Bab 5 : Gabriel

"Ada seseorang yang hanya bisa dilihat dari kejauhan, karena jika terlalu dekat... aku mungkin takkan bisa melepaskannya."

♕♕♕♕

Setelah aku memastikan Rei aman dan kondisinya stabil, aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Sebenarnya aku ingin tinggal lebih lama, duduk di dekatnya, mengawasinya tidur, memastikan setiap napasnya teratur, tapi aku harus menahan diri. Ada hal penting yang harus aku lakukan.

Sepanjang perjalanan, pikiranku terus dipenuhi bayangan Rei. Wajahnya tadi... dia kelihatan gelisah. Resah. Seolah menunggu sesuatu. Aku tahu pasti apa yang dia tunggu—hadiahku.

Selama Dua belas tahun ini, aku selalu memastikan dia mendapatkan sesuatu dariku setiap pagi. Entah bunga segar, makanan hangat, atau benda kecil yang kutahu akan membuatnya tersenyum. Itu caraku memastikan dia tahu—walaupun tanpa nama, tanpa identitas—kalau ada seseorang di luar sana yang memperhatikannya, menjaganya, mencintainya.

Tadi pagi, aku gagal. Aku terlalu sibuk bersamanya tadi malam, terlalu larut dalam kenyamanan saat bisa berada di sisinya, sampai aku lupa menyiapkan hadiah untuknya.

Wajahnya... aku gak bisa melupakan ekspresi itu. Mata Rei yang sayu menatap kosong ke teras, seperti menunggu sesuatu yang gak pernah datang. Ada kecewa di sana—samar, tapi aku tahu. Aku hafal setiap gerakannya, setiap tarikan napasnya, setiap kilasan emosi di matanya.

Rei menunggu hadiahku. Dia suka hadiahku. Dia mungkin gak sadar, tapi itu tandanya dia mulai terbiasa denganku. Dia mulai mengandalkanku. Senyum tipis terbentuk di wajahku saat aku memikirkan itu.

Kalau selama ini aku sudah bisa membuatnya menunggu tanpa dia sadari... maka sekarang, aku akan membuatnya menginginkanku dengan sadar.

Aku akan menyiapkan sesuatu yang lebih dari sekadar hadiah. Sesuatu yang akan membuatnya gak bisa melupakanku. Rei harus tahu—dia gak bisa hidup tanpa aku dan aku gak akan membiarkan siapa pun mengambil tempatku. Aku satu-satunya yang dia butuhkan. Aku satu-satunya yang mencintainya seperti ini.

Dia milikku. Hanya milikku. Aku akan memastikan dia mengerti itu. Ketika sampai di rumah, aku langsung menuju ruang rahasiaku. Ruangan yang selalu membuatku merasa lebih dekat dengan Rei—walaupun dia gak sadar seberapa dekat aku sebenarnya.

Aku berjalan ke arah lukisan yang kusimpan di sudut ruangan, tepat di bawah lampu temaram. Lukisan Rei bersama Queen. Aku menghabiskan hampir satu tahun untuk menyelesaikannya, setiap goresan kuas kuperhatikan dengan cermat agar senyumnya tampak sempurna, agar matanya terlihat hidup. Bahkan detail bulu Queen pun kubuat seteliti mungkin.

Lukisan ini... aku yakin Rei akan suka. Aku tahu apa yang dia suka, aku tahu apa yang bisa membuatnya tersenyum, tapi itu belum cukup.

Aku beralih ke meja kecil di dekat lukisan, tempat aku menyimpan selimut tebal yang baru saja kuselesaikan. Selimut yang kurajut sendiri, benang demi benang, sambil membayangkan bagaimana hangatnya tubuh Rei akan terbungkus di dalamnya. Setiap simpul benangnya terasa seperti mengikatnya lebih erat padaku.

Aku membungkus kedua hadiah itu dengan hati-hati—lukisan besar dan selimut tebal, semuanya kubungkus rapi dengan kertas terbaik yang kupilih khusus.

Aku juga menambahkan karangan bunga mawar hitam di atasnya—bunga yang aku ciptakan sendiri, bunga yang gak akan pernah layu... sama seperti perasaanku untuknya yang gak akan pernah pudar.

Dan terakhir... surat. Aku menulis dengan tinta hitam, dengan tulisan tanganku yang rapi dan penuh makna. Aku membaca ulang surat itu, membayangkan bagaimana ekspresi Rei saat membacanya. Dia akan tersenyum, aku yakin itu. Dan mungkin, dia akan mulai bertanya-tanya... siapa orang yang begitu mencintainya ini?

Saat dia mulai penasaran, saat dia mulai merindukan sosok yang selama ini mengawasinya dari jauh... saat itulah aku akan muncul. Dia akan tahu... bahwa gak ada yang bisa mencintainya seperti aku. Gak ada yang bisa menjaga dan melindunginya seperti aku.

Aku menatap bingkisan itu dengan puas, membayangkan Rei menyentuh setiap detail yang kususun hati-hati. Lukisan Queen, selimut yang kurajut sendiri—semua bentuk rasa sayang yang tak bisa kuucapkan. Mungkin nanti dia akan memeluk selimut itu seperti sedang memelukku.

Aku tersenyum kecil, lalu menyalakan mobil. Udara siang ini dingin, banyak genangan di jalan, tapi aku nyaris tak peduli. Di kepalaku hanya ada satu hal: Rei. Begitu sampai di rumahnya, aku memastikan sekeliling aman. Lingkungannya sepi. Dengan hati-hati, aku meletakkan bingkisan itu di depan pintu—tepat di tempat yang mudah terlihat.

Sebelum pergi, aku berdiri sejenak di depan jendela kamarnya. Tirainya masih tertutup, tapi aku tahu dia ada di dalam. Aku bisa membayangkan dia meringkuk bersama Queen… dan aku, masih di luar. Seperti biasa.

Aku menarik napas panjang. Sebentar lagi. Sebentar lagi kamu akan tahu. Bahwa gak ada yang mencintaimu lebih dari aku. Gak ada yang lebih pantas buat kamu selain aku. Saat aku berbalik menuju mobil, mataku menangkap gerakan di balik tirai.

Bayangannya. Aku mematung. Bahkan siluet samar itu cukup untuk bikin dadaku sesak. Dia begitu dekat… tapi belum sepenuhnya milikku.

Aku kembali ke mobil. Jalanan masih basah, udara masih dingin, tapi pikiranku hanya tertuju pada satu hal—Rei. Mobilku berhenti di garasi, tapi aku masih duduk di kursi pengemudi, menenangkan pikiranku yang terus dipenuhi bayangannya.

Tatapan mataku tertuju ke tangan yang semalaman digenggam Rei. Aku menggerakkan jemariku perlahan, mengingat bagaimana jari-jarinya yang dingin melingkari tanganku, bagaimana tubuhnya yang gemetar mencari perlindungan dalam dekapanku.

Dia butuh aku. Bahkan saat dia gak menyadarinya. Aku menarik napas dalam, lalu keluar dari mobil dan langsung menuju ruangan khususku. Tempat di mana aku bisa menyimpan semua kenangan tentangnya tanpa ada yang mengganggu. Tanpa melepas jas atau mengganti pakaian, aku menyalakan komputer dan mencetak beberapa foto yang baru saja kuambil hari ini.

Foto Rei saat tertidur di tempat tidurnya. Jemarinya yang ramping masih menggenggam tanganku, seolah mencari perlindungan bahkan dalam tidurnya.

Aku menatap foto itu lama, membiarkan senyum kecil terbentuk di wajahku. Malam itu, Rei ketakutan, tubuhnya gemetar, dan tanpa sadar dia berpegang erat padaku, seolah aku adalah satu-satunya yang bisa melindunginya.

Tangan kiriku terangkat, menyentuh permukaan foto dengan lembut. Aku mengambil foto itu dengan hati-hati, memperhatikannya dengan saksama. Wajahnya yang damai saat tidur, napasnya yang teratur, kelopak matanya yang sedikit bergetar dalam tidurnya. Wajah yang selama ini hanya bisa aku tatap dari kejauhan, kini berada begitu dekat.

Dan bibirnya... Bibir Rei yang tebal dan berwarna merah muda. Dadaku naik turun lebih cepat saat membayangkan bagaimana rasanya melumat bibir itu. Merasakan manis dan lembutnya, membiarkan napasnya bercampur dengan milikku, menjadikannya milikku sepenuhnya.

Ingatanku kembali ke tadi malam...

Saat dia tertidur di sampingku, jemariku sempat menyusuri wajahnya—sekilas, nyaris tanpa sentuhan, hanya mengikuti lekukannya dengan penuh perasaan. Aku menahan diri dengan susah payah supaya gak menyentuhnya lebih dari itu, tapi saat ini, hanya dengan mengingatnya aja, membuat sesuatu di bawah sana terbangun dan mengeras.

Damn. Aku menyandarkan kepala ke kursi, mencoba mengendalikan diri. Bayangan itu semakin jelas di kepalaku. Aku membayangkan kehangatan tubuhnya di bawahku. Membayangkan bagaimana dia akan terlihat jika aku yang menyentuhnya, bagaimana napasnya akan terdengar, bagaimana kulitnya akan bereaksi terhadap sentuhanku.

Jika aku yang membuatnya bergetar—bukan karena ketakutan, tapi karena alasan yang jauh lebih dalam dan personal. Aku mendesah pelan, jemariku tanpa sadar turun ke bawah, berusaha meredakan sensasi menyiksa yang kini mulai menguasai tubuhku.

Aku menginginkan Rei dan suatu hari nanti, dia akan menjadi milikku sepenuhnya.