Awal Pertemanan

Waktu terus berjalan. Setelah pelajaran Bahasa Indonesia, kelas berganti dengan Matematika, lalu Biologi. Jadwal padat khas hari Senin. Tapi bagi Revan, hari ini terasa seperti menyaksikan film masa lalu yang sedang diputar ulang—dengan dirinya sebagai aktor utama yang tahu naskahnya, tapi kali ini berniat memerankannya dengan lebih baik.

Dia memperhatikan tiap guru yang masuk. Bahkan mencatat dengan rapi, sesuatu yang dulu tidak pernah ia lakukan. Di sela-sela pelajaran, dia sesekali mencuri pandang ke Michele, yang tampak tenang menyalin catatan dan sesekali mencoret-coret pinggiran buku dengan gambar kecil berbentuk bunga.

Hatinya masih campur aduk. Sulit untuk tidak merasa emosional. Ini bukan nostalgia. Ini peluang—peluang yang mustahil bisa didapatkan oleh manusia lain mana pun.

Waktu istirahat tiba. Suara lonceng terdengar disambut hiruk pikuk siswa yang keluar kelas. Beberapa langsung menuju kantin, beberapa lainnya duduk-duduk di taman sekolah atau membuka bekal. Revan bangkit pelan dari kursinya, bingung harus ke mana.

“Kamu nggak ke kantin, Van?” tanya Gilang.

“Nanti nyusul. Aku mau duduk sebentar.”

“Aku beliin donat ya!” Gilang langsung melesat ke luar.

Revan tersenyum dan berjalan ke arah taman kecil di samping lapangan. Tempat yang dulu sering ia datangi hanya saat ingin bolos atau kabur dari kelas olahraga.

Namun saat duduk di bangku beton bawah pohon mangga, suara langkah mendekat membuatnya menoleh.

“Boleh duduk?” tanya Michele, membawa kotak bekal kecil di tangannya.

“Silakan.” Revan bergeser memberi ruang.

Michele membuka kotaknya. Nasi, telur dadar, dan beberapa potong tahu goreng. “Bekal dari Mama. Katanya lebih baik bawa sendiri daripada jajan sembarangan,” ucap Michele sambil tersenyum.

Revan mengangguk. “Ibumu benar. Makanan rumah paling enak.”

Michele tersenyum lebar. “Jarang ada yang setuju sama itu.”

“Ya, begitulah,” jawab Revan tanpa berpikir, lalu cepat-cepat menambahkan, “Maksudku, mungkin aku beda sama yang lain.”

Michele tertawa kecil. “Kamu beda, ya.”

Kalimat itu menghantam lembut, seperti pengakuan yang manis namun dalam bagi Revan. Kata "beda" itu dulu yang membuat Michele jatuh cinta—dan kini mengulang kembali, seolah takdir ingin mencoba lagi dari awal.

“Kalau boleh tahu, kenapa pindah ke sini?” tanya Revan hati-hati.

Michele menggigit kecil tahu gorengnya sebelum menjawab, “Ayahku pindah kerja. Kami ikut. Katanya ini kota yang lebih tenang. Jauh dari keramaian kayak Jakarta.”

Revan mengangguk. “Ya, di sini memang lebih tenang. Tapi bisa jadi tempat luar biasa. Banyak hal yang menyenangkan dan... siapa tau jodohmu di tempat ini.”

Michele menoleh, agak terkejut. “Haha, ngapain mikirin jodoh Van.”

Revan hanya tersenyum. “Iya benar, ngapain mikirin jodoh.”

Sunyi sejenak menyelimuti mereka berdua. Tidak canggung. Hanya damai. Seperti dua orang yang tak perlu banyak bicara untuk merasa nyaman.

Di bangku taman sekolah itu, di antara suara riuh siswa lain dan embusan angin dari celah dedaunan, Revan merasakan sesuatu yang hampir tak pernah ia rasakan dulu—kesempatan untuk memperbaiki, bukan mengulang.

Dia tahu, ini bukan hanya tentang Michele. Tapi tentang semua yang bisa ia ubah. Caranya melihat hidup. Cara dia memperlakukan orang-orang sekitarnya. Bahkan cara dia membangun masa depan.

Dan hari itu, dengan Michele duduk di sampingnya sambil memakan bekal sederhana, Revan membuat keputusan dalam diam:

Dia tidak akan menjadi Revan yang lama.

Tidak lagi egois. Tidak lagi rakus ingin sukses cepat. Tidak lagi meledak-ledak karena kegagalan. Tidak lagi menjadi penyebab luka orang yang mencintainya.

Hari ini hanyalah awal. Tapi dari awal yang kecil inilah, dia akan membangun jalan menuju akhir yang berbeda. Akhir yang pantas untuk mereka berdua.

___

Setelah istirahat, kelas kembali dengan pelajaran Fisika. Bu Rita yang dikenal sangat teliti dan cenderung cerewet sudah berdiri di depan dengan ekspresi galaknya yang khas.

Namun Revan kali ini tidak lagi memperlakukan pelajaran sebagai momok. Ia sudah memutuskan sesuatu: jika ia ingin masa depan yang berbeda, maka ia harus bertindak dari sekarang, di setiap kesempatan sekecil apapun.

Ia mencatat lebih cepat dari biasanya, mengangkat tangan saat diminta, dan bahkan membantu menjelaskan rumus ke Michele ketika dia tampak bingung. Meskipun itu hanya rumus percepatan benda jatuh bebas, ekspresi Michele yang antusias dan cara dia mengangguk-angguk saat Revan menjelaskan… membuat jantung Revan berdegup seperti remaja 15 tahun pada umumnya.

“Sering-sering ajarin aku ya, kalau misalnya aku enggak mengerti,” kata Michele pelan saat kelas selesai.

“Pasti chell, kita kan teman.” Jawab Revan bercanda sambil senyum ke arah Michelle

Michele menatap Revan agak lama. “Haha, iya kita teman.”

"Kamu tinggal di daerah gang singa kan? Gimana, suasananya?" Tanya Revan, yang kemudian dia sesali karena Michelle sama sekali belum bercerita dimana dia tinggal. Namun apa boleh buat, cara pikirnya Revan berbeda dengan remaja umumnya yang gampang panik. Dia tetap terlihat tenang seakan bukan masalah besar.

"Loh kok kamu tau Rev.. kamu tinggal disitu juga?" Balas Michelle dengan wajah kaget dan nada sedikit curiga, karena dia baru pindah beberapa hari yang lalu dan belum sempat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

"Haha, aku tau banyak tentang kamu chell.. Haha." Canda Revan sambil tertawa yang kemudian ditatap Michelle dengan tajam. "Gak Chell, aku hanya tebak-tebak aja, kebetulan benar. Daerah situ kan daerah favorit, jadi kupikir kamu yang dari kota pasti memilih disitu." Ujar Revan lagi memberi penjelasan karena memang tatapan Michelle membuat dia blank.

"Kamu mencurigakan sekali Van, aku harus hati-hati sama kamu deh." Timpal Michelle dengan nada curiga.

"Haha, iya benar, kamu harus hati-hati sama aku.. hahaha." Tawa Revan

"Cie.. cie.. udah dekat ya kalian, pasangan baru nih!" Tiba-tiba suara Gilang menggoda dari kejauhan yang kemudian menjadi perhatian seluruh orang didalam kelas.

"Chell, jangan percaya kata Revan. Hari ini aja kelihatan adem banget dia, biasanya sering godain cewek kelas lain tuh!" Sambung Widya ketus.

Widya merupakan ketua kelas yang selalu menegur teman-teman kelasnya yang melakukan hal aneh. Banyak teman-teman pria yang tidak menyukainya tapi mereka akan sadar betapa beruntungnya punya teman sepertia dia.

"Haha, kalian benar-benar.. tapi apa yang dikatakan mereka benar chell." Ucap Revan santai

"Wah wah, ternyata ada sisi lain dari dirimu juga ya Van.. hehe, menarik." Balas Michelle sambil tertawa seakan mengetahui rahasia besar.

Setelah itu, mereka semua bercanda didalam kelas. Revan tak hanya mengajak Gilang ngobrol namun Widya pun diajaknya bercerita bersama. Mereka bercerita, bercanda sambil menunggu bel pulang berbunyi.