Bab 9 : Gabriel

⚠️Trigger Warning: Obsessive behavior, KDRT, kek£rasan terhadap @nak, kek£rasan fisik eksplisit, vigil@ntisme. Harap baca dengan pertimbangan pribadi.⚠️

♕♕

"Rei bukan seseorang yang bisa kau miliki. Dia adalah semesta yang hanya bisa kau kagumi dari kejauhan."

♕♕♕♕

Aku bisa merasakannya. Sedikit demi sedikit, Rei mulai terbiasa dengan kehadiranku. Dia mulai menerima sentuhanku—meskipun dengan ragu-ragu. Dia gak langsung menepis tanganku ketika aku menyentuh bahunya. Gak langsung mundur saat aku berdiri terlalu dekat. Reaksinya begitu... luar biasa.

Dan itu membuatku ingin lebih. Aku ingin menyentuhnya lebih lama. Ingin membuatnya bergantung padaku. Ingin menjadi satu-satunya orang yang bisa dia percayai, tapi aku tau aku harus bersabar. Aku udah menunggu selama Dua belas tahun. Jika harus menunggu lebih lama lagi, itu bukan masalah besar bagiku.

Aku bersandar di kursiku, menatap layar komputer dengan senyum kecil. Jari-jariku mengetuk permukaan meja dengan ritme pelan, mengingat kembali setiap momen yang terjadi saat kami lembur bersama.

Aku udah mencetak foto-foto Rei yang kuambil dari kamera CCTV di ruanganku. Setiap ekspresinya saat dia gak menyadari sedang diawasi, setiap tatapan kosongnya ketika dia lelah, setiap sentuhan tak sengaja yang terjadi di antara kami—aku menyimpannya dengan hati-hati.

Namun, ada satu orang yang membuat darahku mendidih. Morgan. Bajingan itu berani meremehkan Rei. Mencoba mempermalukannya di depan banyak orang. Aku mengepalkan tangan, rahangku mengeras.

Orang itu... Aku bersumpah akan menghancurkannya. Dia gak akan bisa lari. Aku akan mengejarnya sampai ke ujung dunia sekalipun. Aku menemukan sesuatu mengenai Morgan.

Pria tua itu bukan hanya sekadar bajingan di ruang rapat, tapi juga sampah masyarakat di luar sana. Dia sering mengunjungi tempat pr*stitusi di jam kerja. Suka melakukan KDRT. Bahkan tercatat pernah mem*kuli istrinya hingga lumpuh akibat cedera tulang belakang yang parah.

Seolah itu belum cukup menjijikkan, dia juga pecandu alkohol dan pemakai nark*ba. Tapi yang paling menarik dari semuanya—dia gak pernah tersentuh hukum.

Kenapa? Karena hukum di negara ini bisa dibeli dengan uang dan jabatan. Sangat mirip dengan seseorang yang kukenal. Katanya negara hukum yang demokratis? Nyatanya ini hanya negara sampah yang dipenuhi orang-orang menjijikkan.

Aku bersandar di kursi, menatap layar komputer dengan senyum miring. Gak hanya Morgan, ada lima orang lainnya yang bersikap sama. Orang-orang yang menganggap diri mereka berkuasa, yang merasa bisa menghina Rei tanpa konsekuensi. Salah besar.

Kalau Rei tahu apa yang kulakukan demi melindunginya… apa dia tetap membiarkanku menyentuh tangannya?

Aku berdiri, mengenakan hoodie hitam, masker dan memasang sarung tangan kulit. Sebelum pergi, aku mengganti plat mobilku dengan yang palsu—hanya untuk memastikan gak ada jejak yang tertinggal.

Aku akan memburu mereka semua. Termasuk siapa pun yang melindungi Morgan dari hukum. Akan kupastikan hidup mereka berubah menjadi neraka. Tanpa membuang waktu, aku mengendarai mobilku menuju rumahnya.

Rumahnya lebih besar dari yang kuduga. Bangunan mewah dengan halaman luas, pagar tinggi, dan kamera pengawas di beberapa sudut, tapi pengamanannya buruk. Terlalu percaya diri, seolah gak ada yang akan berani menyentuhnya.

Aku melangkah mendekat, semakin dekat, dan semakin jelas kudengar suara dari dalam rumah.

BRAK!

Sesuatu terjatuh. Lalu terdengar suara jeritan wanita dan an*k kecil. Aku berdiri dalam bayangan, mengamati pemandangan menjijikkan di depanku. Morgan, bajingan tua itu, dalam keadaan mabuk berat, menampar dan memukuli anaknya. Bocah itu tak berdaya, wajahnya sudah lebam dan tubuhnya gemetar menahan sakit.

Di sudut ruangan, seorang wanita paruh baya bernama Martha berusaha menyeret tubuhnya ke arah mereka. Dia terjatuh dari kursi rodanya, namun tetap berusaha melindungi anaknya. Air mata mengalir deras di pipinya saat dia memohon berulang kali.

"Tolong, jangan sakiti anak kita... Aku mohon, Morgan..."

BUGH!

Morgan hanya tertawa kasar dan menendang tubuh Martha dengan brutal.

PLAK!

"Diam, wanita jalang! Aku sudah muak melihat kalian semua!" bentaknya sambil kembali menghajar wajah Martha.

Darah mengalir dari bibir dan hidungnya, menodai lantai rumah yang sudah kotor. Aku gak bisa lagi menahan amarahku. Dengan langkah cepat, aku menerobos masuk ke dalam rumah dan menghantam wajah Morgan dengan tinjuku.

"Bajingan." gumamku sebelum melayangkan tendangan ke tubuhnya.

BUGH!

Morgan terpental dan jatuh ke lantai, botol minumannya terlepas dan pecah. Dia mengerang, mencoba bangkit, tapi aku sudah menekan lututku ke dadanya, membuatnya kesulitan bernapas.

"B-brengsek! S-siapa kau?!" Teriak Morgan.

Martha dan anak-anaknya berteriak kaget. Martha bahkan menyeret tubuhnya ke arahku, memohon dengan air mata yang belum kering di wajahnya.

"Jangan sakiti suamiku... Aku mohon..."

Aku menatapnya tanpa ekspresi. Wanita ini masih juga membela pria yang telah menghancurkan hidupnya? Benar-benar menyedihkan. Morgan mulai memohon juga, darah mengalir dari mulutnya setelah beberapa pukulanku mendarat di wajahnya.

"Tolong... Aku akan bayar! Aku akan beri uang sebanyak yang kau mau! Jangan sakiti aku!"

Sebelum aku menjawab, suara anak laki-laki itu terdengar. Tatapannya penuh kebencian, dingin dan tanpa belas kasihan.

"Ibu, cukup. Jangan lindungi dia lagi. Apa Ibu baru puas kalau kita semua m"ti di tangannya?"

Dua anak Martha yang lain juga ikut berbicara. Mereka gak mau ibunya terus mempertahankan bajingan itu.

Morgan yang merasa terhina langsung mengamuk. "Kurang ajar! Aku yang membesarkan kalian semua! Kalian berani melawanku?!"

BUGH!

Aku menendangnya lagi sebelum dia sempat menyerang anak-anaknya. Bajingan ini benar-benar gak sadar akan dosanya.

Anak laki-laki itu mendekatiku, matanya masih menatap ayahnya dengan kebencian yang mendalam. "Tolong, habisi dia... Iblis ini pantas m*ti."

Aku menatapnya dengan penuh ketertarikan. "Mau mencoba sendiri?" tanyaku sambil memberi isyarat padanya.

Bocah itu menoleh ke arah ibunya yang masih menangis, lalu melihat kedua adiknya. Setelah beberapa detik, dia mengangguk. Dengan tangan yang gemetar, dia meraih vas bunga dan menghantamkan vas itu ke kepala pria brengsek itu.

PRANG!

Vas bunga pecah, darah Morgan bercucuran.

"AAARGH!" Morgan mengerang kesakitan.

Bocah itu melangkah mundur, wajahnya tetap dingin. "Udah cukup... Selama ini aku, Ibu, dan adik-adikku menderita karena dia. Dia iblis bukan manusia, dia lebih hina dari kotoran."

Aku menahan tangannya sebelum dia melanjutkan. "Kamu gak perlu mengotori tanganmu. Aku yang akan menghabisi iblis ini."

Aku meminta bocah itu membawa ibunya dan adik-adiknya pergi dari tempat ini. Luka mereka cukup parah, mereka harus segera mendapat perawatan.

Anak itu mengangguk. Sebelum pergi, dia menatapku dengan penuh harapan. "Aku sudah berdoa bertahun-tahun supaya dia mati. Hari ini, doaku terkabul."

Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh, menawarkannya padaku. "Tolong, pastikan dia benar-benar mati. Aku akan membayarmu."

Aku tertawa kecil, menolak uang itu. "Aku gak butuh uangmu. Yang aku butuhkan hanyalah menghabisi bajingan ini."