Bab 6 : Rei

"Jangan ajari aku tentang rasa sakit. Aku mempelajarinya sejak aku tahu cara berjalan."

 ♕♕♕♕

Pagi ini aku terbangun dengan suasana hati yang gak karuan. Semalam aku sulit tidur. Hujan deras dan suara petir masih membekas di kepalaku, mengingatkan pada malam-malam yang ingin aku lupakan. Kapan musim hujan ini akan berakhir?

Aku melirik Queen yang masih tertidur di sampingku. Napasnya tenang, tubuh mungilnya meringkuk di selimut. Segaknya dia bisa tidur nyenyak—nggak seperti aku yang terus dihantui ingatan lama. Dengan enggan, aku bangkit dan menyeret diri ke kamar mandi. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian kerja seperti biasa—kemeja putih, celana hitam, jas rapi.

Sebelum berangkat, aku melakukan satu rutinitas yang tak pernah absen setiap pagi. Aku membuka pintu depan dan benar aja—kotak besar berbungkus rapi sudah menunggu di teras, ditemani buket mawar hitam. Kali ini, ada tambahan: sebuah kanvas, mungkin lukisan dan tentu aja, sepucuk surat.

Aku membawa semuanya masuk. Perlahan, aku membuka surat yang diletakkan tepat di atas bunga itu.

[Bonjour, Mon chéri.

Semalam hujan cukup deras. Aku tahu kamu takut petir dan mudah kedinginan. Gunakanlah selimut ini. Aku membuatnya sendiri untukmu, supaya kamu tetap hangat. Selimut ini akan menggantikanku menghangatkanmu di malam-malam yang dingin. Apa kamu menunggu hadiah dariku? Aku tahu ini sedikit terlambat dari biasanya, tapi satu hal yang perlu kamu tahu... Aku gak akan pernah lupa tentangmu. Aku akan selalu ada—mengawasimu dari kejauhan, memastikanmu aman, dan aku akan menjagamu.

With Love,

G.X.]

Jari-jariku meremas sedikit kertas itu, mataku menelusuri tiap baris dengan ekspresi datar. Dua belas tahun. Selama itu aku menerima hadiah ini—tanpa pernah tahu siapa pengirimnya. Pria atau wanita? Aku nggak tahu yang jelas, dia bukan orang biasa.

Dia selalu memanggilku Mon chéri, seolah aku miliknya dan tiap kali, selalu ada mawar hitam—bukan yang dicelup warna, tapi mawar hitam asli. Katanya, dia menciptakannya khusus untukku, hanya karena aku suka warna hitam. Aku mau membuang surat itu ke tempat sampah, tapi aku menyimpannya.

Seperti biasa. Di laci meja yang aku kunci setiap malam. Aku... gak bisa berhenti.

Hari ini, hadiahnya lebih besar dari biasanya. Sebuah kotak besar dan kanvas tertutup. Rasanya campur aduk—penasaran, ragu, dan... takut. Aku tahu aku harus berhenti menerima semua ini. Entah kenapa, aku tetap menunggu. Aku membenci diriku karena itu.

Dengan hati-hati, aku membuka kotaknya. Isinya selimut rajut hitam, tebal dan lembut. Setiap rajutan begitu rapi, seperti dikerjakan dengan sabar. Bukan sekadar barang mahal—ini buatan tangan. Buatan hati.

Aku membuka kanvas dan terdiam.

Itu... aku. Sedang menggendong Queen. Lukisan itu sangat detail. Mataku, cara aku memeluk Queen, bahkan tekstur bulunya terlihat nyata. Orang yang melukis ini—dia mengenalku. Mungkin lebih dari siapa pun. Aku menggenggam bingkainya erat. Jantungku berdebar. Siapa dia? Dan kenapa dia melakukan semua ini... untukku?

Aku nggak tahu harus menyimpan lukisan ini di mana. Terlalu besar untuk disembunyikan, terlalu personal untuk dipajang, tapi aku tetap memandangi wajahku di atas kanvas, terpaku. Seolah seseorang di luar sana melihat sisi diriku yang bahkan aku sendiri belum sepenuhnya kenal.

DING! DONG!

Tiba-tiba, suara bel pintu berbunyi.

Aku tersentak. Pasti makanan dari G.X. Dia selalu melakukan ini. Setiap pagi dan malam. Aku berjalan ke pintu, membukanya, dan melihat seorang driver ojol berdiri di sana dengan kantong makanan di tangannya.

"Pesanan untuk Rei Haven?" tanyanya sopan.

Aku mengangguk, menerima makanan itu, lalu menutup pintu. Aroma sup jagung langsung memenuhi hidungku. Begitu kubuka bungkusnya, ada semangkuk sup hangat dan garlic bread. Aku tersenyum kecil. Semalam aku membayangkan mau makan ini… dan sekarang, makanan itu ada di hadapanku. G.X selalu tahu.

Aku mulai menyeruput sup itu. Hangat, lembut, menenangkan. Namun di balik semua itu, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Dia selalu tahu lokasiku. Tahu apa yang aku suka, bahkan sebelum aku sadar aku menginginkannya.

Dua belas tahun lalu, saat aku diusir dari rumah, G.X mulai muncul—mengirim makanan, hadiah, surat dan apapun yang aku butuhkan. Dulu aku takut. Sekarang? Aku gak yakin. Rasanya… aku terbiasa. Kehadirannya aneh, tapi juga menenangkan dan itu yang membuat semuanya lebih rumit.

Pandangan mataku jatuh ke lukisan di sudut ruangan. Aku di sana, tersenyum, menggendong Queen. Wajahku terlihat damai. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia tahu begitu banyak tentangku? Apa kami pernah bertemu?

Aku menatap surat terakhir darinya. Aku tahu ini bukan kebetulan, tapi kenapa aku gak bisa menjauh? Mungkin karena jauh di dalam hati… aku gak mau. Dan… aku membawa bayangannya bersamaku ke mana pun aku pergi.

Jam dinding menunjukkan pukul 08.00. Aku harus berangkat. Setelah memastikan Queen punya cukup makanan dan air, aku mengambil tas lalu pergi.

Di kantor, saat aku berdiri di depan lift, seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh. Lisa. Dia tersenyum lebar, seolah memang menungguku.

"Rei! Kamu datang juga akhirnya. Aku hampir gak percaya kalau kamu bisa telat." katanya dengan nada menggoda.

Aku mengangkat alis. "Aku gak telat."

Lisa tertawa kecil. "Iya sih, tapi biasanya kamu datang lebih pagi. Aku kira kamu sakit atau semalam sibuk melakukan sesuatu yang... menyenangkan?" Dia mengedipkan matanya dengan penuh arti.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. "Aku tidur."

Lisa merengut. "Kamu selalu dingin banget, sih. Coba sekali-kali ngobrol dengan hangat sama aku. Aku kan teman kerjamu juga."

Teman kerja? Aku bahkan gak ingat kapan terakhir kali aku berbicara lebih dari tiga kalimat dengannya. Aku gak punya masalah pribadi dengan Lisa, tapi aku juga gak suka dengannya. Dia terlalu manja, selalu mencari perhatian, dan sering kali bersikap egois. Ditambah lagi, dia sangat menyukai drama.

"Ngomong-ngomong..." Lisa mendekat sedikit. "Aku dengar dari anak-anak di divisi lain kalau kamu sering makan malam berdua dengan Pak Gabriel. Itu benar?"

Aku menghela napas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. "Itu urusan kerja."

"Benarkah? Tapi aku dengar dia selalu membelikanmu kopi dan sering mengajakmu makan siang juga." Lisa mendekat lebih lagi, seolah sedang membagikan gosip rahasia. "Kamu dan Pak Gabriel gak punya hubungan khusus, kan?"

Aku menatapnya dingin. "Menurutmu?"

Lisa mengerjapkan mata, tampak berpikir sejenak. Lalu dia tertawa. "Ihh, kamu jutek banget! Aku kan cuma tanya. Semua orang juga penasaran karena Pak Gabriel gak pernah sedekat ini dengan sekretaris sebelumnya."

Aku gak merespons.

Lisa menghela napas dan melipat tangan di depan dada. "Kamu beneran gak mau ngobrol sama aku? Aku ini baik, tahu. Aku cuma mau jadi teman kamu."