02 | Ketika Tombak dan Pedang Berbicara

"Perlu alasan yang besar dan logis," Ra Semi mengangguk pelan, membenarkan kekhawatiran Ra Kuti, "untuk bisa membenarkan tindakan menyerang dan membunuh pahlawan yang sangat berjasa bagi kerajaan ini..." Ia menjeda kalimatnya, memberi penekanan pada kata-kata yang terucap.

"Dan alasan itu adalah melindungi kerajaan ini dari ancaman pemberontak." Jawaban Ra Semi terdengar pahit, menyiratkan kepahitan realita politik.

"Mpu Nambi...?" Ra Kuti mengulang nama itu dengan nada tak percaya. "Pemberontak...?" Ia menggeleng lemah, menolak mempercayai kemungkinan tersebut.

"Setidaknya, itulah cap yang akan dilekatkan pada beliau," sahut Ra Semi dengan nada sinis, "itulah cara kekuasaan bekerja."

Ra Tanca menghela napas panjang, raut wajahnya muram. "Sayangnya beliau meninggalkan Majapahit dan memilih menjalani hidupnya di Lamajang Tigang Juru setelah ayah beliau, Mpu Wiraraja meninggal dunia." Ia mengingatkan kembali keputusan Mpu Nambi yang mungkin disalahartikan.

"Apakah mungkin hal tersebut yang membuat Majapahit merasa dikhianati?" Ra Tanca bertanya dengan nada penuh keraguan, mencoba mencari alasan logis di balik kemungkinan buruk ini.

Ra Pangsa menimpali dengan nada bingung dan tak setuju. "Bukankah waktu itu beliau mundur dengan restu dari Prabu Sanggramawijaya sendiri...?" Ia mengingatkan kembali persetujuan raja terdahulu. "Apa itu masih dianggap pengkhianatan?" Ra Pangsa menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan jalan pikiran kerajaan.

"Beliau hanya ingin melanjutkan tugas mendiang ayahnya untuk mengurus Lamajang Tigang Juru," Ra Pangsa menambahkan dengan nada membela Mpu Nambi.

Ra Banyak tiba-tiba menyela dengan nada selengekan yang khas. "Selama hampir 16 tahun di bawah kepemimpinan Mpu Nambi, Lamajang Tigang Juru berkembang pesat..." Ia menjeda kalimatnya, memberi penekanan pada kemajuan Lamajang.

"Bisa jadi hal ini dianggap sebagai ancaman bagi beberapa pihak, termasuk Majapahit," pungkas Ra Banyak, menyuarakan kemungkinan motif politik yang tersembunyi.

Ra Kuti menggebrak meja dengan geram, emosinya meluap. "Apapun alasannya, jika tidak ada bukti nyata bahwa mereka akan memberontak, tidak sepatutnya mereka diserang!" Suaranya bergetar menahan amarah.

"Kita harus mencegah hal ini, Kakang!" Ra Kuti menatap Ra Semi dengan mata penuh tekad.

"Bagaimana kamu akan mencegahnya, Kuti?" Ra Semi bertanya dengan nada lembut namun pesimis, seolah sudah mengetahui jawabannya.

"Kita jelaskan situasi ini kepada Mpu Nambi," jawab Ra Kuti dengan cepat, "dan kemudian membawanya ke tempat persembunyian yang aman." Ia mencari solusi cepat dan praktis.

Ra Semi tersenyum kecut, gelengan kepalanya mengisyaratkan keraguan. "Kau sendiri yang mengatakan bahwa beliau adalah kesatria yang menjunjung tinggi kehormatan..." Ia mengingatkan sifat Mpu Nambi yang mungkin menjadi penghalang rencana mereka.

"Apa menurutmu beliau akan bersedia meninggalkan rakyatnya untuk menyelamatkan diri?" Ra Semi melontarkan pertanyaan retoris yang membuyarkan harapan Ra Kuti.

Ra Kuti terdiam, raut wajahnya meredup. "Kakang benar..." Ia mengakui kebenaran kata-kata Ra Semi. "beliau tidak akan bersedia."

"Kalau begitu, kita beritahu Mpu Nambi agar bisa menentukan tindakan yang harus dilakukan," Ra Kuti kembali mencari alternatif lain, meskipun terdengar semakin putus asa.

"Jika Mpu Nambi mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi serangan dari Majapahit," Ra Semi menjelaskan dengan nada berat, "hal itu akan semakin memperkuat tuduhan bahwa mereka akan memberontak." Ia menguraikan konsekuensi buruk dari rencana tersebut.

"Selain itu, nyawa kalian akan menjadi taruhannya..." Ra Semi menambahkan dengan nada khawatir, memikirkan keselamatan rekan-rekannya.

"Nyawa... kami?" Ra Kuti kembali terkesiap, kali ini dengan nada heran.

"A...apa maksud, Kakang?" Ra Kuti bertanya dengan gugup, mencoba mencerna perkataan Ra Semi.

"Rencana penyerangan ini hanya diketahui oleh Baginda Raja, Rakryan Mapatih, Rakryan Tumenggung, dan aku selaku pemimpin Dharmaputra." Ra Semi mengungkapkan informasi penting ini dengan nada datar, namun tatapannya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam.

"Jika sampai informasi ini diketahui pihak luar," lanjut Ra Semi, "akulah yang pertama akan dicurigai.

"Aku tidak khawatir jika hanya aku yang harus bertanggung jawab," Ra Semi menegaskan dengan nada sungguh-sungguh, mengabaikan pertanyaan Kuti sejenak, "tetapi aku tidak mau jika kalian juga harus menanggung akibatnya." Ia menunjukkan kepeduliannya pada saudara-saudaranya.

"Hal yang menarik," Ra Semi menambahkan, sebuah senyum sinis tipis mengulas bibirnya, "akulah yang ditunjuk memimpin penyerangan, bukan Rakryan Tumenggung."

Anggota Dharmaputra lainnya sontak terkejut. Keheranan dan pertanyaan langsung terpancar dari wajah mereka. "Kenapa Kakang yang harus memimpin?" sahut Kuti dengan nada heran bercampur kesal.

"Seandainya aku tidak pernah menjadi Rakryan Tumenggung..." Ra Semi menghela napas lelah, penyesalan terdengar dalam desahannya, "aku tidak perlu menghadapi semua ini." Ia mengakhiri kalimatnya dengan nada pasrah dan frustasi.

Ra Pangsa mencoba memberikan solusi yang terdengar naif. "Kakang, bagaimana kalau kakang mohon pada Baginda Raja untuk mempertimbangkannya lagi?"

"Sayangnya..." Ra Semi menjawab dengan gelengan kepala lemah, "ini bukanlah hal yang baru saja direncanakan, Pangsa." Ia membuyarkan harapan terakhir Ra Pangsa.

"Maksud, Kakang!?" Ra Pangsa bertanya dengan nada terkejut dan penasaran.

"Entah kenapa, aku merasa semua ini sudah direncanakan sejak lama..." Ra Semi berkata lirih dengan raut wajah misterius, "bahkan sejak masa awal kerajaan ini berdiri." Kalimat itu terucap pelan namun menusuk kalbu, mengisyaratkan konspirasi yang mengerikan.

"Apa yang terjadi pada Mpu Ranggalawe, Mpu Sora, dan yang akan terjadi pada Mpu Nambi nanti," Ra Semi menarik napas dalam, "memiliki benang merah yang tidak mungkin disebut kebetulan." Ia menjelaskan pola yang terlihat jelas di matanya.

"Mereka semua adalah teman seperjuangan Prabu Sanggramawijaya..." Ra Semi kembali menekankan persahabatan erat yang berakhir tragis.

"Mereka adalah pahlawan bagi kerajaan ini, tetapi dianggap pemberontak di akhir hayat mereka..." Nada suaranya bergetar menahan emosi yang berkecamuk.

"Dan yang lebih tragis lagi..." Ra Semi mengakhiri penjelasannya dengan kalimat yang paling menyakitkan.

"Mereka adalah keluarga!" "Mpu Ranggalawe dan Mpu Nambi adalah anak dari Mpu Wiraraja, dan keponakan dari Mpu Lembu Sora." Ra Semi menyelesaikan penjelasannya, meninggalkan keheningan yang penuh dengan kengerian dan kesadaran akan tragedi yang akan datang.

Ra Tanca mengungkap analisis di kepalanya dan memecah keheningan, "Jadi bukan hanya Mpu Nambi yang akan disingkirkan, tetapi Kakang Semi juga?"

Ra Semi tampak sedikit kaget dengan pertanyaan Tanca, namun dia mengangguk dan membenarkannya.

Ra Kuti menyela, "Apa maksudmu, Tanca?"

Ra Tanca melanjutkan menjelaskan, "Dari penjelasan Kakang Semi tadi aku menangkap bahwa keberadaan Kakang Semi, sama seperti Mpu Nambi, merupakan ancaman bagi penguasa sekarang."

Semuanya hanya terdiam, belum bisa memahami apa yang disampaikan Ra Tanca.

Ra Tanca melanjutkan bertanya, "Apakah Kakang Semi dan Mpu Nambi mengetahui sebuah kebenaran yang jika terungkap akan mengancam penguasa sekarang?"

Ra Semi seolah ingin mengiyakan dan menjawab pertanyaan Ra Tanca, tapi alih alih dia berkata, "Aku sudah menyampaikan apa yang menjadi kegalauan dalam pikiranku," Ra Semi mengakhiri ucapannya dengan nada pasrah, matanya menatap lembut setiap rekan Dharmaputra-nya. "Sekarang waktunya berpamitan kepada kalian semua, keluargaku..." Kalimat itu terucap berat, seolah mengucapkan selamat tinggal terakhir.

"Aku sudah menyampaikan apa yang menjadi kegalauan dalam pikiranku," Ra Semi mengakhiri ucapannya dengan nada pasrah, matanya menatap lembut setiap rekan Dharmaputra-nya.

"Sekarang waktunya berpamitan kepada kalian semua, keluargaku..." Kalimat itu terucap berat, seolah mengucapkan selamat tinggal terakhir.

"Kakang!?" Seru serempak Dharmaputra, raut wajah mereka terkejut dan tak percaya mendengar kata-kata perpisahan dari pemimpin mereka.

Ra Semi tersenyum tipis, namun kesedihan tetap terpancar jelas di matanya. "Entah apa yang akan terjadi esok..." Ia menghela napas dalam, pasrah pada takdir yang menanti.

"Seorang Dharmaputra meninggal, seorang pahlawan meninggal, atau keduanya," ucapnya lirih, menyuarakan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

"Kuharap Dharmaputra tetap bersatu dan menjaga Majapahit," lanjut Ra Semi dengan nada penuh harapan, meskipun terdengar pula keraguan di dalamnya.

"Kuti..." Ra Semi memanggil nama Ra Kuti dengan suara lembut namun penuh penekanan.

"Kakang..." Ra Kuti menyahut dengan nada bergetar, matanya berkaca-kaca menatap Ra Semi.

"Sebagai pemimpin Dharmaputra," Ra Semi berbicara dengan nada sungguh-sungguh, "kuharap kamu bisa menjaga kerajaan ini dan saudara-saudaramu." Ia mewariskan tanggung jawab besar pada Ra Kuti.

"Keputusan apa pun yang kamu ambil setelah kepergianku," Ra Semi menjeda kalimatnya, memberi penekanan pada kata-kata terakhirnya, "aku berharap itu semua demi menjaga kehormatan Majapahit dan Dharmaputra!" Pesan itu terdengar sebagai amanat terakhir yang harus dijaga.

"Prabu Sanggramawijaya sendiri yang telah memilih kita untuk menjadi Dharmaputra," Ra Semi mengingatkan kembali asal-usul mereka, "pasukan khusus untuk menjaga keutuhan kerajaan ini..."

"Kita tidak boleh mengecewakan beliau!" Ra Semi menegaskan dengan nada penuh tekad, meskipun di balik ketegasan itu tersirat kesedihan yang mendalam.

"Aku tidak akan melupakan pesan Kakang," sahut Ra Kuti dengan suara terbata-bata, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Tanca..." Ra Semi mengalihkan pandangannya pada Ra Tanca.

"Siap menerima perintah, Kakang!" Ra Tanca menjawab dengan tegar, meskipun raut wajahnya tak mampu menyembunyikan kesedihan.

"Tetaplah fokus pada bidangmu, pengobatan," Ra Semi memberi pesan khusus pada Ra Tanca, "Jangan berurusan dengan kekuasaan jika tidak terpaksa!" Ia mengingatkan Ra Tanca untuk menjauhi pusaran politik yang berbahaya.

"Tetapi, Kakang..." Ra Tanca menyanggah dengan nada berat, "aku adalah bagian dari Dharmaputra. Apa pun yang menjadi urusan Dharmaputra adalah urusanku juga." Loyalitas pada Dharmaputra mengalahkan segalanya.

"Anggaplah ini permintaan terakhirku, Tanca," Ra Semi memohon dengan nada lirih, "Permintaan seorang kakak kepada adiknya." Ia menggunakan hubungan persaudaraan mereka untuk meyakinkan Ra Tanca.

"... Baik, Kakang," Ra Tanca akhirnya mengalah, mengucapkan persetujuan dengan berat hati.

"Pangsa, Banyak, Wedeng..." Ra Semi kembali mengalihkan pandangannya, kali ini pada ketiga rekannya yang lain, "Ikutilah perintah Kuti, dan jaga adik kalian, Yuyu. Yuyu yang termuda di antara kita, dia berhak untuk menjalani hidup lebih baik dari kita." Ia menunjukkan kepeduliannya pada semua saudaranya, terutama pada Yuyu yang paling muda.

"Kakang!" Seru Ra Pangsa, Ra Banyak, dan Ra Wedeng serempak, raut wajah mereka penuh kesedihan dan kekhawatiran.

"..." meski tak bisa berkata apa pun raut muka Ra Yuyu menunjukkan emosi yang sama dengan saudara-saudaranya.

"Kakang..." Ra Kuti kembali bersuara, nada suaranya bergetar menahan tangis.

"Jika sesuatu terjadi pada Kakang," Ra Kuti mengucapkan sumpah dengan nada penuh amarah dan tekad, "aku bersumpah tidak akan ada yang bisa menghentikanku untuk balas dendam!" Loyalitas dan cinta pada kakaknya mendorongnya untuk mengucapkan sumpah tersebut.

Membalaskan dendam? jeda Semi dalam pikirannya, Itulah Kuti yang kukenal, selalu meledak-ledak dan tidak berpikir panjang.

Ra Semi tersenyum kecil mendengar sumpah Ra Kuti. "Saat waktu itu tiba, aku sudah tidak bisa bahkan hanya untuk berucap satu kata pun..."Ra Semi menghela napas panjang dan melanjutkan "apalagi mencegahmu."

Aku tidak bisa mencegahmu, tapi setidaknya aku bisa mengarahkanmu agar tindakanmu tidak sia-sia dan membahayakan lainnya, pikir Semi sembari merencanakan sesuatu. 

Tiba-tiba, Ra Semi berdiri tegak, meraih tombak pendek yang tersandar di sudut balai. Sorot matanya berubah—lebih tajam dari sebelumnya, namun kehangatan seorang kakak masih terpancar di sana. "Kuti," panggilnya dengan suara mantap, "kapan terakhir kali kita latih tanding? Aku ingin melihat perkembanganmu."

Ra Kuti mengerutkan kening, kebingungan jelas tergambar di wajahnya atas ajakan mendadak itu. "Latih tanding, Kakang? Sekarang?"

"Ambil pedangmu!" jawab Ra Semi singkat, kemudian berjalan dengan penuh keyakinan menuju tengah halaman. "Bagi ksatria, tombak dan pedang seringkali lebih bisa menyampaikan pesan daripada mulut kita.

Tanpa ragu, Ra Kuti menuruti perintah. Ia meraih pedangnya, jantungnya berdebar penasaran sekaligus waspada. Bersiap menghadapi Kakangnya, Ra Kuti merasakan atmosfer di halaman Balai Dharmaputra berubah—ketegangan yang tadi mencekam kini bergeser menjadi fokus dan antisipasi arena latihan yang serius.

Saat pedang dan tombak mereka beradu, dentingan logam nyaring saling bersahutan, memecah keheningan yang tercipta sebelumnya. Gerakan Ra Semi begitu lincah dan terukur, setiap serangan dan tangkisannya diperhitungkan dengan matang. Ra Kuti berusaha keras mengimbangi, namun semakin ia bertarung, semakin kuat ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari latihan kali ini. Serangan Ra Semi bukan hanya sekadar menguji kemampuan—ada pesan tersembunyi yang tersirat di balik setiap gerakannya.

"Ingat Kuti," ucap Ra Semi di sela desingan senjata, suaranya rendah namun sarat makna, "seorang ksatria sejati tidak hanya mengandalkan kekuatan otot semata..."

...tapi juga kecerdasan pikiran, sambung Ra Semi dalam hati. Ia sengaja memberikan petunjuk secara tersirat, menguji kepekaan dan intuisi adiknya.

"Kecerdasan pikiran?" Ra Kuti mengulang perkataan Kakangnya, sedikit terengah-engah saat menangkis serangan bertubi-tubi dari Ra Semi. Ia berusaha keras mencerna maksud tersembunyi di balik kata-kata Kakangnya di tengah intensitas latihan yang menguras tenaga.

"Ya," jawab Ra Semi, kembali melancarkan serangan dengan gerakan memutar tombak yang mematikan, "terkadang, kebenaran tidak terlihat secara langsung. Kita harus mampu membaca yang tersirat, Kuti..."

"Kita telah bersumpah setia dan patuh pada raja..." Semi melanjutkan seraya melancarkan serangan keras bertubi-tubi yang membuat Kuti terpukul mundur beberapa langkah. "tapi kita juga harus memastikan bahwa orang yang kita patuhi tersebut benar-benar raja." Dentingan logam yang beradu semakin intens, seolah sengaja menyamarkan ucapan Ra Semi agar tidak tertangkap telinga anggota Dharmaputra lain yang menyaksikan latih tanding mereka dari pinggir balai.

Semi segera menyusul serangannya yang pertama dengan rangkaian serangan lain yang tak kalah mematikan, seraya berdesis penuh penekanan, "Paling tidak... dia pantas disebut raja, Kuti."

Kuti dengan sigap berhasil menghindari serangan-serangan tersebut, namun dahinya berkerut dalam. Bukan karena kesulitan mengantisipasi serangan Kakangnya, melainkan karena ia dipaksa keras memutar otak, memikirkan setiap perkataan Ra Semi yang terasa janggal dan penuh teka-teki.

"Maksud Kakang... Prabu Jaya..." Kuti mencoba bertanya pada Ra Semi, namun kalimatnya terputus karena Kakangnya kembali menyerang dengan brutal, tak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan pertanyaan.

Kali ini Semi berlari cepat, melompat tinggi ke arah Kuti dan melakukan tusukan tombak yang mematikan, seraya berteriak lantang, "Jangan banyak tanya, Kuti!"

"Dengarkan! Amati! Pikirkan! Dan tentukan langkahmu! Itu yang harus selalu dilakukan dalam pertarungan—dan dalam kehidupan!" Ucap Semi dengan suara menggelegar, sembari mengubah kuda-kudanya, kembali bersiap menyerang.

Kuti, tanpa membalas perkataan Kakangnya, langsung melesat cepat ke arah Semi dan melancarkan serangan pedang bertubi-tubi yang agresif. Serangan mendadak itu membuat Ra Semi terdesak, hanya bisa bertahan dan bergerak mundur untuk menghindari terjangan pedang adiknya.

Setelah tercipta jarak aman di antara mereka berdua, Kuti akhirnya bersuara, "Aku paham, Kakang." Nada suaranya terdengar lebih mantap, seolah ia mulai menangkap inti dari pesan Kakaknya.

Senyum tipis namun penuh arti tersungging di bibir Ra Semi. Ia segera mengubah kuda-kudanya, bersiap untuk kembali menyerang. Dengan senyum bahagia—senyum seorang guru yang puas melihat muridnya mulai mengerti—ia berkata, "Bagus, Kuti. Sekarang adalah giliranku untuk menyerang. Kamu hanya perlu mengamati. Jika giliranmu tiba, lakukanlah seranganmu dengan cepat dan tepat!" Ra Semi mengakhiri perkataannya dengan sebuah lompatan tinggi ke arah Ra Kuti, menghujamkan tombak pendeknya dengan sekuat tenaga, mengerahkan seluruh kemampuan kanuragannya.

Kuti dengan sigap menangkis serangan tombak Kakangnya. Pedang dan tombak kembali beradu kekuatan, senjata mereka saling bergesekan dengan suara memekakkan telinga. "Kuti, kamu sudah melihat semua gerakanku," desis Ra Semi di tengah desingan senjata, "Pikirkan langkahmu, dan serang dengan tepat dan cepat!"

"AGNI DAHANA. SHOKA!" Ra Kuti merapal jurusnya, dan seketika api merah menyala melapisi pedangnya. 

Ra Semi membelalakan matanya sesaat, kemudian tersenyum dan berkata, "Bagus, akhirnya kamu mulai serius, Kuti. Ajian Agni Dahana tingkat satu. Serang aku, Kuti!

"Hrryaaaaaa!" Ra Kuti membalas perkataan Ra Semi dengan teriakan membahana, melancarkan serangan balasan yang dahsyat, kuat, dan cepat—tanpa ampun, tidak menyisakan celah sedikit pun bagi Ra Semi untuk menghindar. Serangannya seperti meluapkan kesedihan yang terpendam terlalu lama. Meski bisa menahan serangan itu, Ra Semi tampak kewalahan.

"Kusarankan Kakang juga mulai serius. Aku ingin menjajal ajian Tirta Amerta kakang." ujar Ra Kuti setelah melancarkan jurusnya.

"Kukabulkan keinginanmu, Kuti. TIRTA AMERTA. PRARTHANA!" tampak semburat cahaya putih kebiruan menyelimuti tubuh Ra Semi usai dia merapal jurusnya. 

Lancaran serangan Ra Kuti yang cepat dan kuat bisa diimbangi oleh Ra Semi yang sekarang gerakannya tampak lebih cepat dari sebelumnya. Setelah beberapa kali bertukar serangan, Ra Kuti mulai tampak kehilangan kesabaran karena serangannya dipecundangi oleh Ra Semi. Insting bertarung dan kemarahannya mendorongnya merapal ajian Agni Dahana langsung ke tingkat tiga.

"Rudra?" ucap Semi yang tidak menyangka Kuti akan menyerangnya dengan ajian itu. "Kekuatannya luar biasa, tapi dia belum bisa sepenuhnya mengendalikannya."

Tangan Ra Kuti mulai diselimuti api yang menyala, dan kobaran api pedangnya semakin besar. Nampak kejanggalan di matanya, seakan perlahan matanya mulai menghitam. 

Tampak ketegangan muncul di raut muka anggota Dharmaputra yang lain, kecuali Tanca. Dia memperhatikan dengan seksama dan seolah sedang menganalisis sesuatu.

Ra Semi segera melesat memendekan jarak tepat di depan Ra Kuti menggunakan Prarthana, dan seketika merapal ajian Tirta Amerta tingkat dua.

"SAMANAM!" Ra Semi menempelkan telapaknya ke dada Ra Kuti dan seketika kobaran api di tangan dan pedangnya membeku. Ra Semi melompat beberapa langkah ke belakang seraya berucap "Untunglah tidak terlambat." seakan merasa lega. Belum ada satu detik dia selesai berucap, sebuah tebasan gelombang api menghampirinya dengan sangat cepat. Tidak sempat menghindar, dia menahan serangan itu dengan merentangkan tombaknya dan merapal "RAKSANA!". Belum sempurna ajian itu mengaliri tombaknya dengan tenaga pelindung, tebasan gelombang api itu sudah mengenainya.

Srakkk!

Tombak pendek Ra Semi terhempas dari genggamannya, terpelanting sebelum akhirnya menancap dalam-dalam di tanah. Bersamaan dengan itu, Ra Kuti mengakhiri serangannya dengan ucapan penuh keyakinan, "Aku paham dan akan mematuhimu, Kakang."

Ra Tanca merasa ada yang aneh tapi belum bisa memahaminya, Entah kenapa ada yang aneh dengan Raksana Kakang Semi... Mungkin hanya perasaanku, pungkasnya.

"Bagus. Kecerdasan pikiran seorang ksatria adalah kemampuannya untuk melihat kebenaran di balik kepalsuan." Ra Semi tertawa puas—tawa lega bercampur bangga. "Kukira kamu hilang kendali dan akan membunuhku, Kuti." 

"Tidak mungkin, Kakang. Aku sudah menguasi Agni Dahana sampai tingkat lima dengan sempurna." timpal Ra Kuti diikuti dengan tawa keduanya.

Ra Semi mendekat dan menepuk bahu Ra Kuti dengan rasa bangga, lalu berbalik meninggalkan saudara-saudaranya dengan langkah ringan. Perasaan puas melingkupi hatinya, seolah ia baru saja menunaikan sebuah misi besar yang sangat penting. Di balik punggungnya, Ra Kuti terdiam, menatap kepergian Kakaknya dengan tatapan penuh arti—kesadaran pahit mulai merayap dalam benaknya, benih kebenaran yang ditanam Ra Semi kini mulai bersemi dan berakar kuat.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan Ksatria Sang Raja

1. AGNI DAHANA: Agni Dahana berarti Api yang Membakar. Ajian Elemen Api yang dimiliki Ra Kuti. Ajian ini memiliki beberapa tingkatan dengan keunikan dan kekuatannya masing-masing.

2. SHOKA: Shoka berarti kesedihan. Ajian Agni Dahana tingkat 1 ini membuat semua senjata yang dipegang Ra Kuti diselimuti elemen api yang membara. Selain membuat senjata yang digunakan semakin ringan, ajian ini juga memberikan tambahan daya rusaknya. Shoka berarti kesedihan.

3. RUDRA: Dewa badai, kemarahan, dan kehancuran. Ajian Agni Dahana tingkat 3 ini terpicu secara otomatis ketika penggunanya marah. Tergantung tingkat kemarahannya kekuatan yang dihasilkan berbeda-beda dengan konsekuensi kehilangan kesadarannya. Semakin besar kemarahan penggunanya, semakin besar kekuatan yang didapatkan, dan semakin besar juga dia akan kehilangan kesadaran dan pada akhirnya akan membabi buta menyerang dan menghancurkan semua di sekitarnya. Ra Semi sepertinya menguasai ajian ini sampai tingkat kemarahan tertentu sehingga masih bisa mengendalikan kesadarannya.

4. TIRTA AMERTA: Tirta Amerta berarti Air Keabadian. Ajian Elemen Air yang dikuasai oleh Ra Semi. Ajian ini memiliki beberapa tingkatan dengan keunikan dan kekuatannya masing-masing.

5. PRARTHANA: Prarthana berarti doa. Ketika merapal ajian Tirta Amerta tingkat 1 ini tubuh Ra Semi akan diselimuti semburat cahaya putih kebiruan yang membuatnya bisa bergerak lebih cepat dan pandangannya menjadi lebih tajam.

6. SAMANAM: Samanam berarti ketenangan, keselarasan, keseimbangan. Dengan ajian Tirta Amerta tingkat 2 ini Ra Semi bisa menghilangkan keinginan bertarung musuhnya, menenangkan hati dan pikiran yang kacau, bahkan membekukan sesuatu termasuk api. Pada tingkatan yang lebih tinggi, ajian ini bisa membuat musuh kehilangan keinginan untuk hidup.

7. RAKSANA: Raksana berarti perlindungan. Ajian Tirta Amerta tingkat 3 ini bisa mengalirkan energi perlindungan pada benda apapun. Setelah tersalur sempurna, maka benda tersebut bisa dijadikan perisai untuk menahan serangan fisik maupun tenaga dalam. Sayangnya butuh waktu untuk mengalirkan energinya ke suatu benda tergantung ukuran bendanya. Jurus ini melindungi dari tiga hal: doṣa (kesalahan dan keburukan), vināśa (kehancuran) and avaṣṭabdhi (ketergantungan). Raksana yang digunakan dalam pertarungan dengan Ra Kuti ini kemungkinan adalah perlindungan dari vināśa (kehancuran).