01 | Gerbang Kebenaran

Majapahit, Saka 1237 (1315 Masehi).

Debu mengepul di belakang kuda Ra Semi yang bergerak mantap. Mantan panglima perang Majapahit itu memacu tunggangannya, namun pikirannya jauh melayang. Sesekali, laju kuda diperlambat, memberi kesempatan pada mata Ra Semi untuk menyapu bentangan sawah hijau yang diselingi gemericik air sungai. Pemandangan indah itu sayangnya tak mampu mengusir gurat beban yang menghiasi wajahnya. Ada kesedihan mendalam di sana, bercampur dengan kebingungan dan kemarahan yang menyesakkan dada.

Gerbang kutaraja Majapahit menjulang di hadapannya. Ra Semi menarik napas dalam, menghentikan kuda di batas ibu kota. Mendiang Prabu Sanggramawijaya, bisiknya dalam hati, pandangannya menerawang ke angkasa, Lihatlah kerajaanmu kini, sungguh agung dan luar biasa...

Kalimat itu menggantung, keraguan kembali merayap dalam benaknya. Namun...hamba tak yakin dengan nasib kerajaan ini ke depan, desahnya lirih, kekhawatiran mencengkeram hatinya.

Kuda kembali bergerak, menapaki jalanan kutaraja yang ramai. Tujuan Ra Semi adalah sebuah tempat dalam lingkungan istana yang sudah mulai dilupakan orang. Di ujung jalan, gapura batu berdiri kokoh. Ukiran-ukiran indah menghiasi setiap sisinya, namun aura megah itu berpadu dengan kesan angker yang membuat bulu kuduk meremang. Sepertinya tempat ini dulunya pernah menjadi tempat yang sangat penting.

Ra Semi kembali terdiam, menatap gapura itu lekat-lekat. Tempat ini... kenangan begitu kuat menguar dari setiap sudutnya. Mendiang Prabu, batinnya pilu, engkaulah yang membentuk Dharmaputra, dan menjadikan kami seperti sekarang.

Pertanyaan getir muncul di benaknya. Jika masih di sini, akankah engkau memerintahkan hal yang sama seperti Prabu Jayanegara? Keraguan dan kebingungan semakin menguasai hatinya. Hamba benar-benar ragu dan bingung, Mendiang Prabu...

Sosok Sanggramawijaya kembali hadir dalam benak Ra Semi. Raja pertama Majapahit sekaligus ayahanda dari Prabu Jayanegara yang kini bertahta tersebut adalah raja yang teramat bijaksana. Cintanya pada rakyat mengalir bagai sungai yang tak pernah kering, kebijaksanaannya memayungi seluruh negeri laksana langit biru yang luas.

Tak ada yang meragukan kepemimpinan Sanggramawijaya. Bukan hanya rakyat jelata, para pejabat tinggi kerajaan pun tunduk hormat dan mengaguminya. Melihat bara potensi yang menyala dalam diri Ra Semi muda—kanuragan yang mumpuni, strategi militer yang brilian, dan kecerdasan dalam memahami urusan negara—Sanggramawijaya tanpa ragu mengangkatnya, bersama enam pemuda berbakat lainnya, menjadi Pengalasan Winehsuka Dharmaputra.

Dharmaputra... bukan sekadar pasukan khusus di mata Sanggramawijaya. Mereka adalah anak-anak kesayangan raja, permata kerajaan yang diasuh dan dididik langsung oleh Sanggramawijaya. Pengabdian mereka pada Sanggramawijaya dan Majapahit tak pernah lekang, mengakar kuat di setiap nadi dan hembusan napas.

Ra Semi menghela napas panjang, kenangan indah tentang Sanggramawijaya seolah pedang bermata dua. Kerinduan pada sosok raja bijaksana itu semakin menguatkan keraguannya pada keputusan Prabu Jayanegara saat ini.

Seolah tersentak dari pusaran lamunan, Ra Semi mengerjap dan menarik napas dalam sekali lagi, menguatkan tekad yang sempat goyah. Aku harus menemui mereka, batinnya. Dengan langkah mantap, ia bergerak menuju gapura Balai Dharmaputra dan melangkah masuk ke dalam.

Ra Semi memasuki Balai Dharmaputra, matanya menyapu ruangan dan menemukan beberapa saudaranya sudah berkumpul.

"Kakang Semi." Sapa Ra Kuti dengan nada prihatin, menatap wajah Ra Semi yang tampak menyimpan beban.

Ra Wedeng, anggota Dharmaputra dengan tubuh paling besar, dan Ra Yuyu, anggota termuda yang bisu, segera mendekat dan memberi salam ke Ra Semi.

"Salam hormat, Kakang Semi." Ra Wedeng menunduk sopan, namun matanya juga menyimpan rasa ingin tahu.

"Hgggh..." Ra Yuyu hanya menggumam singkat, menundukkan kepala dalam-dalam sebagai tanda hormat.

"Kuti, Wedeng, Yuyu." Ra Semi mengangguk kecil pada ketiganya, "Maaf membuat kalian menunggu." Nada suaranya terdengar berat, mengisyaratkan pentingnya pertemuan ini.

"Kakang," Ra Kuti kembali membuka suara, "Sepertinya ada hal yang sangat penting, sampai Kakang sendiri yang harus datang ke sini." Ia menatap Ra Semi dengan intens, mencoba membaca pikiran sahabatnya itu. "Apa yang sedang Kakang pikirkan?"

Ra Semi menghela napas sebelum menjawab. "Sebenarnya... selama ini aku menyelidiki beberapa kejadian yang menurutku janggal..." Kalimatnya menggantung, membiarkan kata 'janggal' bergema di antara mereka.

Ra Wedeng dan Ra Yuyu saling bertukar pandang, keduanya terdiam, menunggu Ra Semi melanjutkan.

"Janggal?" Ra Kuti mengulang kata itu dengan kerutan di dahi, "Apa maksud Kakang?"

Tiba-tiba suara serak menginterupsi suasana tegang.

"Kukuku..." Ra Banyak muncul dari sudut ruangan, seringai selengekan menghiasi wajahnya. "Ternyata Kakang Semi sedang banyak pikiran, ya?"

Ra Pangsa yang berdiri di samping Ra Banyak langsung menyikutnya keras. "Jaga bicaramu, Banyak!" desisnya tajam.

"Kukuku... jangan mudah marah, Pangsa." Ra Banyak terkekeh pelan, "Aku hanya bercanda." Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Ra Semi dan Ra Kuti. "Maaf kami terlambat, Kakang Semi dan Kakang Kuti."

Ra Pangsa ikut menunduk hormat. "Salam hormat, Kakang Semi dan Kakang Kuti."

Ra Kuti mengabaikan salam dari Ra Banyak dan Pangsa, dan bertanya. "Di mana Tanca? Apa dia sedang mengobati seseorang?" seolah ingin semua segera hadir agar Ra Semi bisa menyampaikan perihal penting yang ada dalam benaknya.

Ra Tanca muncul dari balik pintu masuk, raut wajahnya tampak lelah namun tetap tenang. "Maaf, semuanya. Aku harus mengobati keluarga kerajaan terlebih dulu."

"Bisa dimaklumi, Tanca." Ra Semi mengangguk penuh pengertian, "Sebagai tabib istana, pasti kau sangat sibuk." Ia kembali menatap semua rekannya yang kini telah berkumpul. "Karena semua sudah berkumpul, tolong dengarkan baik-baik apa yang akan kusampaikan." Nada suaranya berubah serius, menandakan dimulainya pembahasan masalah penting yang membawanya ke Balai Dharmaputra.

"Kalian pasti masih ingat," Ra Semi memulai dengan suara berat, memecah keheningan yang sempat menggantung di Balai Dharmaputra, "pemberontakan yang pernah terjadi pada masa mendiang Sri Maharaja Nararya Sanggramawijaya?"

Ra Wedeng tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Pemberontakan Mpu Lembu Sora?"

Ra Kuti mengangguk, menambahkan, "Juga Pemberontakan Mpu Ranggalawe..."

Ra Semi menghela napas pelan. "Mpu Ranggalawe, Mpu Lembu Sora..." Ia menyebut nama-nama itu dengan nada getir, "mereka semua adalah orang-orang yang berjuang bersama Raden Wijaya jauh sebelum beliau menjadi Raja Majapahit."

"Mereka juga yang paling berjasa dalam mendirikan Majapahit dan menjadikan Raden Wijaya sebagai raja..." Kenangan akan masa lalu yang penuh perjuangan itu terpancar jelas dari sorot matanya.

Ra Tanca mengerutkan dahi, "Hmm... kenapa tiba-tiba Kakang Semi membahas pemberontakan mereka?" Ia menatap Ra Semi dengan rasa ingin tahu yang kentara.

"Kakang tidak berencana memberontak, kan?" Suara serak Ra Banyak kembali menyela, disertai kekehan kecil yang terdengar mengejek. "Kukukuku..."

Ra Pangsa, yang berdiri di dekat Ra Banyak, kembali bereaksi cepat. "Jaga mulutmu, Banyak!" bentaknya dengan nada memperingatkan.

Ra Semi mengangkat tangannya, mengisyaratkan Ra Pangsa untuk tenang. "Aku tidak sedang bercanda," ucapnya tegas, menatap tajam Ra Banyak.

Ra Banyak langsung menunduk, raut wajahnya berubah sungkan. "Ma... maaf, Kakang."

Ra Kuti kembali mengarahkan pembicaraan ke inti masalah. "Kakang, sebenarnya apa yang ingin Kakang sampaikan?" Ia menatap Ra Semi dengan penuh harap.

Ra Semi menghela napas sekali lagi, sebelum melontarkan pertanyaan yang menggelayuti benaknya. "Menurut kalian... kenapa teman seperjuangan sampai memberontak?"

Ra Tanca tampak berpikir keras, sebelum akhirnya menjawab dengan hati-hati. "Kalau menurutku, Kakang..." Ia menjeda kalimatnya, mencari kata yang tepat. "Perbedaan kepentingan."

"Hmm..." Ra Semi bergumam pelan, seolah membenarkan pendapat Ra Tanca.

Ra Tanca melanjutkan penjelasannya, "Dalam masa sulit, mereka memiliki tujuan yang sama dan berjuang bersama..." Ia menggambarkan situasi masa lalu dengan jelas.

"Tapi setelah semuanya tercapai, dan mereka terbebas dari masa sulit..." Ra Tanca menarik napas, "tidak ada lagi kesamaan yang mengikat mereka."

"Kepentingan mereka berubah," pungkas Ra Tanca, "Dan masing-masing mulai memperjuangkan kepentingannya sendiri..." Penjelasan Ra Tanca itu menggantung di udara, menimbulkan keheningan yang penuh makna di antara mereka.

"Jika benar yang kau katakan tadi, Tanca..." Ra Semi mengangguk pelan, menyetujui pendapat rekannya, "bahwa yang menyebabkan perpecahan adalah perbedaan kepentingan..." Ia kembali menatap rekan-rekannya dengan sorot mataMenusuk. "Lantas kepentingan siapa yang benar, dan kepentingan siapa yang salah?" Pertanyaan itu menggantung di udara, menuntut jawaban yang tak mudah diucapkan.

Ra Tanca mengangkat bahu, raut wajahnyaSendu. "Benar atau salah..." ia memulai dengan suara lirih, "tergantung bagaimana orang memandangnya..."

"Terlebih lagi..." lanjut Ra Tanca, "orang mati tidak dapat bicara. Orang yang masih hiduplah yang bisa bercerita..." Kalimatnya sarat akan makna tersembunyi, menyiratkan ketidakadilan sejarah.

"Benar sekali..." Ra Semi menyetujui dengan nada getir. "Terlebih jika yang masih hidup itu memiliki kekuasaan..." Ia menghela napas dalam, keraguan kembali memenuhi benaknya. "Dan pertanyaan berikutnya... apakah yang mereka lakukan benar-benar pemberontakan? Ataukah hanya kisah yang diceritakan oleh mereka yang berkuasa?" Pertanyaan itu terasa berat, menggugat kebenaran sejarah yang selama ini mereka yakini.

Ra Kuti tiba-tiba menyela dengan nada khawatir. "Maaf, Kakang Semi dan Tanca." Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling Balai Dharmaputra, seolah memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. "Sebaiknya kita berhati-hati dengan ucapan kita. Meskipun kita berada di Balai Dharmaputra... dinding pun memiliki telinga." Peringatan Ra Kuti itu menyadarkan mereka akan bahaya yang mengintai.

Ra Pangsa mengangguk setuju, raut wajahnya tegang. "Kakang Kuti benar. Kita harus berhati-hati. Jangan sampai kita dituduh merencanakan makar." Kekhawatiran akan tuduhan palsu terpancar jelas dari suaranya.

Ra Banyak menambahkan dengan gayanya yang selengekan, namun kali ini dengan sentuhan kekhawatiran yang tak dibuat-buat. "Meskipun Kakang Semi bukan lagi Rakryan Tumenggung, aku yakin masih banyak pihak yang memata-matai Kakang." Ia sedikit memajukan tubuhnya, seolah berbisik namun cukup keras untuk didengar semua orang. "Terlebih sekarang ada Bhayangkara yang semakin gencar bersaing dengan Dharmaputra, dan berusaha mendapatkan simpati Baginda Raja." Nada suaranya berubah menjadi lebih serius, meskipun seringainya tetap tak hilang dari wajahnya.

Ra Semi terdiam sejenak, merenungkan masa lalunya dengan jabatan yang pernah disandangnya. "Jabatan panglima perang itu..." Ia menghela napas berat, "Sebenarnya sebuah beban berat bagiku dulu."

"Aku jadi mengetahui banyak hal," lanjut Ra Semi dengan suara tertekan, "yang tak ingin aku ketahui..." Rasa pahit terdengar jelas dalam setiap katanya.

"Dulu, sebagai Rakryan Tumenggung, tentu saja prioritas utamaku adalah titah Raja..." Ra Semi mengucapkan kalimat itu dengan nada terpaksa, seolah ada pertentangan dalam dirinya. "tetapi sebagai ksatria, aku tidak bisa mengabaikan kebenaran yang kuketahui..." Konflik batin antara kewajiban dan hati nurani terpancar kuat dari ucapannya.

Ra Tanca terdiam mendengar ucapan Ra Semi, dan seolah menangkap sesuatu yang penting.

"Aku sempat berpikir..." Ra Semi menarik napas dalam, raut wajahnya semakin gelisah, "jika mereka yang telah berjasa begitu besar saja berakhir tragis..."

"apalagi kita yang hanya pengalasan." Ra Semi mengakhiri kalimatnya dengan nada pasrah, namun tersirat pula tekad tersembunyi.

Ra Kuti terdiam, tak mampu berkata-kata. Pikiran-pikiran yang diungkapkan Ra Semi terasa berat dan mengkhawatirkan. Keheningan kembali menguasai Balai Dharmaputra, diiringi ketegangan yang semakin pekat.

"Aku semakin yakin..." Ra Semi berucap dengan suara lirih namun penuh keyakinan, "sejarah akan berulang." Raut wajahnya gelap, seolah melihat bayangan buruk di masa depan.

"Dalam waktu dekat..." lanjutnya, nada suaranya semakin menurun, menciptakan atmosfer yang menegangkan.

"Kita akan kehilangan lagi pahlawan yang sangat berjasa bagi Majapahit." Kalimat terakhir Ra Semi terucap berat, menggantung di udara seperti ramalan buruk.

Ra Kuti terkesiap, matanya membulat menatap Ra Semi. "Pahlawan...?" Ia menelan ludah, keraguan terpancar jelas di wajahnya. "Jangan bilang yang Kakang maksud adalah... Mpu Nambi!?" Pertanyaan itu terlontar dengan nada cemas yang teramat sangat.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan Ksatria Sang Raja

Ingin tahu lebih dalam tentang dunia Ksatria Sang Raja? Bagian ini akan membahas istilah dan latar sejarah yang muncul dalam cerita.

1. Pendiri Majapahit: Nararya Sanggramawijaya yang dikenal juga sebagai Raden Wijaya atau Dyah Wijaya. Gelar penobatan (Abhiseka) Raden Wijaya saat menjadi raja adalah Sri Kertarajasa Jayawardhanantawikramattungga atau Sri Kertarajasa Jayawardhana atau Sri Maharaja Nararya Sanggramawijaya.

2. Raja kedua Majapahit: Menjadi raja di usia 15 tahun, Sri Jayanegara menggantikan ayahandanya Nararya Sanggramawijaya yang meninggal tahun 1309 Masehi. Gelar kehormatannya adalah Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.

3. Panggilan Kehormatan: Mpu atau Pu adalah sebutan kehormatan untuk tokoh yang dihormati.

4. Gelar Pejabat: Ra adalah singkatan dari Rakryan, gelar bagi pejabat tinggi kerajaan Majapahit.

5. Dharmaputra Winehsuka: Pasukan Khusus Raja. Ini adalah pasukan elite yang terdiri dari tujuh pemuda pilihan, yang dibentuk langsung oleh Sri Kertarajasa untuk menjaga kerajaan.

6. Ra Semi: Awalnya anggota Dharmaputra, Ra Semi sempat menjabat sebagai Rakryan Tumenggung (Panglima Perang). Setelah Sri Kertarajasa wafat, ia memilih mundur dan kembali ke Dharmaputra.

7. Penghitungan tahun Saka dan Masehi memiliki selisih 78 tahun. Saka 1237 setara dengan 1315 Masehi.