"Aku tidak mencintaimu seperti orang biasa mencintai. Aku menyembahmu dalam diam."
♕♕♕♕
Aku berdiri di ambang pintu, menatap ruangan yang selama ini menjadi rahasiaku. Cahaya lampu temaram menyinari setiap sudut, memantulkan bayanganku di standee berukuran asli Rei yang berdiri tegak di tengah ruangan.
Jariku menyentuh permukaannya, membelai lembut wajahnya, seolah memastikan bahwa dia ada di sini bersamaku—walau hanya dalam bentuk replika.
Aku gak bisa bilang ini cinta biasa, kan, Rei? Tapi aku gak pernah ingin menyakitimu. Aku cuma... takut kehilangan kamu. Sangat takut.
Ruangan ini... adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa bernapas dengan tenang. Dinding di sekelilingku adalah altar pemujaan yang kubangun selama satu dekade. Setiap foto Rei adalah kepingan nyawaku yang tersimpan rapi—saat dia tertawa, termenung, berjalan sendirian di tengah hujan, bahkan saat tertidur di ranjangnya sendiri. Aku memiliki semuanya. gak ada momen yang terlewat.
Aku tahu kapan dia tersenyum tulus dan kapan dia hanya berpura-pura. Aku tahu kapan dia merasa takut, kapan dia merasa kesepian. Aku tahu segala hal tentangnya—lebih dari yang dia tahu tentang dirinya sendiri.
Aku mendekat ke rak paling atas. Di sana ada salah satu foto yang paling kusuka—Rei sedang berdiri di halte bus, senyum samar tergambar di wajahnya.
Aku menyentuh bagian fotonya pelan-pelan. "Hari itu kamu senyum, tapi aku tahu itu senyum palsu. Siapa yang bikin kamu begitu pandai pura-pura, Rei?"
Aku menatap lebih lama. "Kalau aku tahu siapa yang ajarin kamu menyembunyikan luka di balik senyum... aku bakal pastikan dia gak bisa nyakitin siapa pun lagi. Termasuk kamu."
Aku segera mencetak foto Rei yang kudapatkan pagi ini. Kali ini dia memakai baju berwarna light gray. Warna yang gak biasa untuknya, tapi entah kenapa dia terlihat manis... sekaligus rapuh.
Pasti dia mimpi buruk lagi. Wanita itu pasti menghantuinya lagi. Rahangku mengeras. Tangan kananku mengepal di sisi tubuhku, menahan amarah yang mendidih di dada. Kenapa wanita itu gak bisa membiarkan Rei tenang?
Aku pernah melihat Rei terbangun dari mimpi buruknya. Malam itu aku berdiri di luar jendela rumahnya, menatap siluet tubuhnya yang gemetar di balik tirai tipis. Dia menangis—bukan tangisan biasa, tapi tangisan seseorang yang sedang berjuang untuk gak hancur.
Aku ingin masuk ke sana, memeluknya, menenangkan dia, menyuruhnya berhenti menangis karena aku ada di sini, tapi aku tahu, aku belum bisa. Aku harus menunggu sedikit lebih lama lagi. Aku yakin Rei bisa melupakan wanita itu dan bisa menerimaku. Aku hanya perlu sabar. Rei gak akan menolakku jika aku cukup bersabar.
Bagaimana kalau dia tetap gak bisa menerimaku? Apa aku harus jadi bayangannya selamanya? Gak bisakah aku berada di sampingnya bukan sebagai bosnya, bukan sebagai teman tapi sebagai pria yang dia cintai, sebagai pasangannya, sebagai satu-satunya manusia yang dia butuhkan di dunia ini?
Jari-jariku membuka jurnal yang sudah penuh dengan tulisan tanganku. Aku membaca kembali kalimat-kalimat yang kutulis dengan rapi dan penuh cinta.
Jurnal – 10 Januari
Hari ini dia tersenyum. Bukan padaku, tapi pada anak kecil yang minta bantuannya. Kenapa senyumnya bisa membuat jantungku serasa dihancurkan dan dibangun ulang dalam waktu bersamaan?
Aku ingin menyentuhnya. Tapi aku tahu... kalau aku lakukan itu, dia akan menjauh. Aku harus cukup kuat untuk menahan diri. Demi dia. Demi kebebasannya. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan?
Jurnal – 4 Februari
Rei mengenakan sweter abu-abu hari ini. Warna itu membuat kulitnya tampak lebih pucat… atau mungkin memang dia sedang lelah. Lingkar matanya menggelap. Aku ingin menyentuh pipinya dan membisikkan, "Tidurlah lebih awal malam ini, Rei."
Tapi aku gak bisa. Aku hanya menatap dari balik jendela. Diam. Membeku.
Jurnal – 7 Februari
Seseorang mendekatinya di kedai kopi tadi. Dia tersenyum. Bukan untukku.Orang itu terlalu dekat. Terlalu santai. Aku hampir kehilangan kendali. Rei gak boleh disentuh orang lain. Dia milikku. Dia hanya untukku.
Jurnal – 10 Februari
Hari ini aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Seperti biasanya. Seperti pengecut. Aku ingin menyapanya, memanggil namanya, merengkuhnya, menahan tubuh kurusnya dalam pelukanku dan berkata: "Aku di sini. Kamu gak perlu lari lagi."
Tapi aku tahu itu salah. Aku harus menunggu. Kesabaran adalah kunci. Karena jika aku terlalu cepat... aku akan menakutinya. Dan itu hal terakhir yang kuinginkan.
Aku menutup jurnal itu perlahan. Di atas meja kecil di pojok ruangan, ada bingkai perak yang berisi gambar kesukaanku—Rei saat tidur.
Aku ingat malam itu dengan jelas—terlalu jelas. Malam pertama aku berhasil masuk ke rumahnya. Tak ada suara. Hanya napasnya yang teratur, mengisi udara seperti nyanyian lembut yang hanya aku yang boleh dengar.
Aku berdiri di sisi ranjangnya selama berjam-jam, menatap wajahnya yang tenang dalam tidur. Cahaya bulan menyorot sebagian wajahnya, menciptakan bayangan yang membuatnya terlihat nyaris tak nyata. Begitu damai. Begitu rapuh. Dan aku... tergoda. Terlalu tergoda.
Setiap detik yang lewat membuat jemariku bergetar, ingin menyentuh kulitnya, ingin membuktikan bahwa dia nyata. Aku menahan diri—bukan karena takut, tapi karena rasa memiliki itu terlalu kuat. Dia bukan milik siapa pun. Hanya milikku. Hanya aku yang boleh melihatnya dalam keadaan seperti ini. Terlindungi. Tak sadar. Tak berdaya. Indah.
Aromanya menyelimuti ruang seperti racun manis yang membuat pikiranku kabur. Aku bisa merasakan detak jantungnya—atau mungkin itu detakku sendiri, yang menyatu dengannya malam itu.
Queen membuka matanya dalam diam. Mata kecilnya yang hitam mengunci pandanganku dari bayangan. Aku pikir dia akan menggonggong, akan membangunkannya. Tapi tidak. Dia hanya menatap... seolah tahu siapa aku. Apa aku.
Bukan ancaman. Bukan pencuri, tapi sesuatu yang lebih berbahaya—yang akan menghancurkan apa pun yang mencoba menyentuh Rei. Aku bukan penjaga. Aku penjara. Dan Rei akan tetap di dalamnya, selamanya.
Bukankah itu memang kebenarannya? Aku selalu melindungi Rei. Bahkan ketika dia tertidur, bahkan ketika dia menangis dalam diam tanpa tahu bahwa aku ada di sana—mengawasi, menyingkirkan setiap ancaman yang mencoba menyentuhnya.
Dia tak pernah sadar, dan itu lebih baik. Rei terlalu murni untuk mengetahui kegelapan yang kujalani demi dia. Aku membuat orang-orang menjauh. Menghilang dari hidupnya. Satu demi satu. Mereka yang mencoba mendekat, memelihara niat, membangun harapan—aku hancurkan perlahan, tanpa suara. Rei tidak butuh mereka. Rei hanya butuh aku.
Setiap bunga yang dia temukan di depan pintunya, setiap parfum yang tiba tanpa nama pengirim, setiap makanan favoritnya yang entah kenapa selalu ada saat dia sedang sedih—itu semua aku. Aku yang menenangkan dia dari balik bayang. Aku yang mencintainya tanpa jeda, tanpa batas, tanpa logika.
Hadiah terbaikku padanya? Queen.
Dia tak tahu. Dua belas tahun lalu, ketika Rei membuka pintu dan menemukan anak anjing kecil yang gemetar dalam kardus, dia pikir itu kebetulan. Takdir, katanya waktu itu. Tapi tidak. Itu aku. Aku yang memilih Queen. Aku yang memastikan dia tak pernah benar-benar sendirian, bahkan saat aku belum bisa hadir sebagai sosok yang bisa dia peluk. Aku yang menanamkan cinta lewat makhluk itu, perlahan, terus-menerus.
Sekarang, Queen mengenaliku. Dia tak menggonggong. Dia tak menyerang. Dia hanya menatap, seolah tahu... bahwa aku lebih dari sekadar pelindung. Dia tahu. Tapi dia diam. Karena dia milikku juga, sama seperti Rei. Kami bertiga… terikat dalam rahasia yang hanya kami pahami.
Kadang aku melihat tatapan Queen berubah. Lebih tajam. Lebih waspada. Mungkin dia mulai curiga. Tapi tak apa. Dia bisa mengawasi sepuasnya. Tak akan ada yang berubah. Karena aku tak akan pernah pergi.
Aku melangkah ke meja kecil di sudut kamar. Kubuka kotak hitam yang tersembunyi rapi di bawah tumpukan buku. Di dalamnya—kenangan. Potongan dari dirinya. Seutas rambut, cangkir dengan bekas bibirnya, kancing dari jaketnya yang pernah jatuh di halte. Barang-barang kecil yang tak berarti bagi dunia, tapi sangat berarti bagiku. Ini bukti. Aku ada. Aku bagian dari hidupnya, meski dia tak sadar. Meski dia belum siap menerima.
Aku menyentuh rambut itu, membelainya perlahan seperti harta karun. Aku tersenyum. Lembut. Tenang. Bahagia. Karena suatu hari nanti… Rei akan tahu. Dia akan melihat semuanya, dan saat hari itu datang, dia akan mengerti bahwa dia tak pernah sendiri. Tak pernah bebas.
Karena aku selalu di sana. Di balik pintu. Di bayangannya. Di pikirannya.
Aku adalah satu-satunya yang mencintainya dengan seluruh kegelapan dan cahaya yang kupunya. Dan siapa pun yang mencoba mengambilnya dari pelukanku—akan lenyap.
Rei bukan hanya milikku. Dia adalah takdirku dan gak ada satu pun yang bisa mengambilnya dariku—bahkan Rei sendiri.
Aku tahu aku seharusnya gak memiliki semua ini. Aku tahu—kalau Rei tahu, dia pasti membenciku. Tapi… aku gak bisa berhenti. Aku hanya mau dia bahagia. Meskipun itu berarti aku harus menyembunyikan betapa rusaknya aku.
♕♕♕
Malam itu hujan turun deras. Rintik air membasahi jendela kamarku, menciptakan irama monoton yang seharusnya menenangkan, tapi aku gak bisa tenang. Pikiranku terus berputar, dipenuhi bayangan Rei—wajahnya yang pucat, lingkar hitam di bawah matanya, dan senyumnya yang semakin jarang terlihat akhir-akhir ini.
Dia terlihat lelah. Aku tahu alasannya. Aku tahu mimpi buruknya semakin parah dan aku tahu siapa penyebabnya. Pandanganku kembali tertuju pada standee Rei yang berdiri tegak di tengah ruangan. Dia tersenyum manis—senyum yang selama ini hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Aku mendekat, jemariku menyentuh lembut bibirnya. "Aku akan melindungimu, Rei... dengan cara apa pun."
Aku menatap matanya yang terlukis di gambar itu—mata yang selama ini menghantui mimpiku, yang menatapku seolah tahu bahwa aku satu-satunya yang benar-benar melihatnya yang benar-benar paham kehancuran dalam dirinya.
Petir menyambar. Dentumannya memekakkan telinga, memecah langit malam dengan amarah brutal. Aku menoleh cepat ke jendela, rahangku mengatup begitu keras hingga terasa sakit. Rei takut petir.
Aku tahu itu. Aku tahu semua tentang ketakutan kecilnya—bagaimana tubuhnya akan mulai bergetar, bagaimana dia menyembunyikan wajahnya di bantal, berharap bisa lenyap dari suara yang menghantuinya sejak kecil. Aku pernah melihatnya seperti itu… dan rasa ingin melindunginya membakar habis semua logika dalam diriku.
Bagaimana bisa aku lupa? Kenapa aku bisa lupa sesuatu yang sepenting ini?
Tanganku gemetar saat meraih jaket. Kunci mobil hampir terjatuh karena jari-jariku menegang. Aku hampir membenturkan kepala ke dinding karena frustrasi. Aku mengenalnya bertahun-tahun. Aku menghafalnya seperti doa. Tapi malam ini... aku lengah dan dia sendirian, ketakutan dalam gelap dan bukan aku yang ada di sana bersamanya.
Sial. Aku membuka pintu dengan kasar. Angin dan hujan menerpa wajahku seperti tamparan keras—seolah dunia pun ikut menegurku. Mobil kupacu tanpa ampun, melaju di atas jalanan basah yang licin seperti es, tapi aku tak peduli. Pandanganku kabur oleh air hujan dan amarah yang membakar dari dalam. Aku tidak bisa berpikir jernih yang ada hanya satu hal: Rei.
Aku seharusnya di sana. Bukan siapa pun. Bukan pelukan kosong. Bukan dinding dingin, tapi aku. Aku mencintainya terlalu dalam untuk membiarkan satu malam pun dia merasa sendirian. Malam ini, aku akan memperbaikinya dan siapa pun—apa pun—yang mencoba menggantikan peranku dalam hidupnya… akan kusesatkan, kuhancurkan, kusingkirkan.
Rei milikku. Bahkan ketakutannya pun—hanya aku yang boleh tahu. Hanya aku yang boleh menenangkannya.
"Bertahanlah... Aku datang..."
Aku mengutuk diriku sendiri berulang kali. Kenapa aku gak menelepon? Kenapa aku gak memastikan dia baik-baik aja sebelum hujan turun? Aku seharusnya sudah di sana. Aku seharusnya gak membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian. Bayangan Rei memenuhi kepalaku—tubuhnya menggigil ketakutan. Dia gak akan menangis, aku tahu itu. Rei terlalu keras kepala untuk menangis, tapi aku tahu betul... betapa hancurnya dia di dalam.
Aku menginjak pedal gas lebih dalam. Mobilku sedikit tergelincir di tikungan, tapi aku gak memperlambat. Aku gak peduli jika harus menabrak apapun malam ini. Aku hanya harus sampai ke Rei. Aku harus memastikan dia aman. Karena kalau sesuatu terjadi padanya... aku gak tahu apa yang akan kulakukan.
Begitu tiba di depan rumah Rei, aku bahkan nyaris lupa mematikan mesin mobil. Aku melompat keluar, membiarkan hujan deras membasahi tubuhku saat aku berlari ke pintu depan. Tanganku menekan bel berkali-kali. gak ada jawaban.
Sial. Aku mencoba memutar gagang pintu. Terkunci. Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke sisi rumah, mataku mencari—dan akhirnya menemukan—celah kecil di jendela ruang tamu. Dengan cepat aku menyelipkan jemariku ke sana, mendorongnya perlahan hingga terbuka lebih lebar. Hujan membuat tanganku licin, tapi aku gak peduli. Aku memanjat masuk, jatuh dengan suara debam pelan di dalam rumah yang gelap dan sunyi.
"Rei?" panggilku, suaraku nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menghantam atap. Gak ada jawaban.
Aku bergerak cepat menuju kamarnya. Saat mendekat, samar-samar kudengar suara pelan—isakan yang hampir gak terdengar.
"Rei?" Aku mengetuk pintu kamarnya. "Ini aku... Gabriel."
Gak ada jawaban. Aku membuka pintu perlahan. Mataku langsung menangkap sosok Rei yang meringkuk di sudut tempat tidurnya. Tubuhnya gemetar hebat, kedua tangannya menutupi telinganya, seolah berusaha menutup suara petir yang terus menggelegar.
"Rei..." Aku berlutut di sampingnya, melepas jaketku dan menyelimuti tubuhnya dengan itu. Tubuhnya terasa dingin.
"Aku di sini..." bisikku sambil mengusap punggungnya dengan lembut. "Aku di sini... semuanya baik-baik aja sekarang..."
Rei gak menjawab, tapi tangannya sedikit melonggar dari telinganya. Aku terus mengusap punggungnya, berusaha menghangatkan tubuhnya yang menggigil.
Di balik napasnya yang masih berat, aku mendengar bisikan kecil. “Jangan tinggalin aku...”
Mungkin hanya halusinasi, tapi aku akan menjadikannya janji.
"Aku di sini…" ulangku, lebih pelan kali ini. "Aku gak akan ninggalin kamu... Aku janji..."
Aku menariknya ke dalam pelukanku, mendekapnya erat seolah dia bisa menghilang kapan aja jika aku melepaskannya. Bibirku menyentuh rambutnya yang basah, mencium puncak kepalanya dengan lembut.