi di belakang kantin."
Diam....
Han senyum, lalu duduk seenaknya di seberangnya. "Gue Han. Kelas sebelah. Ketua OSIS yang kabur dari matahari."
Masih diam.
”Eh, gue nggak maksa lo jawab, kok. Tapi boleh gue tebak? Nama lo Nayla, kan?”
Nayla sedikit mengangguk.
Han nyengir, matanya menyipit karena sinar matahari yang nyangkut dari sela-sela genteng belakang kantin.
”Tapi gue masih pengen tau, sih. Kenapa lo nulis puisi di tempat kayak gini?”
Hening. Tapi lalu, samar-samar... Nayla mengangkat sedikit bukunya, dan menulis sesuatu di ujung halaman belakang.
Han menyipitkan mata, lalu tertawa pelan saat melihat tulisan kecil di situ:
> “Karna di sini gaada orang.”
Han nyengir lebar. “Yah, sekarang ada satu orang usil yang dateng.”
Nayla menatapnya sekilas. Wajahnya masih kaku, tapi di ujung bibirnya... tampak sedikit, sangat sedikit... terlihat tarikan kecil.
Senyum—yang seperti akan hilang kalau disentuh. Tapi nyata.
Dan Han merasa, untuk alasan yang belum ia mengerti...
Ia ingin melihat senyum itu lagi. Dan lagi
Han tetap duduk di seberang Nayla yang diam, tak bergeming kecuali saat jemarinya mengusap ujung halaman bukunya pelan. Wajahnya pucat, matanya letih, seperti seseorang yang terlalu sering berjuang diam-diam.
Han menekuk kakinya ke depan dan menepuk-nepuk tanah kering, lalu melirik ke arahnya.
“Lo pernah mikir nggak sih, kenapa kalau kita ngetik ‘hmm’ tiga kali di WA, rasanya kayak kita jadi filsuf?”
Nayla menoleh perlahan. Matanya masih sayu, tapi jelas menatap Han—walau hanya dua detik. Lalu kembali menunduk.
“Gue pernah mikir juga... kenapa ya, manusia nggak punya remote? Kan enak, bisa dimatiin pas lagi capek. Ditekan aja tombolnya: ‘off.’”
Dia menatap langit.
“Terus kalau lagi kesel, tinggal ‘mute.’ Nggak usah dengerin ocehan guru matematika yang kayak suara radio rusak itu.”
Nayla tidak bereaksi. Tapi Han tetap lanjut. Dan Sekarang mulutnya lah yang seperti radio rusak, dan sejujurnya, dia menikmati itu.
“Lo tau nggak, gue tuh takut banget sama laba-laba. Kayak… bukan takut biasa, ya. Tipe takut yang kalo gue liat laba-laba di pojok kamar, gue bisa rela tidur di teras depan rumah. Sama cicak juga. Hiiih. Apalagi cicak yang kakinya tinggal tiga, itu jelmaan iblis.”
Dia menggigil dramatis, lalu menatap Nayla yang masih diam. “Eh, lo gak takut apa? Jangan-jangan lo justru suka cicak?”
Tak ada jawaban.
“Cieee... Nayla si pemelihara cicak. Ntar kalau kita nikah, gue yang masak, lo yang... ngasih makan cicak. Romantis banget.”
Han terkekeh sendiri. “Yaelah, ketemu juga belum lama, udah ngebayangin nikah.”
Nayla—sedikit saja—mengembuskan napas. Mungkin geli. Mungkin bingung. Tapi Han cukup peka untuk menyadari: itu perkembangan.
Han menggaruk dagunya sok mikir. “Lo suka nulis puisi. Gue pernah coba nulis puisi waktu kelas delapan. Isinya begini:”
> ‘Gue lapar, tapi warung tutup.
Hati gue kosong, kayak dompet bokap.
Hidup ini keras, kayak kepala mantan.’
“Bagus nggak?” tanyanya sambil menaikkan alis.
Nayla menatapnya. Masih tidak bicara. Tapi... wajahnya berubah. Seperti ingin tertawa, tapi masih takut untuk terlihat.
Han sok tersinggung.
“Woy, jangan diremehin! Itu puisi dari lubuk hati terdalam... waktu gue lagi nunggu bakso setengah jam tapi kagak dateng-dateng.”
Dia berdiri dan berjalan ke arah kantin. “Eh, lo mau es teh? Gue traktir. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, nanti semua cewek di sekolah nyangka gue playboy. Padahal aslinya, gue tuh romantis. Jenis cowok yang bakal ngasih lo bantal bentuk ayam kalau lo sedih.”
Dia kembali membawa dua plastik es teh, meletakkan salah satunya di samping Nayla.
“Eh tapi serius, ya. Gue tuh kadang pengen bisa kayak lo.”
Kepala Nayla sedikit terangkat, mata besarnya menatap Han dengan tatapan bertanya.
“Bisa diem.”
Han tertawa pelan. “Gue tuh mulutnya nggak bisa dikunci. Kalau mikir satu, yang keluar sepuluh. Kadang sampe guru bingung mana yang pertanyaan, mana yang cuma ngebacot.”
Dia menatap langit sebentar, lalu kembali menatap Nayla dengan senyum sedikit lebih tenang.
“Tapi nggak tau kenapa, hari ini... gue pengen ngomong banyak ke lo. Padahal lo diem. Tapi rasanya lo dengerin.”
Seketika Han menyadari, tangan Nayla bergerak. Ia menulis lagi, di halaman belakang buku puisinya.
> “Aku dengar. Tapi belum berani buat bicara.”
Han membaca tulisan itu dan terdiam sejenak. Ia tidak tertawa, tidak menyela.
Lalu dia berkata pelan,
“Nggak apa-apa. Gue bisa ngomong dua arah kok... sendiri.”
Nayla menulis satu baris lagi, lambat.
> “Kamu nggak takut aku aneh? ”
Han tertawa kecil. “Lah? Gue ketua OSIS, kapten basket, tapi takut cicak, takut laba-laba, suka nulis puisi ya...yang kayak tadi deh intinya, dan baru aja ngajak lo nikah tanpa tau nama belakang lo. Di antara kita berdua, yang aneh siapa duluan, ya?”
Dan... untuk pertama kalinya, Nayla menahan senyum sambil menunduk. Bukan tawa, tapi senyum. Tangannya sedikit gemetar, tapi matanya menghangat. Dan Han... merasa hatinya tenang.
Sunyi kembali melingkupi mereka. Tapi bukan sunyi yang canggung. Justru sebaliknya.
Han bersandar di dinding dan memejamkan mata. “Eh, kalau suatu hari nanti lo udah bisa ngomong... bilang ya.”
Nayla menulis pelan:
> “Kalau aku udah berani ngomong, kamu orang pertama yang bakal dengar.”
Han mengangguk, lalu tersenyum santai.
"Deal. Tapi nanti pas lo ngomong, jangan langsung nembak gue ya. Gue masih belum siap ditinggal fans cewek sekolah."
Nayla menulis cepat:
> “Idih, mimpi.”
Han tertawa keras.
Untuk sesaat, dunia jadi lebih ringan.
Dan bagi Nayla, tempat di belakang kantin yang tadinya ia pilih untuk menghilang... justru menjadi tempat di mana suara nya mulai di temukan kembali.