Udara pagi di sekolah terasa lebih segar dari yang Revan ingat. Angin bertiup lembut, menyusup melalui sela dedaunan pohon angsana di sepanjang jalan menuju gerbang utama SMA Negeri 1 Masohi. Suara burung-burung kecil bersahutan dari balik pepohonan rindang. Beberapa siswa berjalan sambil tertawa ringan, mengenakan seragam putih-abu yang bersih, penuh harapan dan semangat remaja.
Revan berdiri di depan gerbang, terdiam beberapa saat. Di hadapannya berdiri bangunan tiga lantai bercat kuning pucat yang sangat dia kenal. Lapangan basket yang sedikit retak di beberapa bagian, kantin kecil dengan genteng yang mulai aus, dan papan nama sekolah yang dulu sempat jadi latar foto kelulusannya kini terlihat begitu hidup kembali.
Dia menarik napas dalam-dalam.
“Ini bukan mimpi…” gumamnya lagi, menegaskan keyakinannya.
Revan menapakkan kaki ke dalam sekolah dengan langkah perlahan namun pasti. Di dalam pikirannya, campur aduk antara nostalgia dan perasaan absurd karena harus kembali menjadi murid SMA—padahal pikirannya masih seperti pria dewasa berusia 30 tahun.
“Revan!”
Suara itu membuyarkan lamunannya. Seorang remaja dengan tas digendong miring dan rambut berponi datang menghampiri. Wajahnya ceria, penuh semangat. Tatapan polos yang sulit ditemukan pada orang dewasa.
“Aduh! Jangan bengong di gerbang! Buruan ke kelas! Nanti disuruh hormat bendera sama Pak Toto!” lanjut temannya, sambil menepuk punggung Revan.
Revan mengernyit. “Gilang?”
“Heh? Iya lah! Emangnya siapa? Pikun ya!” Gilang tertawa sambil merangkul bahu Revan. “Tumben bengong. Biasanya pagi-pagi udah ngegosip soal cewek kelas sebelah.”
Revan tersenyum kecil. Gilang adalah sahabatnya semasa SMA. Mereka sempat dekat sampai kelas 2, sebelum akhirnya berpisah karena Revan terlalu sibuk mengejar popularitas dan Gilang sibuk ikut dengan kegiatan akademik.
“Maaf ya, Lang…” ucap Revan pelan dalam hati.
Mereka berdua berjalan ke kelas X-3. Di sepanjang koridor, Revan melihat banyak wajah yang dulu hanya tinggal di ingatannya. Ada Pak Subandi, guru matematika dengan rambut hampir habis dan kumis tebal seperti karakter kartun. Ada Bu Lina, guru Bahasa Indonesia yang terkenal dengan kata favoritnya: “Kembangkan ide kalian!” Dan tentu saja, ada suara cempreng Pak Toto, guru olahraga yang tak kenal kompromi dengan keterlambatan.
“Kelas X-3... sebelah sini!” teriak Pak Toto dari ujung lorong. Suaranya menggema, membuat beberapa murid mempercepat langkah.
Revan duduk di bangku baris ketiga dari depan, di samping jendela. Sinar matahari pagi menembus kaca jendela, mengenai meja kayu yang penuh coretan nama dan gambar hati. Coretan itu… dia yang buat. Nama Michele ada di sana—tapi belum hari ini. Belum saat ini.
Gilang duduk di sampingnya sambil membuka buku pelajaran. “Kamu kenapa sih, Van? Kayak bukan kamu aja. Sakit ya?”
Revan menoleh. “Enggak. Aku cuma… pengen jadi versi diri gue yang lebih baik.”
Gilang melongo. “Buset, habis ikut seminar motivasi ya?”
Revan tertawa pelan. “Iya, bisa dibilang begitu.”
Bel masuk berbunyi. Semua siswa bersiap. Hari pertama semester genap dimulai.
Namun bagi Revan, ini bukan hanya semester baru. Ini kehidupan baru. Dan dia tidak akan menyia-nyiakannya.
__
Jam pelajaran pertama dimulai. Bu Lina, guru Bahasa Indonesia yang terkenal tegas tapi keibuan, memasuki kelas dengan langkah mantap. Rambutnya digulung rapi, dan di tangannya ada tumpukan kertas.
“Selamat pagi, anak-anak!”
“Selamat pagi, Bu Lina!”
Revan mengikuti salam kelas sambil menyembunyikan senyum. Dulu, dia selalu menirukan gaya suara Bu Lina diam-diam dari bangku belakang bersama Gilang. Tapi hari ini, suaranya tenang, matanya penuh perhatian. Pelajaran pertama ini terasa seperti upacara penghormatan bagi masa muda yang dulu ia sia-siakan.
“Karena hari ini adalah awal semester genap, ibu akan minta kalian menuliskan satu paragraf tentang ‘Target Semester Ini’. Ditulis tangan, tidak perlu panjang. Tapi jujur. Bisa dimulai sekarang.”
Satu kelas mulai sibuk dengan suara gesekan pulpen dan bolpoin. Revan membuka bukunya, memikirkan apa yang akan dia tulis. Tapi berbeda dari teman-temannya yang masih menimbang-nimbang soal nilai atau ranking, Revan tahu persis apa yang menjadi targetnya.
“Saya ingin menjadi pribadi yang bertanggung jawab, tidak hanya pada nilai, tetapi juga pada diri saya dan orang-orang yang percaya pada saya. Karena saya sadar, waktu tak bisa diulang, kecuali diberikan sebuah keajaiban.”
Dia menatap tulisannya cukup lama. “Dan mungkin keajaiban itu sedang aku jalani sekarang,” bisiknya.
Sebelum ia sempat menutup bukunya, suara ketukan pintu memecah perhatian seluruh kelas.
Tok tok tok.
Bu Lina menoleh. “Ya, silakan masuk.”
Pintu terbuka pelan. Seorang siswi berdiri di ambang pintu, dengan raut wajah agak gugup tapi tenang. Rambutnya sebahu, rapi terikat dengan pita kecil warna biru. Seragamnya tampak bersih, dan tas ransel yang ia tenteng menunjukkan ia baru saja dipindahkan.
“Permisi, Bu. Saya murid pindahan dari SMA Negeri 2 Jakarta. Nama saya Michele Amanda.”
Deg.
Jantung Revan seperti berhenti berdetak sedetik. Matanya melebar. Michele. Bahkan setelah bertahun-tahun, nama itu masih menggetarkan hati dan memorinya seperti petir di tengah hujan deras.
Namun kali ini, Michele berdiri di sana… belum mengenalnya.
Bu Lina tersenyum hangat. “Silakan masuk, Michele. Kamu bisa duduk di bangku kosong di sebelah Revan, baris ketiga dari jendela.”
Dunia Revan seperti membeku.
Langkah-langkah Michele terdengar perlahan saat dia berjalan melewati barisan bangku. Revan memalingkan wajah ke luar jendela, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau.
Dia datang… Revan ingat Sekarang, awal semester pertama kali dia bertemu Michele.
Michele duduk perlahan di sampingnya. “Hai,” sapanya pelan, dengan senyum sopan.
Revan menoleh. Untuk pertama kalinya, dia kembali menatap mata itu. Mata yang dulu menemaninya sembilan tahun. Mata yang dulu menatapnya dengan rasa kecewa dan sedih, di malam terakhir mereka bertemu. Tapi sekarang, mata itu masih jernih. Belum terluka. Belum terlambat.
“Hai…” jawab Revan dengan suara nyaris bergetar. “Selamat datang.”
Michele mengangguk. “Terima kasih. Namanya Revan, ya?”
“Iya. Revan.”
Mereka saling diam sejenak.
“Boleh pinjam bukunya sebentar? Saya belum sempat catat tugas barusan,” tanya Michele.
Revan buru-buru menyerahkan bukunya. “Tentu. Ini.”
Michele mengambilnya dengan lembut. Jemarinya menyentuh tangan Revan sesaat—dan ada getaran aneh di tubuh Revan, bukan karena gugup seperti remaja biasa, tapi karena perasaan yang terlalu dalam dan lama terkubur, kini kembali hadir dengan cara yang paling tak terduga.
Gilang yang duduk di belakang mereka menyenggol punggung Revan sambil menahan senyum. “Wuih, baru hari pertama udah kenalan sama cewek baru.”
Revan hanya mengangkat bahu kecil, masih berusaha menyembunyikan kekacauan dalam hatinya.
Hari ini, Michele hadir kembali dalam hidupnya.
Tapi beda dari dulu, Revan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.