Di tengah malam yang gelap dan penuh badai, angin menderu kencang, petir menggelegar, dan hujan deras mengguyur bumi. Dari dalam sebuah kastil megah, terdengar erangan wanita yang kesakitan. Suara itu memecah sunyi malam, menyisakan ketegangan di udara.
Dalam ruangan besar dengan tirai tebal dan obor menyala redup, seorang wanita berambut panjang terbaring lemah di atas ranjangnya. Ia sedang berjuang melawan rasa sakit untuk melahirkan anak pertamanya. Di sampingnya, seorang lelaki gempal memegang tangannya erat, seolah takut kehilangan genggamannya seperti ia takut kehilangan nyawa sang istri.
Para dokter dan pelayan berusaha membantu semampu mereka. Wajah sang lelaki itu begitu pucat, jantungnya berdebar tak menentu. Setiap erangan istrinya bagaikan menusuk hati dan jiwanya. Waktunya terasa begitu lambat hingga akhirnya...
Sebuah tangisan bayi kecil memenuhi ruangan.
Wajah sang raja langsung berubah dari ketakutan menjadi harapan. Seorang perawat menggendong seorang bayi mungil yang menangis keras, memberi tahu dunia bahwa ia lahir sebagai seorang putri.
Sang raja tersenyum senyum yang rapuh, penuh kelelahan namun segera pudar saat ia melihat wajah istrinya yang pucat dan tak sadarkan diri.
“Yang Mulia... ini hal wajar. Ratu hanya sangat kelelahan setelah melahirkan. Biarkan ia beristirahat.” Dokter mencoba menenangkan sang raja, yang Napak sedang panik.
Namun sang raja tidak mendengar. Ia merangkul tubuh lemah istrinya, menangis seperti anak kecil yang kehilangan pegangan dunia.
---
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 18 tahun setelah hari kelahiran itu, suasana di ruang kerajaan kembali hangat oleh percakapan ringan antara ibu dan anak laki-lakinya yang masih berusia lima tahun.
“Ibu, jadi Ayah dulu nangis waktu Kakak lahir?” tanya si kecil dengan mata berbinar-binar, penuh rasa ingin tahu.
Wajah sang raja langsung memerah, “Sayang… kita kan sudah berjanji tidak akan membahas ini lagi.”
Wanita itu menutup mulutnya dengan tangan, tertawa pelan. “Maaf-maaf, aku tidak bisa menahan diri. Ekspresi penasarannya terlalu manis untuk dilewatkan.”
Ia lalu memandang ke arah jendela, suaranya berubah menjadi sendu, “Aku tidak menyangka... sudah 18 tahun berlalu. Vanessa sudah dewasa. Sekarang ia menjadi seorang wanita cantik."
“CANTIK?!” potong si kecil dengan nada kesal. “Mata Ibu baik-baik saja? Lihat Bu, Kak Vanessa itu seram! Lebih mirip nenek sihir daripada cantik!”
“Nak, itu tidak sopan,” tegur sang ibu lembut namun tegas.
Namun sang ayah malah menjawab dengan senyum kecut, “Ayah setuju dengan pendapatmu, nak.”
Si kecil langsung tersenyum puas, tapi ekspresi itu cepat berubah menjadi ketakutan ketika sesosok tinggi besar muncul di belakang sang ayah.
“Ada apa dengan wajahmu? Seperti melihat hantu?”
“A-... A-Ay... Ayaaahhh…”
“Apa kamu bicara apaansi?”
“Sayang... kamu sudah pulang?”
“Ya. Tugas selesai, jadi aku kembali lebih awal.”
Suara dingin dan tegas itu membuat raja langsung berkeringat dingin. Perlahan, ia menoleh, jantungnya berdebar kencang. Di sana berdiri **Vanessa**, putrinya. Tinggi, gagah, dengan zirah besi lengkap dan pedang di pinggang. Namun matanya bersinar dengan amarah yang tak bisa disembunyikan.
Anak kecil itu langsung turun dari pangkuan ibunya, ingin kabur, tapi langkahnya terhenti. Tangan kecilnya dicekal oleh tangan besi yang dingin dan kuat.
“siapa yang kau bilang mirip nenek sihir ?” tanyanya dengan senyum manis yang menyeramkan.
"Ibuuu," adik nya dengan cepat memeluk ibunya untuk menghindari amarah kakak nya.
"Sudah-sudah, dan sebaiknya kamu juga harus siap-siap untuk acara malam ini."
"Acara apa.?"
"Apa, kamu tidak ingat hari apa sekarang." Ucapan ayah nya.
"Ini hari Rabu?"
"Hahahaha," ayah nya tertawa terbahak-bahak mendengar hal itu.
"Kenapa apa aku salah?"
Ibu nya juga tertawa kecil "apa kamu tidak lupa jika hari ini adalah hari dimana acara pernikahan mu akan di tempatkan."
"Hah, menikah kenapa aku harus melakukan nya bukan aku sudah mengatakan nya dari dulu jika aku tidak mau menikah dengan nya." Dengan nada tinggi membuat semua orang di sana terdiam.
"Dengar dulu Vanessa aku tahu ini terdengar egois tapi hanya dengan hal ini kita bisa mempererat hubungan dengan kerajaan tetangga dan-"
Vanessa menyel ibu nya, "tapi sudah aku bilang aku tidak mau melakukan hal semacam itu, aku ingin memilih jalan hidup ku sendiri, jika tidak ada yang ingin di sampaikan lagi aku undur diri." Dengan nada formal ia menunduk lalu membuka pintu.
"Tapi setidaknya cobalah dulu nak." Bunjuk sang ayah kepada Vanessa.
Vanessa tidak menoleh kebelakang dan berjalan pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Ya' mau bagaimana lagi kita sudah berusaha." Ayah nya melihat kearah ibu nya Vanessa.
"Kau benar, kita tidak pernah memaksa nya dari dulu sampai sekarang ia melakukan apa yang ia inginkan.''
"Tapi apa dia menyukai seseorang.?"
"Ya siapa yang tahu."
Vanessa berjalan menelusuri lorong kastil dengan tatapan dingin ia berpikir kenapa aku harus mau melakukan hal semacam itu, apalagi jika menikah dengan seorang, aku masih memiliki mimpi yang harus aku kejar aku tidak bisa membuang nya begitu saja. Vanessa menghela nafas lalu melihat kearah matahari yang mulai redup.
"Aku pasti bisa mengalahkan nya." Vanessa guma nya, dengan tatapan mata penuh abisin.
Bersambung....