Bab 3 : Rei

"Beberapa luka gak berdarah, tapi terus membunuh perlahan—setiap kali nama itu disebut, setiap kali bayangannya datang dalam mimpi."

♕♕♕♕

Suara petir kembali menggelegar, mengguncang dadaku dan membuat tubuhku semakin gemetar. Aku merapatkan diri ke sudut ruangan, memeluk Queen lebih erat seolah dia bisa melindungiku dari semua ini. Napasku pendek dan putus-putus, seakan paru-paruku lupa cara bekerja dengan benar.

"Ini akan segera berlalu... ini cuma petir... gak ada yang perlu ditakutin..." gumamku berulang kali, mencoba menenangkan diriku sendiri.

Ingatan itu... kenangan buruk yang berusaha kutenggelamkan selalu kembali tiap kali kilat menyambar. Wajah Rini... suara jeritannya... dinginnya tubuhnya di malam itu... semua kembali menghantuiku. Aku menutup telingaku lebih erat, mencoba menghalau suara petir yang terasa seperti gemuruh neraka di kepalaku. Tubuhku makin gemetar, napasku semakin pendek. Lalu aku mendengar sesuatu...

DING-DONG!

Bel pintu berbunyi. Disusul ketukan keras di pintu depan. Aku tersentak. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku gak menunggu siapa-siapa. Apa cuma halusinasiku lagi? Atau... atau seseorang benar-benar ada di luar?

Aku berusaha bangkit, tapi kakiku lemas. Napasku tersendat, mataku mulai berkunang-kunang.

"Rei!"

Aku tersentak. Itu... suara Gabriel. Kenapa suara itu selalu muncul saat aku paling butuh?

Gabriel? Mungkin aku berhalusinasi. Mungkin ini otakku yang kacau, tapi suara itu terdengar begitu nyata, begitu dekat.

"Rei! Ini aku... Gabriel! Buka pintunya!"

Enggak... gak mungkin... kan? Aku mencoba berdiri lagi, tapi tubuhku masih terlalu lemah. Samar-samar aku mendengar suara lain—suara jendela yang terbuka. Sesaat kemudian langkah kaki terdengar mendekat, disusul suara pintu kamarku yang terbuka perlahan.

"Rei?"

Suaranya terdengar lebih lembut sekarang, lebih dekat. Aku berusaha mengangkat kepalaku, dan sosok Gabriel muncul di ambang pintu. Dia basah kuyup, rambutnya menempel di dahinya, jaketnya meneteskan air ke lantai. Napasnya terengah-engah, tapi matanya... matanya menatapku penuh kekhawatiran.

"Gab..." suaraku nyaris tak terdengar.

Dalam sekejap, dia sudah berlutut di sampingku. Aku merasakan hangat tubuhnya saat dia menyampirkan jaket basahnya di pundakku.

"Aku di sini..." bisiknya pelan, tangannya terangkat untuk mengusap punggungku.

Tubuhku masih gemetar, tapi sentuhannya terasa... menenangkan. Kenapa pelukan orang yang paling ingin kuhindari... justru yang paling bisa menenangkanku?

"Kamu baik-baik aja?" tanyanya lagi, suaranya penuh kecemasan.

Aku hanya bisa mengangguk kecil, meski rasanya tubuhku nyaris roboh.

"Gak apa-apa... aku di sini sekarang..." ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut.

Perlahan, Gabriel menarikku ke dalam pelukannya. Tubuhnya masih dingin dan basah, tapi dekapannya terasa begitu hangat. Aku membiarkan diriku bersandar di dadanya, mencoba menenangkan diri.

"Aku takut..." bisikku nyaris tak terdengar.

"Aku tahu..." jawabnya. "Tapi aku gak akan ninggalin kamu... aku janji..."

Entah kenapa, kali ini aku percaya. Aku membiarkan mataku terpejam di pelukannya, berusaha mengabaikan suara petir di luar sana. Sesaat sebelum kesadaranku memudar, aku mendengar bisikannya yang begitu lirih—seolah ditujukan lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku.

"Aku gak akan biarin siapa pun menyakitimu..."

Saat aku mulai sadar, sesuatu yang hangat menempel di dahiku—kain lembap. Tubuhku terasa lebih ringan, meski pikiranku masih kabur. Perlahan aku membuka mata. Gabriel duduk bersandar di sisi ranjang, tertidur dengan kepala tertunduk. Bajuku berbeda dari sebelumnya—mungkin dia yang menggantinya.

Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. Dia pasti belum tidur. Aku bergerak sedikit. Gabriel langsung tersentak bangun, matanya menatapku penuh kewaspadaan—lalu berubah jadi lega.

"Kamu udah bangun?" suaranya serak, jelas dia kelelahan.

Aku mengangguk pelan. "Kamu... kenapa belum pulang?"

Gabriel mengusap wajahnya sejenak, seolah mencoba mengusir rasa kantuknya. "Aku gak yakin kamu bakal baik-baik aja kalau aku tinggal."

Aku terdiam. Sejujurnya... aku bersyukur dia tetap di sini.

"Aku bikin teh dulu, tunggu sebentar." Gabriel bangkit dengan langkah berat, tapi sebelum dia pergi, aku refleks menarik lengan kausnya.

"Gab..." panggilku pelan. "Makasih..."

Dia menatapku cukup lama, bibirnya sedikit melengkung dalam senyuman samar.

"Sama-sama. Istirahatlah." ucapnya sebelum akhirnya pergi ke dapur.

Aku nggak ngerti. Kenapa Gabriel repot-repot melakukan semua ini? Dia perhatian, iya. Akhir-akhir ini... terasa berlebihan. Datang saat hujan cuma buat pastikan aku baik-baik aja? Selalu muncul di saat aku butuh? Aku menggeleng pelan. Mungkin aku yang terlalu berlebihan. Gabriel memang selalu seperti itu—baik, cerewet, dan terlalu peduli.

Dia kembali dengan secangkir teh, lalu meletakkannya di meja samping ranjang tanpa berkata apa-apa.

"Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku," ucapnya. "Aku bakal istirahat di sofa."

"Sofa?" Dahiku berkerut. "Kenapa gak pulang aja?"

Gabriel tertawa kecil, tapi matanya serius. "Aku gak akan ninggalin kamu sendirian malam ini."

Aku menggenggam cangkir teh itu erat-erat di tanganku, mencoba menyerap hangatnya ke tubuhku yang masih sedikit menggigil. Meski petir udah gak sekeras tadi, dentumannya masih sesekali terdengar, membuat jantungku hampir copot. Gabriel duduk di ujung tempat tidur, menatapku dengan sabar. Aku tahu dia lelah, tapi dia tetap di sini.

Aku menunduk, memandangi cangkir di tanganku. Lidahku terasa kelu. Ada yang ingin aku katakan, tapi aku bahkan gak yakin bagaimana cara memulainya. Aku bukan orang yang biasa minta tolong, apalagi soal hal seperti ini. Tapi malam ini... aku gak mau sendiri.

“Gab...” Aku memanggil pelan, nyaris seperti bisikan. Dia langsung menoleh.

“Hm?” gumamnya sambil sedikit mencondongkan tubuh ke arahku.

Aku menggigit bibir bawahku. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku merasa bodoh, tapi rasa takut itu belum pergi, dan aku... aku cuma pengin dia tetap di sini. Bukan di sofa. Bukan di luar kamar. Di sampingku.

“Aku...” Suaraku nyaris tak terdengar. “Boleh gak... kamu temenin aku tidur malam ini?”

Aku gak berani menatap matanya. Aku terlalu malu. Aku—yang biasanya bersikap dingin, yang terbiasa menghadapi semuanya sendirian—sekarang justru jadi clingy seperti anak kecil.

“Aku tahu ini aneh... aku cuma... aku masih takut. Aku gak mau sendirian.”

Hening sejenak. Cukup lama untuk membuatku ingin menarik kembali kata-kataku. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, kasurku bergeser sedikit. Gabriel sudah berdiri dan menarik selimutku perlahan.

“Geser dikit,” katanya lembut.

Aku menoleh, menatapnya tak percaya. Dia menatapku balik dengan senyum tipis di sudut bibirnya. “Aku udah bilang, kan? Aku gak akan ninggalin kamu malam ini.”

Jantungku berdebar gak karuan. Aku bergeser sedikit, memberi ruang untuknya di sisi ranjang. Gabriel naik ke ranjang, duduk di sisi lain, lalu merebahkan dirinya perlahan. Tubuhnya hangat meski kausnya masih agak lembap. Aku bisa mencium aroma hujan dan sedikit wangi sabun yang familiar. Awalnya aku ragu, tapi aku bergeser, menyusup ke pelukannya dengan hati-hati. Seperti mencari tempat paling aman di dunia.

Tangannya langsung memelukku, kuat namun lembut. “Nyaman?” bisiknya di atas kepalaku.

Aku mengangguk kecil, menyembunyikan wajahku di dadanya.

“Kalau kamu gak nyaman, aku bisa—”

“Jangan pergi,” potongku cepat, refleks. “Jangan pindah. Jangan tinggalin aku...”

Pelukannya mengerat. “Enggak akan,” katanya tenang. “Aku di sini. Sampai kamu ketiduran, dan kalau bisa, sampai kamu bangun juga.”