Seorang dwarf, berarmor kulit ogre yang cukup keras, dia membawa belati dan pedang di pahanya. Dia berjalan dengan santai menyusuri jalanan di kota. Karena melamun, dia tak sengaja menyenggol bahu Yvonne. “Maaf,” katanya. Dwarf itu bahkan tak berhenti sedikit pun, sepertinya dia ingin pergi ke suatu tempat.
Yvonne menyadari sesuatu, dia berhenti—menoleh ke belakang, ke arah dwarf itu berjalan menjauh. “Dia siapa ya, aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat,” Yvonne berpikir keras.
“Ahh, aku ingat sekarang,” katanya. “Dia Daniel.”
“Daniel? Itu siapa?” Ayaa bertanya pada Tuannya. “Daniel, bocah dwarf yang pernah kita temui lima tahun lalu,” ungkap Yvonne yang saat ini sedang mengganti identitasnya menjadi Fasha.
“Ahh, jadi bocah itu ya. Saya mengingatnya sekarang,” jawab Ayaa. “Kukira dia sudah mati saat penyerangan Hell Hound,” kata Fasha. “Tak kusangka dia masih hidup hingga saat ini.”
“Ayaa, ikuti dia. Walau raut wajahnya terlihat tenang, bocah itu menyembunyikan amarah. Selidiki tanpa ikut campur, jika ada sesuatu katakan padaku.” Hanya dengan satu perintah, Ayaa menundukkan kepalanya. Dia menghilang di antara kerumunan tanpa disadari siapa pun, seolah keberadaannya tak pernah dirasakan.
“Jadi, kamu mau pergi ke mana lagi?” tanya Fasha pada putri kecilnya. “Walau hanya sebentar, namun menghabiskan waktu dengan mama itu menyenangkan. Aku tahu mama sibuk, jadi ini sudah cukup.” Gadis berumur lima tahun itu menyadari jika orang tuanya tak punya waktu.
Namun, Fasha tak ingin membiarkannya kesepian. Dia ingin bersama putrinya, tapi di sisi lain dia harus mengerjakan tugasnya sebagai pemimpin. “Jangan kaku begitu, aku bisa menemanimu bermain hingga puas,” hiburnya.
“Tapi, jika seperti itu, mama pasti begadang. Ini saja sudah cukup kok,” sela Violette. “Baiklah, jika kamu merasa begitu.” Yvonne mengelusnya, memanjakannya dengan sentuhan lembut penuh kasih sayang.
[Me and the Underworld]
“Mau kupikirkan sekeras apa pun juga, aku masih tak paham.” Seorang dwarf melangkah, memasuki sebuah tempat makan yang di penuhi pelanggan. Puluhan pandangan mata menusuk dirinya. Dia menjadi pusat perhatian.
Semua pelanggan di sana adalah para petualang yang terlihat tangguh, mereka bahkan makan sambil membawa senjatanya. Namun, yang aneh adalah kenapa mereka memandang daniel dengan tatapan tidak ramah.
“Kenapa kau menyentuh mereka? Ini urusan kita!”. Daniel duduk di ujung ruangan, dia mengatakan itu pada orang di sampingnya.
Rambut coklat yang berkilau, armor besi di dadanya, anting hijau zamrud di telinganya. Dagunya terlihat runcing, wajahnya bersih tanpa kotoran. Daniel duduk di sebelahnya, seorang anak baron.
“Bukankah sudah ku katakan padamu, aku akan menyeret siapa pun yang berhubungan denganmu,” ancamnya. Pria itu serius, dia tak akan segan untuk menghabisi lawannya.
“Bibi, aku pesan rum satu gelas,” kata Daniel pada pemilik kedai. Segelas rum di dalam gelas kaca disediakan untuknya. Bibi iti terlihat ramah, penampilannya mirip dengan ibu Daniel.
“Gelas kaca?” tanya Daniel. “Iyaa, aku membelinya dari toko Erlinggson. Cangkir kaca ini murah, tersedia berbagai ukuran juga,” katanya.
Daniel melanjutkan obrolannya dengan anak bangsawan itu. “Perlukah kau melakukan itu, Davin ra Holdein?” tanyanya. Raut wajah Daniel mulai kacau, dia membenci sikap kasar anak bangsawan di sampingnya ini.
“Daniel, kenapa memanggilku dengan nama lengkap?” ledek Davin, dia bahkan tersenyum seolah tak peduli dengan kemarahan Daniel. “Kau mematahkan jarinya padahal dia seorang pemanah,” teriaknya.
Daniel mengepalkan tangannya di atas meja seolah dia ingin menghajar siapa pun saat ini. Davin melirik, dia menyadari hal itu. Dia terkekeh dan mengatakan, “Daniel, si pemberani. Sesuai julukanmu kau tak takut dengan apa pun. Namun, apa kau yakin akan melakukannya?”
“Kau itu petualang tingkat B+, tapi seluruh orang di kedai ada di tingkat B dan C. Kau tak akan melakukan hal bodoh bukan?” ancam Davin padanya. Seluruh petualang di kedai melirik, mereka adalah bawahan Davin. Mereka tersenyum, seolah mengejek Daniel yang terpojok.
“Benar, kau benar.” Daniel tersenyum. “Aku, Daniel si pemberani,” gumamnya. Dia menjambak rambut Davin, mencengkeramnya—membenturkan kepalanya ke meja. Dia melakukannya dengan kuat hingga hidungnya berdarah.
Dia membenturkan kepalanya lagi, dan lagi. Seseorang berteriak dari belakang Daniel. Dia menarik kerah baju Daniel agar tak bisa bergerak. Di antara pandangan semua orang, Daniel melangkahkan kakinya ke atas meja. Tubuhnya melesat ke udara, seolah menantang gravitasi.
Siliran angin membisik di telinga, tubuhnya melengkung sempurna di udara, kaki dan tangan menyatu dalam gerakan yang terlatih. Sebuah salto yang indah dan memukau. Daniel menghantam kepala petualang yang memegang kerahnya hingga terjatuh.
Tak ingin harga dirinya runtuh, dia segera mengambil belati—menusukkannya ke wajah Daniel. Daniel menghindar—pipinya tergores dan di waktu bersamaan Daniel menyerang. Dia menusukkan jari telunjuk dan tengah ke mata pria itu hingga berdarah. Ini sosok aslinya, dia tak peduli melakukan hal kotor macam ini.
“Sialan.” Teriakan itu beriringan dengan langkah kaki yang terburu-buru untuk menghajar dwarf muda itu. Daniel menendang kursi, membuat musuhnya tersandung hingga terjatuh ke depan. Sebuah lutut mengarah ke wajahnya. Daniel melumat wajah orang itu dengan lututnya.
“Hentikan Daniel!” teriak seseorang. Kawanan petualang itu terlihat seperti serigala kelaparan yang akan menyerang Daniel. “Jangan berisik,” gumam seorang gadis yang ada di sana.
Para petualang berlarian mengeroyoki Daniel. Namun, dwarf itu tak pernah panik bahkan takut, dia menatap mereka dengan penuh keberanian yang membara. Daniel mengambil semangkok sup panas dan segelas rum miliknya. Dia menyiramkan sup panas itu ke wajah musuhnya hingga melepuh, lalu dia menendang lututnya hingga patah.
“Jangan berisik,” lirih gadis yang ada di sana. Namun, tak ada yang menghiraukannya.
Tendangan lutut Daniel disusul dengan mencipratkan segelas rum ke wajah musuhnya, tapi orang itu menghindar, rum itu terkena petualang yang berada di belakangnya. Petualang yang tepat berada di hadapan Daniel melancarkan satu pukulan keras pada Daniel. Namun, dia menunduk menghindarinya sambil mencuri pedangnya.
Daniel menusukkan pedang itu ke perut petualang yang terkena rum. Dia terjatuh, darah menetes dari perutnya. Satu pukulan kuat mendarat di pipi Daniel hingga membuatnya terlempar. Daniel segera berdiri, memukulkan gelas kaca bekas rum ke meja. Sebuah knukles terbentuk, di buatnya dari gelas yang dia pecahkan. Dengan kaca yang tajam, knukles itu bisa merobek kulit targetnya.
“Apa hanya ini? Sini, maju kalian semua,” teriak Daniel. Davin melihatnya dengan penuh rasa dengki dari kejauhan, wajahnya terlihat penuh dengan luka memar dan darah. Setelah teriakan dari Daniel, disusul dengan berbagai petualang berlarian mengeroyoknya.
Daniel mencoba kabur, dia melompat ke atas meja. Terus berlarian melewati berbagai meja menuju arah. Di antara sorot pandangan tajam, di momen akhir, Daniel melompat siap merobek wajah Davin dengan knukles dari gelas kaca yang dia pegang.
Tangan yang besar dan kuat menghantam wajahnya. Daniel terpental hingga menabrak tembok, dia kepayahan bahkan hampir kehilangan kesadarannya. “Pada akhirnya, kau itu selalu sendirian,” ledek Davin padanya.
Pria berbadan besar yang memukulnya, dia mengangkat Daniel dengan satu tangan. Dia memegang kedua tangan dwarf itu, menahannya agar tak bisa bergerak. Daniel bergeming, dia terlihat lemas seolah tak sadarkan diri. “Salahmu sendiri karena membuat masalah denganku,” gumam Davin. Langkah kaki yang perlahan mendekati Daniel yang lemas tak berdaya.
Dengan pandangan kebusukan, Davin menatap lawannya yang lemas tak berdaya. Davin berada tepat di depan dwarf itu. Kepala Daniel terangkat, dia memandang Davin dengan sorot mata tajam tanpa rasa takut.
Tangannya di pegang bawahan musuhnya, jadi dia melakukan gerakan yang tak terduga. Daniel melompat, dia menendang wajah Davin dengan kedua kakinya hingga terdorong.
Pria yang menahan Daniel, dia mengangkatnya hingga begitu tinggi. Dengan cepat tubuh Daniel menghantam lantai kayu. Daniel diangkat lagi, dan di banting ke lantai lagi. Bocah dwarf itu terlihat seperti karung beras yang ringan di hadapannya.
“Jadi dia tadi pura-pura pingsan agar bisa menendangku,” pikir Davin. Dia bangkit dan mendekati Daniel yang di pegangi beberapa orang. “Bukankah sudah kubilang, pada akhirnya kau hanya sendirian.”
“Pukuli dia, patahkan beberapa tulangnya,” suruh Davin pada bawahannya di sana. Anak baron itu kembali duduk di tempatnya dan memakan makanannya seolah tak peduli dengan situasi ini.
Satu pukulan mendarat di perut Daniel, dia berteriak. Satu pukulan menuju ulu hatinya, Daniel kesakitan. Puluhan pukulan diiringi teriakan kesakitan. Bocah itu merintih, tapi itu tak di hiraukan oleh lawannya.
“Woi sialan, bukankah sudah kubilang jangan berisik,” teriakan itu mendapat seluruh perhatian dari orang di sana. Teriakannya bahkan cukup kencang hingga menggema di restoran itu. Seluruh petualang bahkan berhenti memukuli Daniel karena heran dengan situasi itu.
Orang dengan jubah dan tudung yang menutupi kepalanya. Dia duduk membaur dengan pelanggan yang lain, tak membawa senjata maupun tongkat sihir. Namun, mereka semua tahu jika orang itu juga petualang.
“Nah, begini lebih tenang. Kalian dari tadi tak tahu sopan santun, berteriak dan membuat kekacauan. Padahal aku sudah menyuruh diam beberapa kali, tapi tak dihiraukan. Aku jadi terpaksa berteriak.”
Seorang petualang, salah satu bawahan Davin mendatangi orang aneh itu. “Tuan, sepertinya kau tak paham situasinya,” ledeknya. Dia mengayunkan tinjunya ke kepala orang itu.
Orang itu menggumam, tiba-tiba petualang itu terlempar ke udara dan mendarat di atas meja pelanggan lain. Orang dengan jubah aneh itu berdiri dari kursinya, dia membuka tudung kepalanya dan mengatakan, “tak tahu sopan santun.”
Mata biru yang jernih seperti laut. Rambut putih elegan yang masuk ke jubahnya. Hidung mancung, wajah bersih tanpa luka. Dia gadis yang menawan di antara seumurnya. Padahal dia hanya manusia, tapi memiliki sihir kuat seperti para elf.
“Kalian yang tak tahu situasinya. Aku sudah menyuruh diam beberapa kali, tapi tak digubris,” gerutunya. Raut wajah gadis itu terlihat kesal dan kusut, akibat tak menyukai kebisingan mereka.
“Hentikan dia.” Hanya satu perintah dari Davin, para petualang mulai mendekatinya.
Gadis itu menggertakkan giginya. “Dengan santainya kau malah menunjukkan taringmu,” bentaknya. Matanya memanas seperti bara api, pandangan dari seorang yang menduduki peringkat atas. Gadis itu siap melahap sekumpulan pecundang di hadapannya.
“Wind Zone,” rapalnya, dia memiliki kemampuan untuk menyingkat mantra. Perlahan, sebuah angin mengalir mengisi ruangan itu. Sihir yang terlihat sederhana dan lembut. Namun, menyembunyikan ancaman dan kekuatan di dalamnya.
Para petualang itu, mereka merasakan rasa sakit luar biasa. Tiap tubuh yang mereka gerakkan seolah tercabik dan tertebas, mereka bahkan berdarah-darah hanya untuk bertahan. Mereka tak akan tergores angin tajam itu jika tak bergerak dari tempatnya. Sebenarnya, siapa gadis ini. Dia membuat puluhan orang yang beringas menjadi diam, tak berani bergerak.
“Ahh, aku ingat sekarang,” gumam salah satu petualang di sana. “Rambut putih dan mata biru, kau itu Lenka bukan?” tebak orang itu.
“Lenka, penyihir dari desa terpencil di timur kekaisaran. Kau penyihir yang memiliki kemampuan menyingkat mantra sekaligus seorang petualang tingkat S.” Petualang itu terlihat gemetar ketakutan saat mengetahui fakta yang dia katakan.
“Benar, lalu?” ketus Lenka, dia terlihat dingin dan cuek tak memedulikan perkataannya. “Ma... maaf,” katanya. Petualang itu terlihat gugup saat mengatakannya.
“Padahal aku hanya ingin makan dengan tenang, tapi kalian malah berisik di sana dan di sini,” gerutunya. Lenka, langkah kakinya tegas tanpa keraguan mendekat ke Davin.
“Lagi pula, kenapa kau malah mengeroyok bocah tak berdaya,” ledeknya. Davin mengalihkan pandangannya, dia tak berani bertatapan mata dengan penyihir itu.
“Kami, kami tak akan berisik,” gumam Davin. “Tak ada jaminan jika kau tak mengganggu makan siangku,” sanggah Lenka.
“Kami akan menyeret dwarf ini keluar, akan ku selesaikan di luar,” sambung Davin. Lenka terdiam, raut wajahnya yang datar tak bisa dibaca dan dipahami.
Di antara mereka berdua yang sibuk mendiskusikan menyelesaikan masalah ini, seorang bocah berlari mendekat. Langkah kaki kuat tanpa keraguan, mata membaranya hanya melihat satu tujuan.
Dia mengambil kursi, mengangkatnya dengan satu tangan sambil menuju ke Davin. Daniel, dwarf itu menghantam kepala Davin dengan kursi hingga berdarah. Musuhnya terkapar tak berdaya, dia mengangkat kursi kayu itu lagi, memukulkannya berulang hingga beberapa tulangnya patah.
Setelah puas melakukannya, Daniel membuang kursi itu. Dia kepayahan, tubuhnya penuh dengan luka tebasan akibat berlarian di medan angin tajam milik Lenka. Dia bahkan tak memedulikan tubuhnya terluka asal bisa menghajar lawannya.
“Oi, apa yang kau lakukan?” bentak Lenka pada dwarf kecil itu. Seluruh tubuh Daniel gemetaran, bukan karena rasa takut, tapi karena lemas kehilangan banyak darah.
“Kenapa kau memukul kepalanya dengan kursi,” tanya Lenka dengan tegas padanya. Mungkin harga diri penyihir itu tercoreng melihat bocah itu mengabaikan sihirnya demi menghajar musuhnya.
“Karena aku tak sanggup mengangkat meja,” katanya dengan tersenyum. Walau sedang di ujung jurang, Daniel tak peduli. Lenka menghembuskan nafasnya, dia tertawa dan mengatakan, “ternyata ada orang bodoh juga di sini.”
“Kau tak takut angin tajam itu akan mengoyak tubuhmu? Kau tak takut padaku?” tanya Lenka padanya.
“Aku tak peduli, asalkan aku bisa membalasnya,” sanggah Daniel. Lenka tersenyum, dia terlihat cukup senang. “Jadi begitu, kau boleh pergi karena sudah memberiku hiburan.”
Daniel terkejut, dia tak bisa mengerti apa yang sebenarnya penyihir itu pikirkan. Padahal Daniel mengira jika dia pasti akan di habisi olehnya. Tangan Daniel menjelajahi saku baju miliknya, dia mengambil sekantung uang dan memberikannya pada bibi pemilik restoran.
“Ini 40 koin perak. Pasti cukup untuk mengganti kerugian yang kubuat,” katanya sambil memberikan sekantung koin itu. “Di saat macam ini dia bisa bisanya mengganti rugi,” pikir Lenka.
Perlahan, dwarf itu berjalan menjauh walau dengan sempoyongan. Sihir angin tajam milik Lenka bahkan memberi jalan padanya, dia benar-benar dilepaskan. “Lone Wolf ya,” gumam Lenka.
Daniel berjalan menjauhi penyihir itu, namun Lenka penasaran terhadap sesuatu. “Kenapa kau bisa seberani itu?” tanya Lenka.
“Ada seseorang yang kuhormati. Dia berkata aku harus memiliki tekad untuk melindungi. Aku harus berani kepada siapa pun. Aku harus menancapkan keberadaanku dengan pasti agar tak ada yang berani berurusan denganku. Semacam itu lah saran dari orang itu.”
Mata Lenka terbelalak, dia begitu terkejut dengan perkataan bocah itu. Lenka bahkan terlihat lebih senang dari pada menemukan emas. Setelah itu dia menghela nafas—tersenyum dan menggumam, “beliau ya.”
“Menjadi berani memang bagus, tak ada yang kau takutkan bahkan yang lebih kuat,” kata Lenka padanya.
“Namun, itu juga bisa menjadi pedang bermata dua untukmu. Orang yang berharga untukmu pasti tak ingin kau terluka,” saran Lenka padanya.
“Terima kasih perhatiannya. Namun, orang macam itu sudah tak ada,” jawab Daniel. Dia pergi dan meninggalkan restoran itu. Pergi tanpa memandang ke belakang sedikit pun.
Lenka kembali ke mejanya. Dia duduk dengan tenang, menikmati makanan miliknya. “Anu... apa kami sudah boleh bergerak,” tanya salah satu bawahan Davin.
“Gak.”
Beberapa waktu berlalu, Lenka telah menyelesaikan makan siangnya. Dia keluar dari restoran setelah membayar. Lenka menatap langit biru yang cerah, dia terlihat cukup senang. “Firasat Tuan Yvonne tak salah. Untung tadi dia kubantu,” pikir Lenka.
Ayaa mengikuti Daniel sesuai yang diperintahkan. Dia bahkan menggunakan identitas Lenka untuk dengan sengaja membantunya. “Bahkan bocah itu jadi pemberani karena perkataan Tuan Yvonne saat itu,” pikirnya.
“Namun, sepertinya dia terlibat dengan hal berbahaya.”
Saat dia sibuk memikirkan dan mengagumi Yvonne, kalungnya memancarkan sinyal getaran. Kalung dengan kristal hijau itu dipegangnya.
“Ayaa, apa kau sudah selesai?” tanya Yvonne, suaranya muncul dari kalung itu. Kristal hijau yang ada di kalung, itu adalah kristal sihir untuk komunikasi.
Dengan cepat, Ayaa menghilang dari hadapan publik tanpa terdeteksi siapa pun. Dia bersembunyi di sebuah lorong jalanan yang sempit dan sepi. “Iyaa Tuan. Saya sudah selesai.”
“Laporkan itu nanti saja. Sekarang kau cepat kembali ke markas, lebih tepatnya di rumah sakit yang kubangun di sini. Selain dirimu, aku juga memanggil para Eternal Sword yang lain.”
“Loh, siapa yang sakit?” tanya Ayaa.
“Kau akan tahu nanti.”