Hening lagi. Suara petir di luar masih terdengar, tapi rasanya... gak semenakutkan sebelumnya. Aku memejamkan mata perlahan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa... aman. Dalam pelukannya.
Aku memeluknya erat, lebih erat dari sebelumnya. Bukan cuma karena petir di luar, tapi karena aku takut... kalau aku lepas sedikit saja, dia akan pergi.
“Gab,” bisikku pelan, jemariku mencengkeram kausnya.
“Hmm?”
“Boleh gak... kamu peluk aku terus aja?” suaraku nyaris seperti anak kecil yang minta digendong. “Jangan lepasin aku... meski aku udah tidur.”
Gabriel terdiam sesaat. Lalu aku rasakan dagunya bertumpu ringan di atas kepalaku, dan satu tangannya membelai lembut punggungku. “Aku gak akan ke mana-mana,” bisiknya pelan. “Pelukanku milik kamu malam ini. Sepenuhnya.”
Aku menggeser sedikit wajahku, menempelkan pipiku ke dadanya. Bisa kurasakan detak jantungnya, ritmenya pelan dan stabil—seolah dia sengaja menenangkan aku hanya dengan napasnya.
Tanganku merayap ke pinggangnya, memeluk balik lebih kuat, seolah tubuhku bisa menyatu dengan miliknya. Aku tahu ini berlebihan, tapi aku... aku butuh dia. Malam ini, dan mungkin... setiap malam setelah ini.
“Gab?” panggilku lagi, suara kecil dan ragu.
“Ya?”
Aku mendongak pelan, menatapnya. Matanya menatapku hangat, walau ada lelah di dalamnya. Aku ragu sejenak, tapi kemudian aku beranikan diri.
“Kamu... mau usap rambutku sampai aku tidur?” tanyaku pelan.
Alisnya naik sedikit, lalu senyum tipis muncul di wajahnya. “Mau, tapi kamu harus janji satu hal.”
“Apa?”
“Jangan malu-malu kayak tadi. Kalau kamu butuh aku, bilang.”
Aku mengangguk pelan.
Lalu jari-jarinya masuk ke rambutku, menyisirnya perlahan, lembut dan menenangkan. Aku menghela napas pelan, membiarkan mataku terpejam. Aku masih belum tidur karena aku masih mau dia tahu sesuatu.
“Gab...” bisikku lagi, kali ini lebih lembut, nyaris menyentuh napasnya sendiri. “Kalau kamu ninggalin aku nanti... aku gak tahu aku bisa bertahan atau enggak.”
Tangan yang sedang mengusap rambutku berhenti sejenak, lalu berpindah ke pipiku, membelai dengan lembut. “Aku gak bakal ninggalin kamu, Rei,” ucapnya tenang. “Gak sekarang, gak besok. Selama kamu masih mau aku di sini, aku gak akan pergi.”
Aku menggeser tubuhku, menyusup lebih dalam ke pelukannya. Dulu aku berpikir aku gak butuh siapa pun. Namun malam ini, aku sadar... aku butuh dia untuk tetap utuh. Gabriel menarik napas pelan. Aku bisa rasakan detak jantungnya sedikit berubah, tapi dia gak menjauh. Sebaliknya, pelukannya makin erat.
“Malam ini... kamu boleh manja sepuasnya, Rei,” bisiknya, penuh kasih. “Aku akan jaga kamu. Sampai kamu tidur. Sampai kamu lupa semua mimpi buruk itu.”
Aku mengangguk pelan, membiarkan tubuhku rileks sepenuhnya dalam pelukannya. Dan malam itu, aku tertidur sambil memeluk Gabriel seperti bantal hidup yang sangat kubutuhkan—dengan jari-jariku yang terus menggenggam kausnya, Dan malam ini, untuk pertama kalinya, aku tidur tanpa takut... karena pelindungku akhirnya hadir dalam bentuk nyata. Bersamaku.
♕♕♕
Aku terbangun karena suara dari dapur, dengan tubuh yang masih sedikit lemas, aku beranjak ke luar. Suara berisik makin jelas—dan rasa waspada langsung lenyap saat kulihat siapa yang ada di sana.
Gabriel berdiri di depan kompor, sibuk memasak. Dia tampak fokus, bahkan gak sadar aku berdiri di belakangnya. Kaos tipis yang dipakainya semalam masih menempel di tubuhnya, basah oleh keringat, tapi dia seolah tak peduli dengan udara pagi yang dingin. Aku baru tahu dia bisa masak.
Pandanganku beralih ke sudut ruangan—makanan Queen sudah terisi, air minumnya pun segar. Queen tidur meringkuk di dekat sofa, tenang. Aku mendekat dan menyapanya. Gabriel menoleh, tersenyum hangat seperti biasa... tapi entah kenapa, senyum itu terasa sedikit janggal hari ini.
"Morning," suaranya terdengar lembut. Dia langsung menghampiriku, menatapku lekat-lekat. "Gimana perasaanmu sekarang?"
Aku mengangguk pelan. "Udah mendingan..."
"Bagus," katanya lega. "Udah duduk aja, masakannya sebentar lagi matang."
Aku menurut, duduk di meja makan sambil memperhatikan dia melanjutkan masak. Dari sudut ini, aku baru benar-benar memperhatikan Gabriel. Bahunya cukup lebar, posturnya tegap, dan setiap gerakannya terlihat terkontrol dengan baik. Dia gak sedetik pun terlihat bungkuk atau lelah, padahal semalam dia sempat basah kuyup dan begadang sampai pagi.
Beberapa menit kemudian, Gabriel selesai memasak dan menata makanan di meja. Sikapnya santai, seolah kejadian semalam gak pernah ada. Dia tetap dengan candaan recehnya, rayuan-rayuan khas yang biasanya bikin aku geleng-geleng kepala.
"Rei?" Gabriel memanggilku, membuatku tersadar dari lamunan. "Kamu gak suka makanannya?"
Aku menggeleng cepat. "Enggak, enak kok." kataku, lalu menyendok makananku untuk meyakinkannya. Rasanya memang enak—anehnya enak, seolah dia tahu persis apa yang aku suka.
Gabriel tersenyum puas. "Bagus deh. Aku takut kamu gak selera makan gara-gara semalam."
Pikiranku masih penuh dengan tanda tanya yang sejak tadi mengusik. Akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya.
"Gabriel." panggilku pelan.
"Hm?" Dia menoleh dengan senyum tipis di wajahnya.
Aku menarik napas dalam, berusaha mengatur nada suaraku agar tetap tenang.
"Kenapa semalam kamu bisa tiba-tiba datang ke sini? Gimana caranya kamu masuk ke rumah... dan kamu tau dari mana kamarku?"
Gerakan tangannya terhenti sejenak. Aku melihat bahunya menegang sebelum akhirnya dia berbalik menatapku. Wajahnya sedikit kaget, tapi hanya sesaat. Tatapan tenangnya kembali dalam hitungan detik.
"Aku kan udah lama kenal kamu," jawabnya santai, seolah pertanyaanku gak berarti apa-apa.
Dia duduk dengan sikap yang santai, seakan dia benar-benar yakin jawabannya sudah cukup menjelaskan segalanya.
"Aku pencet bel dan ketuk pintu berkali-kali, tapi gak ada jawaban," lanjutnya. "Aku khawatir, jadi... ya, aku terpaksa masuk lewat jendela."
"Masuk lewat jendela?" Aku mengulang ucapannya dengan ragu.
Gabriel mengangkat bahu. "Rumahmu kan cuma satu lantai, jendelanya gak terlalu tinggi. Aku tahu itu nekat, tapi aku gak bisa diam aja kalau kepikiran kamu kenapa-kenapa."
Aku masih menatapnya, mencoba mencerna semua yang dia bilang.
"Kalau soal kamar..." Gabriel melanjutkan dengan nada lebih ringan. "Rumah kamu cuma ada dua kamar, kan? Gak terlalu besar juga, jadi gampang nebaknya."
Jawaban Gabriel terdengar masuk akal. Logis, bahkan. Entah kenapa... ada sesuatu yang terasa ganjil. Sesuatu yang membuat dadaku gak nyaman.
Aku memaksakan senyum kecil, berusaha mengabaikan firasat aneh yang tiba-tiba muncul. "Makasih, Gab..."
Dia balas tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di balik sorot matanya. Sesuatu yang gak bisa kujelaskan, membuat tengkukku meremang. Tiba-tiba Gabriel menatapku dengan serius, ekspresinya lebih tegas dari biasanya.
"Kamu istirahat aja besok, sampai kondisi kamu beneran stabil." katanya dengan nada yang gak bisa dibantah.
Aku langsung menggeleng. "Aku baik-baik aja, Gabriel. Lagian besok ada meeting penting, aku gak bisa absen gitu aja."
"Meeting itu udah diambil alih Dad, beliau yang bakal handle semuanya." potong Gabriel cepat.
Aku terdiam, menatapnya dengan kening berkerut. "Kenapa tiba-tiba?"
Gabriel menarik napas panjang, seolah sedang mencari cara terbaik untuk menjelaskan.
"Karena aku janji buat nemenin kamu," jawabnya pelan. "Dan kamu tahu kan, aku selalu nepatin janji aku."
Suara Gabriel terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya yang bikin aku gak bisa membantah. Aku tahu dia serius. Aku menatapnya lebih lama, mencoba mencari celah di balik kata-katanya, tapi sorot matanya gak berubah—penuh keyakinan.
"Gabriel..." Aku menghela napas pelan. "Aku gak selemah itu."
"Aku gak bilang kamu lemah." Dia bersandar ke kursi, nadanya sedikit lebih santai sekarang. "Tapi aku tahu kamu. Kamu pasti bakal maksa kerja meski kondisi kamu belum benar-benar pulih. Jadi kali ini... izinin aku yang ngurusin semuanya, oke?"
Aku terdiam sejenak. Gabriel memang selalu kaya ini—berlebihan kalau udah soal aku, tapi di saat yang sama, aku juga tahu dia gak akan mundur sebelum aku setuju.
"...Oke." jawabku akhirnya.
Senyum lebar langsung terbit di wajah Gabriel, seolah dia baru saja memenangkan perang besar. "Bagus. Sekarang makan dulu, biar kamu gak makin lemes."
Dan saat dia tersenyum, aku merasa... semakin sulit membedakan antara orang yang melindungi dan orang yang mengikat. Aku menghela napas kecil, diam-diam bertanya-tanya... kenapa dia begini?