Bab 8 : Rei

Aku menutup mata, mencoba gak menikmati pijatannya, tapi gagal.

"Aku bisa sendiri."

"Bisa, tapi kamu nggak harus."

Beberapa detik sunyi. Aku menarik tanganku cepat. "Jangan lakuin itu."

"Kenapa?"

"Itu… aneh."

Dia menatapku, senyum miring. "Aneh karena kamu suka?"

"Aneh karena kamu nganggep ini normal."

"Kalau normal artinya kamu tenang dan nggak stres, aku siap jadi keanehan kamu tiap malam."

Aku mendengus. "Omong kosong."

"Lebih baik daripada kamu ngelamun sambil ngunyah tutup pulpen kayak barusan."

Aku refleks menoleh. "Kamu ngamatin aku?"

Gabriel mengangkat alis. "Kamu pikir aku duduk di sini cuma buat dekorasi?"

Aku mendengus lagi dan kembali bekerja, tapi dia gak pergi. Beberapa menit kemudian, dia menyentuh bahuku.

"Gabriel." kataku peringatan.

"Kamu tegang lagi." gumamnya.

"Aku tahu tubuhku."

"Aku juga." balasnya tenang.

"Jangan mulai."

Dia tertawa kecil dan mulai memijat bahuku. Aku ingin marah… tapi tubuhku berterima kasih. Sialan.

"Jangan…"

"Terlambat. Kamu sudah membiarkanku menyentuhmu dua kali."

Aku membuka mata perlahan. "Gabriel…"

"Hm?"

"Aku akan balas dendam."

"Silakan. Tapi nanti setelah kamu selesai laporan, dan pundak kamu nggak kayak kayu jati."

Entah siapa yang lebih bahaya—dia atau caraku sendiri membiarkannya tetap dekat.

♕♕♕

Ruang rapat dipenuhi suara pelan dari para petinggi perusahaan yang saling berbisik. Aku berdiri di ujung ruangan, mataku menyapu para hadirin dengan tenang, meski dadaku terasa sedikit sesak.

Berkas-berkas yang kusiapkan tertata rapi di meja. Slide presentasi sudah siap di layar besar. Di tengah jajaran direksi, Gabriel duduk di kursi utama. Tatapannya tajam, seolah siap menerkam siapa aja yang berani menyerangku.

"Silakan mulai, Tuan Haven."

Aku mengangguk singkat, lalu melangkah maju.

"Terima kasih atas waktu Anda." Suaraku tegas, tak sedikit pun goyah. "Presentasi ini akan membahas rincian laporan keuangan perusahaan untuk kuartal kedua, termasuk biaya operasional, investasi keamanan digital, dan proyeksi keuangan perusahaan."

Aku menjelaskan dengan lancar. Slide demi slide kupaparkan dengan detail—mulai dari rincian anggaran hingga langkah strategis perusahaan ke depan. Beberapa anggota direksi terlihat terkesan, sementara yang lain tampak waspada. Di saat aku menjelaskan bagian investasi keamanan digital, seseorang mengangkat tangan.

"Maaf, Tuan Haven," potong Tuan Morgan dengan senyum liciknya. "Saya rasa Anda melewatkan satu hal penting. Mengapa biaya keamanan digital ini membengkak hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu?"

Aku menahan napas sejenak, berusaha mengendalikan emosiku.

"Penyesuaian harga disebabkan oleh peningkatan kebutuhan teknologi dan standar keamanan." jawabku mantap.

"Menarik." Dia menyeringai. "Apakah Anda sadar, biaya sebesar ini bisa menimbulkan kerugian besar jika proyek ini gagal?"

Jemari tanganku mengencang di atas meja. Aku tahu, orang ini sengaja memancing masalah.

"Saya sudah mempertimbangkan semua risiko tersebut," balasku. "Dan data pada halaman dua belas memaparkan mitigasi risiko yang telah kami rencanakan."

Tuan Morgan tertawa pendek. "Tapi, Anda kan hanya sekretaris. Anda tidak punya pengalaman di bidang strategi bisnis, kan?"

Ruangan mendadak hening. Beberapa orang mulai saling berbisik.

"Ada masalah?"

Suara Gabriel terdengar dingin, tajam. Semua kepala menoleh ke arahnya. Gabriel mencondongkan tubuh ke depan, jemarinya bertaut di atas meja. Tatapannya lurus ke arah Tuan Morgan.

"Rei memang sekretarisku," katanya lambat, namun penuh tekanan. "Tapi dia juga orang yang paling memahami detail laporan ini. Jika Anda merasa laporan ini tidak sesuai, silakan tunjukkan di mana letak kesalahannya."

Tuan Morgan tampak kaku. Mulutnya terbuka, seolah hendak bicara, tapi gak ada kata yang keluar.

"Kalau tidak ada," lanjut Gabriel, "Saya sarankan Anda mendengarkan sampai selesai."

Tatapannya begitu dingin hingga akhirnya Tuan Morgan bersandar di kursinya, terdiam.

Aku melanjutkan presentasiku dengan keyakinan yang lebih besar. Beberapa jam kemudian rapat berakhir dan para petinggi mulai meninggalkan ruangan, Gabriel berdiri di sampingku.

"Kamu baik-baik aja?" tanyanya pelan.

Aku menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Iya. Aku bisa menghadapi orang itu sendiri."

Gabriel mendengus kecil. "Aku tahu. Tetap aja, aku nggak suka kalau ada yang berani meremehkanmu."

Ada sesuatu dalam nada suaranya—protektif, bahkan... hangat. Aku gak mengatakan apa-apa, hanya berdeham pelan lalu membereskan berkas-berkasku. Diam-diam, sudut bibirku sedikit terangkat.

Dan Gabriel melihat itu.

"Kamu nggak langsung balik ke ruanganmu?" tanyaku tanpa menoleh.

Gabriel menutup pintu rapat, menguncinya tanpa suara. "Aku mau ngomong sama kamu."

Aku menghela napas. "Kalau ini soal tadi—"

"Tadi kamu keren."

Aku menoleh. Gabriel bersandar di meja dengan ekspresi serius. "Aku nggak pernah lihat kamu sekeren itu sebelumnya."

Aku tertawa kecil, getir. "Aku cuma melakukan pekerjaanku."

"Tapi kamu kelihatan..." Gabriel berhenti sejenak, matanya menelusuri wajahku. "...lebih dari sekadar sekretaris biasa."

Aku mendengus. "Aku nggak butuh pujian, Gabriel."

"Aku tahu," jawabnya, langkahnya perlahan mendekat. "Tapi kamu juga nggak harus selalu bersikap seolah semuanya baik-baik aja."

Jarak kami kini hanya beberapa langkah. Gabriel berdiri tepat di depanku, menatapku lekat-lekat.

"Kamu gemetar waktu beresin berkas tadi." katanya pelan.

Aku terdiam. Sial. Dia menyadarinya.

"Kalau kamu capek..." Gabriel mengangkat tangannya ke arah lenganku, tapi berhenti di udara, ragu-ragu. "Kamu nggak harus pura-pura kuat di depanku."

"Aku baik-baik aja." jawabku pelan, tapi aku bisa mendengar getaran dalam suaraku sendiri.

Gabriel melangkah lebih dekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—campuran cologne mahal dan sesuatu yang lebih lembut, menenangkan.

"Kamu nggak pernah benar-benar baik-baik aja, kan?" bisiknya.

Aku menelan ludah, mengalihkan pandangan ke samping, menghindari tatapannya. Gabriel akhirnya bergerak—menangkup wajahku dengan lembut, ibu jarinya mengusap pelan pipiku.

"Gabriel..." Aku mencoba menolak, tapi suaraku terlalu lemah.

"Aku tahu kamu nggak suka diatur," Jarinya bergerak ke sisi rahangku, menyentuhku seolah aku adalah sesuatu yang rapuh. "bisakah kamu, untuk sekali ini aja... nggak pura-pura kuat di depanku?"

Aku menutup mata, merasa dinding pertahananku mulai retak.

"Jangan gini..." bisikku, hampir memohon.

Gabriel menghela napas. "Aku nggak akan maksa," sahutnya. "Aku cuma mau kamu tahu... kamu nggak sendiri."

Jarinya turun, mengusap pelan sepanjang lenganku. Sentuhannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah takut aku akan hancur jika disentuh terlalu keras. Aku mengangkat wajahku, menatap matanya. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang hangat, namun juga berbahaya.

Untuk sesaat, dunia terasa begitu sunyi. Tanpa sadar, tubuhku sedikit mencondong ke depan... hanya sedikit...

Gabriel tersenyum samar, seolah tahu persis apa yang kurasakan.

"Kalau aku melangkah lebih jauh," bisiknya, "kamu bakal marah nggak?"

Aku gak menjawab. Aku hanya menutup mata, membiarkan dahi kami bersentuhan—hangat, menenangkan... dan membingungkan.

"Kamu nggak perlu jawab sekarang." Suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Tapi kapan pun kamu siap... aku di sini."

Lalu, dengan enggan, Gabriel melangkah mundur.

"Jangan terlalu lama kerja malam ini." tambahnya sebelum berbalik pergi.

Aku berdiri diam, masih bisa merasakan sisa kehangatan dari sentuhannya di wajahku. Aku takut pada perasaan ini. Kalau ini salah, kenapa rasanya seperti satu-satunya hal yang benar?