Langit di atas kantin masih sama. Biru cerah, tapi cukup panas untuk membuat siapa pun ogah jalan ke lapangan. Termasuk Han Jiwan, si kapten basket yang lebih pilih ngumpet di belakang kantin demi menghindari ajakan temannya, Aldo, main basket. Lagi-lagi.
“Serius, Do. Lu kalau ngajak gue main tuh, liat suhu dulu napa! Ini 34 derajat, bukan suhu tubuh normal!” Han ngoceh sendirian sambil duduk selonjoran.
Nayla masih di tempat yang sama. Duduk bersila, menatap lembaran puisi yang ia tulis dengan pulpen biru. Wajahnya datar, matanya sayu, tapi sesekali jemarinya menari dengan lincah di atas kertas. Han meliriknya.
“Hoi, pujangga belakang kantin. Udah selesai nulis isi hati, belum?” Han mendekat, nyengir.
Nayla tak menjawab. Lagi.
Han menyipit. “Eh, kamu jangan-jangan... dikutuk diem ya? Aku pernah nonton film gitu tau. Ada cewek nggak bisa ngomong karena habis dicium kodok. Tapi kalau kamu—”
“CIIIIAK”
Sesuatu merayap di tembok.
Dan dalam waktu kurang dari satu detik...
“AAAAAAAAAAAAA!!”
Han menjerit seperti bocah lima tahun yang baru kehilangan balon. Ia lompat, nyaris menendang tas Nayla, dan langsung ngumpet di balik bahu kecil gadis itu.
“ITU CICAK!! ITU CICAK!!” teriaknya. “TOLONG, AKU NGGAK BISA—SAMA CICAK!”
Nayla terkejut, matanya membesar. Bukan karena cicak—tapi karena cowok paling populer di sekolah sekarang berpegangan di pundaknya sambil gemetar... kayak daun kena angin malam.
“Cicak tuh, binatang paling... paling... paling NGGAK JELAS! Dia nempel di dinding padahal dia reptil! Reptil tuh tempatnya di tanah, bukan di atas kepala orang! GILAK, DIA NYONTEK FISIKA DARI MANA?!”
Nayla, yang tadi hampir menulis bait terakhir puisinya, sekarang menatap Han yang sudah seperti spesies baru di matanya. Keningnya sedikit berkerut.
“Bisa tolong... usir? Please?” Han memohon, tangan masih mencengkeram ujung lengan Nayla yang sempit itu. “Kamu... kamu kan kalem... cuek... kayaknya cocok buat urusan beginian... hehe...”
Nayla pelan-pelan memutar kepala ke arah tembok. Cicak itu sudah hilang.
Ia menunjuk ke atas tembok.
“Udah pindah?” Han mengintip dari balik punggungnya. “Ya ampun... aku hampir peluk kamu tadi, tau gak... Eh, kamu bukan yang ngirim cicak itu kan?! JANGAN-JANGAN KAMU PUNYA ILMU HITAM!”
Nayla menghela napas pelan. Entah kesal, entah bingung.
Han langsung nyengir, kali ini lebih tenang. “Maaf ya, aku suka lebay kalau udah urusan beginian... Serius. Di rumah juga aku pasang lima perangkap cicak. Kadang mama bilang aku lebih takut cicak daripada ujian.”
Ia duduk lagi, mengambil posisi agak menjauh. Tapi pandangannya masih ke Nayla.
“Kamu... sebenernya ngerti omonganku nggak sih?”
Nayla mengangguk pelan.
“Wah, syukurlah. Kukira aku kayak badut lagi stand-up ke tembok tadi.” Han tertawa kecil.
Beberapa detik berlalu. Nayla kembali menatap kertasnya. Tapi Han belum selesai.
“Oh iya! Tadi puisi kamu... aku sempat ngintip lho. Maaf ya, bukan sengaja. Tapi aku lihat kata ‘langit’, ‘tangan yang gemetar’, terus ada ‘cermin yang retak’. Itu tentang siapa? Tentang kamu?” Wajah Han serius tiba-tiba.
Nayla diam.
Han menunggu. Tapi... tidak ada jawaban. Ia akhirnya berdehem.
“Oke, berarti bukan tentang aku ya? Untunglah... Kukira kamu nulis tentang aku yang lebay.”
Sunyi.
Han garuk-garuk kepalanya. “Eh, kamu masih mau aku di sini gak? Maksudku... aku bisa pergi sih. Tapi aku capek dikejar Aldo. Dia tuh kayak tuyul kangen gaji.”
Nayla menatapnya. Sedikit.
Dan entah kenapa, meski tak ada senyum, Han merasa itu semacam... undangan. Semacam, “Terserah, yang penting jangan ribut.”
Han kembali selonjoran.
“Aku suka kamu, tahu nggak?”
Nayla langsung kaku.
“Eh, maksudku suka... duduk di sini sama kamu. Tempat ini tenang, kayak otakku sebelum ulangan matematika.”
Sunyi lagi.
Han melipat tangannya di belakang kepala. Menatap langit.
“Langit kelas sebelah lebih enak ya... dari sudut pandang kamu. Aku dari kelas B, tiap buka jendela isinya lapangan dan Aldo main layangan. Kamu? Punya langit. Punya pohon. Punya... cicak.”
Nayla menahan tawa. Cuma sedetik. Tapi Han lihat.
“Kamu barusan... ketawa ya? Atau itu efek cahaya?”
Nayla pura-pura menunduk.
Han tersenyum lebar.
“YES. Aku berhasil bikin si misterius tersenyum. Besok aku bawa medali.”
Ia berdiri. Mengangkat tangan ke arah matahari. “Aku Han Jiwan. Murid yang takut cicak, tapi tidak akan pernah takut untuk bikin kamu senyum!”
“...tapi tetep takut cicak sih.”
Sunyi...
Han masih duduk memeluk lututnya, wajahnya pucat seperti baru saja melihat setan. Kemudian menghela nafas untuk bicara.
“Gila... itu cicak apa ninja sih? Lompatnya tuh ke arah muka gue, Nay... ke arah muka!” katanya sambil menatap ke arah dinding seperti memastikan makhluk itu benar-benar sudah lenyap dari pandangannya.
Nayla hanya duduk tenang. Bahunya naik turun pelan karena tertahan tawa. Ia menunduk, pura-pura menggambar sesuatu di tanah dengan ranting kecil. Padahal dalam hatinya… lucu juga sih, lihat cowok tinggi besar ketakutan kayak anak ayam hilang induk.
Han menoleh padanya dan mengerutkan dahi. “Nay… lo ketawa ya? Jangan-jangan lo tuh sebenernya sekutu cicak itu.”
Nayla buru-buru menggeleng, tapi tetap menunduk. Senyumnya makin sulit disembunyikan.
“Waduh… lo beneran senyum? Eh, senyum ya? Astaga… Nayla bisa senyum! Ini lebih langka daripada gerhana matahari,” ceplos Han sambil memukul pelan pahanya sendiri.
Nayla reflek menutup mulut, malu. Ia memang jarang, sangat jarang, menunjukkan ekspresi.
Han menyenggol bahunya dengan ringan. “Eh, Nay. Coba bilang ‘cicak jelek’. Sekali aja.”
Nayla menatap Han, lalu menunduk lagi.
“Coba bilang ‘Han ganteng’. Biar semesta punya alasan buat hujan salju di Indonesia.”
Lagi-lagi Nayla cuma menggeleng sambil menahan senyum.
Han pura-pura meratap. “Duh Tuhan… kenapa hamba ditakdirkan suka ngobrol sama tembok. Bahkan tembok pun kadang bergema…”
Tiba-tiba ia berdiri dan berlagak seperti orator di panggung. “Perhatian! Perhatian! Saya Han, berbicara kepada Miss Nayla, pemilik wajah galaksi, tubuh semut, dan suara yang hanya terdengar oleh dewa…”
Ia berhenti, lalu melihat ke arah Nayla yang menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
“Oh? Merah nih mukanya. Merah! Tanda-tanda kehangatan sosial!”
Nayla benar-benar tak tahan. Bahunya terguncang kecil, entah karena tertawa dalam diam, atau lelah menahan geli.
Han duduk lagi, kali ini bersila. Ia menatap Nayla dengan serius. “Nay, lo tau nggak? Gue tuh belum pernah ketemu orang kayak lo. Yang diem… tapi bisa bikin orang penasaran terus.”
Nayla perlahan menoleh, matanya terlihat kaget.
Han nyengir. “Gue serius. Lo tuh kayak... buku yang sampulnya usang, tapi isi halamannya penuh puisi, dan gambar yang indah. Orang-orang di sekolah… mereka ngeliat lo kayak koran lama. Padahal lo mah, Nay… lo komik best seller.”
Nayla menatap tanah. Tangannya mencengkeram ujung rok.
Han menambahkan pelan, “Gue nggak peduli orang bilang apa soal lo. Selama lo nggak berubah jadi cicak… gue masih bisa duduk di sini tiap hari.”
Nayla mengerjapkan mata. Mungkin, hanya mungkin, dadanya terasa sedikit hangat. Tak ada yang pernah berkata seperti itu padanya.
“Eh, tapi lo jangan tiba-tiba jadi cicak beneran ya. Gue bisa kabur sambil teriak, dan kita bisa jadi berita di Instagram sekolah,” tambah Han lagi, merusak momen manis dengan ekspresi dramatis.
Nayla menatapnya sebentar… lalu mengangguk 3× dengan pelan. Untuk pertama kalinya, benar-benar pelan… ia membalas dengan anggukan.
Han membelalak. “Wahh... Nayla ngerespon. Hari ini rasanya hari terbahagia dari sekian perjuangan ku”
Ia langsung berdiri dan berlari kecil memutari lapak belakang kantin sambil menyanyi ngawur,
“Naylaaa balas aku… dunia menjadi biruuu… whoaaa!..”
Nayla hanya menggelengkan kepala, namun senyumnya tertahan di sudut bibirnya. Ia belum tahu… pertemuan ini hanyalah awal dari perubahan kecil dalam hidupnya.
BERSAMBUNG...