Aku tetap diam. Lisa mau jadi temanku? Aku lebih nyaman sendirian di ruangan gelap daripada duduk sama dia di ruang terbuka.
Lisa menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Rei... kenapa kamu selalu memperlakukanku dingin? Aku kan gak pernah jahat sama kamu..." suaranya terdengar sedih, nyaris seperti menangis.
Aku menatapnya tanpa ekspresi. Orang-orang di sekitar mulai memperhatikan. Beberapa tampak penasaran, beberapa hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku bisa aja menanggapi Lisa dengan serius, tapi aku gak tertarik melakukannya. Tanpa berkata apa-apa, aku mengambil headphone dari dalam tas kerjaku dan memasangnya di telinga.
Dari sudut mataku, Lisa membelalak kaget. Mulutnya sedikit terbuka, seolah gak percaya. Beberapa orang di sekitar kami menahan tawa, dan aku bisa melihat ada yang berusaha menyembunyikan senyum mereka di balik tangan.
Lisa menghentakkan kakinya dengan kesal. "Rei! Kamu ini—!"
Aku langsung menekan tombol lift tanpa menatapnya. Pintu lift terbuka. Aku masuk tanpa menoleh dan membiarkan pintu tertutup di hadapannya. Kalau tahu begini, lebih baik aku pakai headphone sejak tadi.
Begitu aku sampai di mejaku, suara interkom berbunyi.
"Masuk ke ruangan saya."
Suaranya tenang, tapi aku tahu itu perintah, bukan permintaan. Aku menghela napas dan mengambil notepad sebelum melangkah menuju ruangan Gabriel. Aku mengetuk pintu sekali sebelum masuk.
Dia duduk di belakang meja, mengenakan setelan navy dengan dasi yang sedikit longgar. Dia menatapku dengan ekspresi tenang, tapi aku bisa merasakan tatapan matanya yang selalu intens saat melihatku.
"Ini untukmu." katanya sambil mendorong sebuah map tebal ke arahku.
Aku mengambilnya dan membukanya. Laporan keuangan perusahaan untuk kuartal kedua. Aku dengan cepat membaca isinya. Rinciannya sangat kompleks—anggaran, pengeluaran operasional, investasi dalam keamanan digital, analisis risiko kebocoran data, dan forecast keuangan perusahaan.
Aku mengangkat kepala. "Kamu ingin aku menangani ini?"
Gabriel mengangguk. "Aku butuh laporan yang lebih rapi dan ringkas untuk presentasi besok siang. Aku percaya hanya kamu yang bisa melakukannya dengan benar."
Aku tahu ini bukan hanya tugas biasa. Sebagai sekretaris eksekutif, aku memang sering menyiapkan dokumen penting, tapi laporan ini jauh lebih krusial. Jika ada kesalahan, dampaknya bisa besar.
Aku menutup map itu dan berkata, "Berapa lama aku punya waktu?"
Gabriel menatapku lama sebelum menjawab, "Laporan final harus siap sebelum rapat besok siang."
Dengan kata lain, aku harus lembur. Aku menghela napas.. "Baik."
Aku berbalik untuk kembali ke mejaku, tapi sebelum aku bisa melangkah keluar, Gabriel ngobmong lagi.
"Aku ikut lembur."
Aku menoleh dan menatapnya. "Kenapa?"
Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung sedikit. "Aku gak bisa biarin kamu kerja sendirian sepanjang malam."
Aku mau bilang bahwa aku bisa mengatasinya sendiri, tapi aku tahu Gabriel gak akan berubah pikiran. Aku memilih untuk gak berdebat dan hanya mengangguk sebelum keluar dari ruangannya. Kadang aku bertanya-tanya... apa Gabriel benar-benar gak bisa membiarkanku sendiri? Atau dia cuma gak percaya kalau aku bisa bertahan tanpa dia?
Malam sudah semakin larut. Kantor terasa lengang, hanya ada suara ketikan keyboard dan lembaran kertas yang kubolak-balik. Aku sudah tenggelam dalam laporan keuangan ini selama berjam-jam.
Di seberang meja, Gabriel juga masih sibuk. Dia melepas jasnya sejak tadi, menyisakan kemeja putih yang lengannya sudah digulung hingga siku. Dasi navy-nya dibiarkan longgar, dan beberapa kancing atas kemejanya terbuka. Aku mencoba untuk gak memperhatikannya, tapi mata ini sesekali tetap melirik tanpa sadar.
Suara langkah kaki mendekat. Aku mendongak. Gabriel berdiri di sampingku, membawa dua cangkir kopi.
"Minum dulu." katanya, menyerahkan salah satunya.
Aku menerima cangkir itu, ujung jariku bersentuhan dengan jarinya. Hanya sepersekian detik, tapi sentuhan itu cukup membuat jantungku berdebar aneh. Aku buru-buru menarik tanganku dan memalingkan wajah.
"Kamu terlalu serius," gumamnya, lalu duduk di kursi di sampingku. "Laporan itu bakal takut sendiri kalau kamu terus menatapnya kaya itu."
Aku mendengus. "Sayangnya dia gak punya rasa takut."
"Sayangnya kamu juga gak punya tombol off."
"Lucu."
Gabriel tersenyum tipis. "Aku tahu."
"Aku harus beresin ini."
"Kamu butuh istirahat sebentar," katanya, menyesap kopinya. "Kita sudah kerja lima jam. Lengan kamu bahkan mulai tremor halus, tahu nggak?"
"Observasi yang sangat tidak diminta."
"Kalau aku nunggu kamu minta, kita bisa lembur sampai pagi."
Aku meliriknya tajam. "Kalau kamu mau pulang, silakan."
Dia bersandar santai. "Kamu pikir aku segampang itu ninggalin kamu sendirian di kantor, tengah malam, dengan ekspresi frustrasi kayak gitu?"
Aku mengerutkan alis. "Ekspresi apa?"
"Ekspresi 'aku butuh seseorang buat mijit kepala tapi gengsi minta'."
Aku meliriknya sejenak, menyesal, lalu kembali menatap layar. "Gabriel, jangan ganggu."
Dia bergerak lebih dekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. "Aku bukan ganggu. Aku bantu."
"Dengan duduk terlalu dekat dan memperhatikan aku kayak CCTV?"
Gabriel tertawa kecil. "Kamu yang bilang, bukan aku."
Aku menghela napas tajam. "Serius, kamu ngapain sih di sini?"
"Lembur bareng kamu. Menemani. Menjaga. Menggoda, kalau perlu."
Aku menoleh. "Gabriel."
"Yes, my grumpy cat."
Tatapan kami terkunci. Aku bisa merasakan panas merayap naik ke wajahku, tapi aku menahan ekspresi sekeras mungkin. Dia tiba-tiba mengambil mouse dari tanganku, jari-jarinya menyentuh punggung tanganku. Aku langsung kaget.
"Hei—"
"Tenang. Aku cuma mau nunjuk bagian ini." Dia menggeser layar, menunjuk bagian laporan. "Kamu bisa rapatkan data ini, biar efisien. Kayak kamu waktu ngacuhin aku—efisien dan menyakitkan."
Aku mengerjap. "…Kamu ngomong apa sih?"
"Bercanda," katanya, masih terlalu dekat.
"Aku serius."
"Aku juga."
Aku menarik tanganku dan menyandarkan punggung ke kursi. "Oke. Aku akan revisi."
"Lihat? Lembur ini produktif." katanya bangga.
Aku menghela napas "Kalau kamu selesai pamer, bisa kembali ke mejamu?"
"Kenapa? Aku nyaman di sini."
"Aku enggak."
"Bohong."
Tatapanku menyipit. "Kamu mau mulai lagi?"
"Aku belum selesai dari tadi."
Aku kembali fokus pada laporan, tapi dia tetap gak bergerak dari posisinya. Aroma colognenya menyusup lagi—maskulin, hangat, mengganggu.
"Masih banyak?" tanyanya dari belakang, suaranya rendah dan terlalu dekat di telingaku.
Aku menelan ludah. "Lumayan."
Gabriel bersandar ke meja, mengepung ruang pribadiku.
"Gabriel."
"Hm?"
"Kamu terlalu dekat."
"Aku tahu." Bibirnya melengkung sedikit.
"Kalau kamu makin dekat, aku akan… melempar kamu pakai stabilo."
"Warna apa? Biar aku siap."
Aku mengeram. "Gabriel."
Dia terkekeh. "Oke, oke. Tapi serius. Tanganmu gemetar."
Aku diam, tapi menarik tanganku.
Gabriel mengambil pena dari tanganku dan meletakkannya. Lalu menangkup tanganku. Hangat. Tegas. Lembut.
"Kalau kamu terus memaksakan diri, kamu bisa kram." katanya, mulai memijat lembut jariku.
"Aku baik-baik aja," protesku lemah.
"Kata orang yang kelelahan tapi masih denial."